Filsafat Tanpa Kedaulatan Semantik
Penulis:
Muhammad Alifuddin
FRANKY Budi
Hardiman menggebrak dunia filsafat republik ini dengan bukunya berjudul
Filsafat Fragmentaris. Buku tersebut berisikan tesis bahwa filsafat tak pernah
menangkap totalitas melainkan fragmen-fragmen dari semesta kemungkinan. Di
balik itu terselip tuduhan bahwa filsafat memiliki kegandrungan yang sesat akan
totalitas.
Totalitas
adalah inspirasi teologis yang menyusup diam-diam ke dalam filsafat. Bahwa
manusia pertama diajarkan Tuhan nama benda-benda sehingga tak ada yang lolos
dari kuasa semantiknya. Plato pun mengambil ajaran sufisme kuno Yunani
(Orphisme) yang memandang jiwa terpenjara dalam tubuh. Karena itu, aspirasi
pada totalitas selalu direcoki oleh desakan-desakan badani. Demi totalitas,
Plato mengumumkan perang terhadap tubuh yang memenjara kita di dunia
bayang-bayang.
Terlepas
dari susupan teologis ke dalam filsafat, kegandrungan terhadap totalitas itu
sendiri adalah patologis. Kegandrungan itu adalah delusi yang tak pernah
diperiksa sungguh-sungguh. Delusi itu lolos dari pemeriksaan filsafat sebab
kegandrungan akan totalitas mengalahkan kemauan para filsuf untuk melakukan
refleksi diri.
Hal itu
tidak berlaku bagi Franky. Franky mau menimbang ulang filsafat dengan sungguh-sungguh
memeriksa patologi para filsuf tersebut. Ia menemukan setidaknya dua paradoks
utama.
Pertama,
paradoks deskripsi-pengalaman. Saat kita mendeskripsikan kenyataan, kita
sesungguhnya mengambil jarak darinya. Pengalaman lenyap begitu kita mencoba membuat
rumusan konseptual terhadap kenyataan.
Pengalaman
akan teriknya sinar matahari yang mengeringkan pakaian menjadi redup tatkala
kita merumuskannya sebagai bentuk gelombang elektromagnetik. Kedua, paradoks
self-reference. Misalnya, saat kita menghakimi bahwa orang lain hanya memahami
ajaran agama sepotong-sepotong. Keputusan itu tidak bertolak dari kondisi
nirsudut pandang. Keputusan itu bertolak dari satu perspektif yang dilandasi
pada pemahaman sepotong kita tentang ajaran agama.
Dua paradoks
tadi diilustrasikan dari pengalaman keseharian. Namun, filsafat sesungguhnya
juga mengidap paradoks tersebut. Ambil saja contoh filsafat Plato. Plato yang
menghuni ruang waktu tertentu berbicara tentang dunia ide yang nir-ruang waktu.
Padahal, filsafat tak lain juga adalah bagian dari pengalaman keseharian yang
meruang dan mewaktu.
Heidegger,
misalnya, beranggapan bahwa pengetahuan filosofis tentang "Ada" sudah
terselip dalam keseharian. Oleh karena itu, alih-alih berfokus pada
"Ada" yang abstrak, filsafat diminta berhening di depan samudra
keseharian. Para filsuf dituntut Heidegger agar berlaku layaknya mistikus
keseharian.
Para
mistikus keseharian pertama adalah para fenomenolog. Ini mengingat merekalah
yang mula-mula merehabilitasi pengalaman keseharian dari kecaman para filsuf
totalitas.
Menubuh
Franky pun
memulai proyek fragmentasi filsafatnya dari fenomenologi, khususnya
fenomenologi Merleu Ponty. Pontylah yang pertama mengecam sufisme Plato yang
tertuang dalam filsafat dualisme jiwa-tubuhnya. Tubuh bagi Ponty bukan semata
materi yang dijadikan obyek investigasi ilmu-ilmu empiris. Sedangkan jiwa pun
bukan elemen rohani yang mengeram dalam tubuh mati.
Manusia,
menurut Ponty, tidak berada di dalam tubuh, melainkan menubuh. Kemenubuhan
manusia membuatnya mendunia. Tubuh lebih tahu tentang hal-ihwal dunia ketimbang
akal budi.
Manusia
tidak berpikir terlebih dulu tentang apa artinya sebuah pulpen, bagaimana
memakainya, dan di atas apa. Tubuh bergerak dan memakai pulpen untuk menulis di
atas secarik kertas tanpa banyak tanya. Kita mengetahui dunia sebagai yang
tergenggam, tercium, terlihat dan lain sebagainya. Singkat kata, dunia ditatah
berdasarkan kemenubuhan manusia.
Fragmen
Filsafat
Apa yang
dilakukan Ponty sesungguhnya? Ponty merumuskan suatu fragmen filosofis tentang
tubuh. Fragmen tersebut merupakan tuturan tentang yang tak tertuturkan tentang
tubuh. Ponty tidak berpretensi menutup seluruh domain semantik ketubuhan.
Ia sekadar
memberi bentuk baru dari semesta kemungkinan dalam konteks ketubuhan. Bentuk
baru tersebut menyingkap sepetak kosmos dari chaos semantik ketubuhan. Namun,
di sisi lain itu sekaligus menutup pelbagai kemungkinan kosmos lainnya.
Ketubuhan
yang selama ini dipandang sebagai materi yang berkesadaran diputar menjadi
kesadaran yang menubuh. Konsepsi tubuh Platonian dipatok sebagai fragmen dengan
merumuskan fragmen lainnya. Itulah ciri filsafat fragmentaris.
Bentuk
filsafat fragmentaris lainnya ditemukan Franky pada teori kritis Jurgen
Habermas. Jurgen Habermas menuduh teori kritis generasi pertama yang digawangi
oleh duo Adorno-Horkhaimer terjebak pada paradoks self-reference.
Teori kritis
generasi pertama masih bernyawakan filsafat kesadaran yang menempatkan kritik
pada posisi subyek pemegang kebenaran. Di sini, sang subyek kebenaran
menghadapi masyarakat yang menderita kesadaran palsu. Padahal, posisi kritik
itu sendiri tidak tanpa masalah. Adorno-Horkhaimer menggugat ideologi di balik
dialektika pencerahan tanpa sadar posisi ideologis mereka sendiri.
Alih-alih
menghakimi bentuk-bentuk pengetahuan sebagai semu, Habermas lantas merumuskan
teori komunikasi yang menempatkan percakapan di atas kebenaran. Kebenaran bukan
monopoli filsuf, melainkan mesti lolos melalui prosedur demokratis berupa
komunikasi bebas koersi. Dengan kata lain, filsafat mesti tunduk di bawah
imperatif prosedural dari demokrasi.
Bentuk
filsafat fragmentaris ketiga adalah dekonstruktivisme. Dekonstruksi menempatkan
bahasa sebagai partisi yang membuat jarak antara dunia penghayatan dan
deskripsi dunia. Bahasa bukan peranti guna mengambil jarak melainkan jarak itu
sendiri. Mengapa demikian? Karena bahasa adalah penundaan makna. Satu kata
tidak melekat pada satu makna selamanya, begitu pula sebaliknya. Makna
senantiasa mengelak dari bekapan kata dan berubah dari waktu ke waktu.
Pencarian
hakikat atau sebut saja logosentrisme adalah kegagalan yang dilestarikan demi
delusi yang diidap filsafat. Filsafat dekonstruktivisme menunjukkan bahwa
logosentrisme menyangkal kegagalan dengan meminggirkan makna-makna pengganggu.
Nah, bagi dekonstruktivisme tugas filsafat adalah mengembalikan makna-makna
pengganggu itu ke tengah pusaran diskursus.
Ini bisa
dilihat secara konkret dalam bahasa hukum. Makna frase "perbuatan melawan
hukum" tak pernah terumuskan secara hakiki dalam ruang waktu yang
senantiasa bergerak. Makna "perbuatan melawan hukum" yang ada
sekarang berlaku dalam ruang dan waktu riil.
Dalam ruang
yang dilipat secara virtual, cyber crime membuat kita berpikir ulang tentang
arti frase tersebut. Kejahatan di ruang maya memaksa kita mendefinisikan ulang
kejahatan, subyek hukum, dan bahkan hukum itu sendiri.
Catatan
Fragmentaris
Buku
Filsafat Fragmentaris karya Franky Budi Hardiman berhasil merumuskan ciri
filsafat dari beberapa bentuk filsafat kontemporer. Itu adalah prestasi
tersendiri di tengah buku-buku karya filsuf Indonesia yang semata memutar ulang
fragmen-fragmen filsafat orang lain. Persoalannya, apakah Franky perlu dituntut
untuk merumuskan bentuk filsafat fragmentarisnya sendiri? Saya kira tidak atau
belum perlu. Pergulatan menuju ke sana membutuhkan jam terbang berfilsafat yang
tidak sebentar.
Persoalan
yang perlu ditanyakan: di manakah letak kedaulatan semantik itu? Apakah ia
tergeletak di tangan filsuf atau di tangan semesta kemungkinan? Franky
sepertinya masih menganggap bahwa kedaulatan semantik digenggam erat oleh para
filsuf. Ini tak lain adalah ciri filsuf yang masih berpatokan pada filsafat
subyek.
Filsuf
adalah pencipta kosmos makna dari chaos semesta kemungkinan. Franky mengatakan,
"Filsafat akan terus berupaya untuk mengatakan yang tidak terkatakan, memasukkan
stabilitas baru ke dalam chaos. Dia adalah penyingkap dunia betapapun temporer
dan fragmentarisnya penyingkapan itu." (halaman 19)
Mari
menengok dunia keseharian. Bayangkan seorang yang sedang mengamplas meja. Ia
terus mengamplas meja untuk mencapai kehalusan maksimal. Pada satu saat ia pun
membayangkan, apakah ada batas terakhir kehalusan saat amplas pun takkan
berguna lagi. Di situ pengalaman surut dan bentuk matematika pun mengemuka.
Sang
pengamplas tak pernah bisa mengalami titik terakhir kehalusan dalam dilatasi
waktu. Namun, ia bisa membayangkan bentuk geometri murninya. Bayangan tersebut
tentu saja tidak datang dengan kesengajaan, sebab kesengajaan adalah bagian
dari pengalaman sementara apa yang muncul berasal dari luar pengalaman itu sendiri.
Bayangan tentang bentuk geometri itu menampar kesadaran secara tiba-tiba.
Bentuk
geometri adalah satu closure yang muncul dari imajinasi nirpengalaman. Namun,
bentuk geometri murni tidak diterakan secara sepihak pada chaos. Keseharian
adalah chaos yang tak berhingga. Ketakberhinggaan itulah yang mendesak-desak
untuk dimaknai. Makna mencuat tiba-tiba dari keseharian itu sendiri dan
ditangkap oleh imajinasi.
Artinya,
kedaulatan makna bersemayam pada kenyataan sehari-hari, bukan subyek pemakna.
Segala deskripsi yang berasumsikan filsafat subyek adalah upaya perampokan
kedaulatan tersebut. Kita bukanlah hakim semantik atas kenyataan. Derrida
mengatakan, "Tak ada sesuatu di luar teks". Saya mengatakan,
"Kenyataan adalah teks yang menggenggam kedaulatan semantiknya
sendiri."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar