Determinisme
dan Chaos
Muhammad Alifuddin
Teori chaos berkaitan dengan proses
alam yang nampaknya kacau atau acak. Satu definisi kamus tentang chaos
akan menunjukkan ketidakberaturan, kekacauan, keacakan, atau kebetulan: gerakan
acak tanpa tujuan, kegunaan atau prinsip tertentu. Tapi, campur-tangan dari
“kebetulan” murni dalam proses material akan mengundang masuknya faktor-faktor
yang bukan-fisik, yaitu, metafisik: kehendak, campur tangan ilahi. Karena ia
berkaitan dengan kejadian-kejadian yang “kebetulan”, maka ilmu chaos
yang baru lahir itu memiliki implikasi-implikasi filsafati yang mendasar.
Proses alami yang pada awalnya dianggap sebagai
acak dan kacau kini terbukti tunduk pada hukum-hukum ilmiah, menunjukkan satu
basis kausal yang deterministik. Lebih jauh lagi, penemuan ini memiliki
penerapan yang demikian luas, kalau tidak dapat disebut universal, sehingga ia
telah mendorong satu cabang ilmu yang sama sekali baru - telaah tentang chaos.
Ia telah menghasilkan satu cara pandang dan metodologi baru, beberapa orang
akan menyebutnya satu revolusi, yang dapat diterapkan pada semua cabang ilmu
yang ada sekarang. Ketika satu blok logam menjadi magnet, ia berubah ke dalam
“keadaan teratur”, di mana semua partikelnya mengarah ke jurusan yang sama. Ia
dapat diarahkan ke satu atau lain jurusan. Secara teoritik, ia “bebas” untuk
mengatur dirinya ke jurusan apapun. Namun pada prakteknya tiap potongan kecil logam
membuat “keputusan” yang serupa.
Seorang ilmuwan chaos telah menemukan
aturan matematik dasar yang menggambarkan “geometri fraktal” dari sehelai daun
cemara spleenwort hitam. Ia memasukkan informasi itu ke dalam komputernya, yang
juga memiliki program untuk menghasilkan bilangan-bilangan acak. Komputer itu
diprogram untuk menghasilkan satu gambar menggunakan titik-titik yang
diletakkan secara acak di layar. Sejalan dengan semakin majunya percobaan itu,
mustahillah untuk mengantisipasi di mana tiap titik akan muncul. Tapi tanpa
ragu sedikitpun, gambar helai daun cemara itu muncul. Kemiripan yang nampak di
permukaan antara kedua percobaan ini sangatlah jelas. Tapi kemiripan itu
menunjukkan satu kesejajaran yang lebih dalam. Seperti halnya komputer itu mendasarkan
pemilihan titik yang kelihatannya acak (dan bagi pengamat yang berada “di luar”
komputer itu, untuk keperluan praktis, pilihan itu benar-benar acak)
berdasarkan aturan matematik yang jelas, demikian juga ia menunjukkan bahwa
perilaku foton (dan berimplikasi juga bagi semua kejadian di dunia kuantum)
tunduk pada aturan matematik mendasar yang, sayangnya, masih berada di luar
pemahaman manusia pada saat ini.
Pandangan Marxis beranggapan bahwa seluruh
jagad raya didasarkan pada kekuatan-kekuatan dan proses-proses material.
Kesadaran manusia, pada titik telaah terakhinya, hanyalah satu cerminan dari
dunia nyata yang hadir di luar tubuhnya, satu cerminan berdasarkan interaksi
fisik antara tubuh manusia dengan dunia material. Di dunia material tidak ada keterputusan
dalam kesalingterhubungan fisik antar berbagai kejadian dan proses. Tidak ada
ruang, dengan kata lain, bagi campur-tangan kekuatan-kekuatan metafisik atau
spiritual. Dialektika material, seperti kata Engels, adalah “ilmu tentang
kesalingterhubungan universal”. Lebih jauh lagi, kesalingterhubungan dunia
fisik itu didasarkan pada prinsip sebab-akibat, dalam makna bahwa segala proses
dan kejadian, ditentukan oleh kondisi mereka dan ketaatan pada
hukum dari kesalingterhubungan mereka:
“Hal pertama yang kita lihat dalam mempelajari
pergerakan materi adalah kesalingterhubungan dari pergerakan-pergerakan
individual dari benda-benda yang terpisah, bahwa mereka saling menentukan satu
sama lain. Tapi bukan hanya kita temukan bahwa satu gerak tertentu akan diikuti
oleh gerak yang lain, kita juga menemukan bahwa kita dapat menirukan satu gerak
tertentu dengan menciptakan kondisi-kondisi di mana gerak tersebut terjadi
secara alami, bahwa kita bahkan dapat menciptakan gerak yang sama sekali tidak
terdapat secara alami (dalam industri), setidaknya bukan dengan cara tertentu,
dan bahwa kita dapat memberi pergerakan-pergerakan ini satu arah dan jangkauan
yang telah ditentukan sebelumnya. Dengan cara ini, melalui aktivitas manusia,
ide tentang sebab-akibat ditegakkan, ide bahwa satu gerak adalah sebab dari
gerak lainnya.”
Kompleksitas dunia dapat menyamarkan proses
sebab-akibat dan membuat yang satu tidak dapat dibedakan dari yang lain, tapi
hal itu tidaklah mengubah logika yang mendasarinya. Seperti yang dijelaskan Engels,
“Sebab dan akibat adalah pandangan yang hanya
membenarkan penerapan dirinya pada kasus-kasus individual; tapi segera setelah
kita menempatkan kasus-kasus individual itu di dalam kesalingterhubungan umum
mereka dengan jagad raya sebagai keseluruhan, mereka saling bertubrukan, dan
mereka menjadi kacau ketika kita mempertimbangkan aksi-reaksi universal di mana
sebab dan akibat terus saling bertukar tempat, sehingga apa yang di sini dan
kini menjadi akibat akan menjadi sebab di sana pada saat mendatang, dan
sebaliknya.’”
Teori chaos tidak diragukan lagi
merupakan satu kemajuan besar, tapi di sini juga ada beberapa perumusan yang
dapat dipertanyakan. Efek kupu-kupu yang terkenal itu, yang menyatakan
jika seekor kupu-kupu mengepakkan sayapnya di Tokyo dan menyebabkan badai
bergolak seminggu kemudian di Chicago, memang satu contoh yang sangat
sensasional, yang ditujukan untuk memicu satu kontroversi. Tapi, pernyataan ini
tidak tepat dalam bentuknya. Perubahan kualitatif hanya dapat terjadi sebagai
hasil dari sebuah akumulasi atas perubahan kuantitatif. Satu kejadian acak yang
kebetulan (seekor kupu-kupu yang mengepakkan sayapnya) hanya dapat menghasilkan
efek yang dramatis jika semua kondisi untuk timbulnya badai telah tersedia.
Dalam kasus ini, keharusan dapat menyatakan dirinya melalui sebuah kebetulan.
Tapi hanya dalam kasus ini.
Hubungan dialektik antara keharusan dan peluang
dapat dilihat dalam proses seleksi alam. Jumlah mutasi acak di dalam satu
organisme adalah besar tak berhingga. Tapi, dalam lingkungan tertentu, salah
satu mutasi ini ditemukan bermanfaat bagi organisme tersebut dan dipertahankan,
sementara mutasi yang lain lenyap. Keharusan sekali lagi mewujudkan dirinya
melalui perantaraan kebetulan. Dalam makna tertentu, kemunculan hidup di bumi dapat
pula dilihat sebagai sebuah “kebetulan”. Tidaklah ditakdirkan bahwa bumi harus
berada pada jarak yang tepat dari matahari, dengan besar gravitasi dan jenis
atmosfir yang tepat, bahwa semua ini harus terjadi. Tapi, karena
kejadian-lingkup yang berantai ini, reaksi kimia yang jumlahnya tak berhingga,
yang terjadi dalam waktu yang sangat panjang, kehidupan niscaya akan muncul.
Hal ini tidak hanya berlaku untuk planet kita saja, tapi juga pada sejumlah
besar planet lain di mana kondisi yang sama juga ada, sekalipun tidak di dalam
tata-surya kita. Walau demikian, sekali kehidupan muncul, ia berhenti menjadi
kebetulan, dan berkembang melalui hukum-hukum internalnya sendiri.
Kesadaran itu sendiri tidaklah muncul dari
sebuah rencana ilahi, tapi, dalam makna tertentu, juga muncul dari sebuah
“kebetulan”, yaitu dalam bentuk bipedalisme (posisi berjalan tegak), yang
membebaskan tangan, dan dengan demikian memungkinkan mahluk-mahluk hominid awal
untuk ber-evolusi sebagai hewan yang dapat membuat alat. Boleh jadi bahwa
kecelakaan evolusioner ini adalah hasil dari perubahan iklim di Afrika Timur,
yang menghancurkan sebagian hutan yang menjadi habitat kera-kera purba yang
menjadi nenek-moyang kita. Ini adalah satu kebetulan. Seperti yang dijelaskan
Engels dalam The Part Played by Labour in the Transistion of Ape to Man,
inilah basis bagi berkembangnya kesadaran manusia. Tapi, dalam makna yang lebih
luas, kemunculan kesadaran - materi yang sadar akan dirinya sendiri -
tidaklah dapat dianggap sebagai sebuah kecelakaan, tapi merupakan hasil yang
niscaya dari evolusi materi, yang melaju dari bentuk-bentuk yang sederhana ke
yang lebih rumit, dan yang, di mana kondisinya memungkinkan, niscaya akan
melahirkan kehidupan yang memiliki intelektualitas, dan bentuk-bentuk kesadaran
yang lebih tinggi, masyarakat yang kompleks, dan apa yang kita kenal sebagai
peradaban.
Dalam bukunya Metaphysics,
Artistoteles menyediakan ruang yang sangat besar untuk diskusi tentang hakikat
keharusan dan kebetulan. Ia memberi kita satu contoh, kata-kata kebetulan yang
akan membawa kita pada pertengkaran. Dalam satu situasi yang tegang, contohnya
ketika perkawinan sedang mengalami krisis, bahkan komentar yang sangat tidak
bermaksud apa-apa dapat memicu pertengkaran yang panjang. Tapi jelas bahwa
kata-kata yang diucapkan bukanlah penyebab pertengkaran itu sendiri.
Pertengkaran itu adalah buah dari satu akumulasi stres dan ketegangan, yang
cepat atau lambat akan mencapai titik ledaknya. Ketika titik ini tercapai, hal
yang sekecil apapun akan dapat memprovokasi sebuah ledakan. Kita dapat melihat
gejala yang serupa di pabrik-pabrik. Selama bertahun-tahun, kaum buruh yang
nampaknya pasrah, yang takut akan pemecatan, siap menerima segala pemaksaan -
pemotongan upah, pemecatan rekan kerja mereka, kondisi kerja yang semakin
buruk, dsb. Di permukaan, tidak sesuatupun yang terjadi. Tapi, pada
kenyataannya, ada peningkatan yang kontinyu dalam ketidakpuasan mereka, yang,
pada titik tertentu, haruslah menemukan perwujudannya. Satu hari, para buruh
memutuskan: “cukuplah sudah.” Persis pada titik ini, bahkan kejadian yang
paling dangkal sekalipun dapat memicu sebuah pemogokan. Seluruh situasi telah
berubah menjadi kebalikannya.
Ada satu analogi yang luas antara perjuangan
kelas dengan konflik antar bangsa. Di bulan Agustus 1914, Pangeran Mahkota
Austro-Hungaria dibunuh di Sarajevo. Orang mengatakan bahwa inilah penyebab
Perang Dunia I. Pada kenyataannya, kecelakaan sejarah ini boleh terjadi maupun
tidak. Sebelum 1914, telah terjadi beberapa insiden lain (insiden Maroko, insiden
Agadir) yang sama mungkinnya untuk memicu perang. Sebab sebenarnya dari Perang
Dunia I adalah akumulasi dari kontradiksi yang tak tertanggungkan antara
kekuatan-kekuatan imperialis utama - Inggris, Perancis, Jerman, Austro-Hungaria
dan Rusia. Hal ini mencapai tahapan yang kritis, di mana semua ramuan
peledaknya dapat dipicu oleh percikan kecil yang terjadi di Balkan.
Akhirnya, kita melihat gejala yang sama di
dunia ekonomi. Pada saat kami sedang menuliskan bab ini, Kota London sedang
terguncang oleh bangkrutnya Barings Bank. Kejadian ini dengan bersegera
dipersalahkan kepada penggelapan yang dilakukan oleh salah satu pegawainya di
Singapura. Tapi bangkrutnya Barings hanyalah satu gejala paling mutakhir dari
satu krisis yang lebih dalam, yang terjadi dalam sistem keuangan dunia. Kepala
berita dalam The Independent berbunyi “satu kecelakaan pasti akan
terjadi.” Pada skala dunia, kini ada USD 25 milyar yang ditanamkan dalam
berbagai saham derivatif. Hal ini menunjukkan bahwa kapitalisme tidak lagi
didasarkan pada produksi, tapi pada kegiatan-kegiatan spekulatif yang makin
hari makin luas. Fakta bahwa Mr. Leeson kehilangan sejumlah besar uang di bursa
saham Jepang boleh dikaitkan dengan kebetulan terjadinya gempa bumi di Kobe.
Tapi para analis ekonomi yang serius akan paham bahwa hal ini hanyalah satu
perwujudan dari ketidakstabilan dari sistem keuangan internasional. Dengan atau
tanpa Mr. Leeson, satu kejatuhan adalah niscaya. Perusahaan-perusahaan dan
lembaga keuangan besar internasional, semua yang terlibat dalam perjudian tanpa
kenal hitungan ini, sedang bermain api. Satu kejatuhan keuangan sangatlah
implisit dalam situasi ini.
Boleh jadi bahwa ada terdapat banyak gejala
yang didasari oleh proses dan hubungan sebab-akibat yang tidak dipahami
sepenuhnya sehingga mereka kelihatannya bersifat acak. Untuk keperluan praktis,
semuanya hanya dapat diperlakukan secara statistik, seperti roda roulet pada
pemutarnya. Tapi, di dasar semua “kebetulan” ini masih ada kekuatan-kekuatan
dan proses yang menentukan hasil akhirnya. Kita hidup dalam sebuah jagad raya
yang diatur oleh determinisme dialektik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar