Muhammadiyah: Antara Politik Praktis dan Substansialis
Muh. Alifuddin
( PC. IMM Bima )
James L.
Peacock (1971), berpendapat bahwa Muhammadiyah telah membuktikan dirinya
sebagai organisasi pembaruan Islam paling kuat di Asia Tenggara, bahkan
mungkin di dunia. Atau seperti yang disimpulkan Solihin Salam (1965),
“kelahiran Muhammadiyah merupakan manifestasi dari getaran jiwa yang
hidup dan bergelora dalam dada masyarakat pada zamannya.”
Dunia yang dihadapi pendiri
Muhammadiyah saat itu, sarat dengan kabut kebodohan, kemiskinan dan
keterbelakangan. Umat Islam kian lama kian jauh dari kemurnian ajaran
Islam. Penyakit TBC alias takhyul, bid’ah dan churafat—dalam segala
bentuk dan manifestasinya merajalela di mana-mana. Kondisi masyarakat
semacam itulah yang mendorong KH. Ahmad Dahlan menancapkan bendera
Muhammadiyah pada 8 Zulhijjah 1330 H/18 November 1912 M.
Apa yang dikedepankan kedua
pengamat di atas, agaknya tidaklah berlebihan. Kenapa? Dalam usianya 103
tahun, menurut perhitungan Tahun Hijriyah, dan 100 tahun menurut Tahun
Masehi, Muhammadiyah seakan tidak terpisahkan dari dinamika sosial
kemasyarakatan di negeri ini. Dalam konteks sosial kemasyarakatan itu,
secara fisik atau non-fisik aktivitas yang digumuli Muhammadiyah nampak
cukup berdenyut dalam pelbagai manifestasi. Sebutlah misalnya, bidang
pendidikan, kesehatan masyarakat, penyantunan kaumdhu’afa’ wa-almustadh’afin (lemah dan dilemahkan) serta kegiatan sosial kemasyarakatan lainnya.
Khusus yang disebut di awal
(bidang pendidikan), menunjukkan angka cukup signifikan. Sampai
sekarang, Muhammadiyah mengelola tak kurang dari 172 buah Perguruan
Tinngi; 1.143 SMA/SMK/MA; 1.772 SM/MTs/; 2.604 SD/MI; 7.623 TK ABA;
6.723 PAUD; 71 SLB; dan 82 Pondok Pesantren. Dari jumlah sebanyak itu,
belum termasuk yang sedang dalam proses legalitas formal di Pimpinan
Wilayah (PW) dan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah
Ditilik dari sudut manapun, Amal
Usaha semacam ini jelas memberikan kontribusi cukup signifikan terhadap
pembinaan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan nasional.
Beragam prestasi yang mampu
digapai oleh Muhammadiyah dalam kegiatan sosial kemasyarakatan ini,
dibarengi pula dengan sikap politik Muhammadiyah yang punya
karakteristik tersendiri. Dalam perjalanan sejarahnya yang cukup panjang
dan berliku, hubungan Muhammadiyah dengan politik memang bersifat
khas atau unik. Dikatakan unik, pada satu pihak Muhammadiyah mesti
peduli terhadap masalah-masalah politik. Rentangnya, tidak saja yang
menyangkut isu politik nasional, tapi juga harus menyikapi secara
cerdas situasi politik internasional. Sementara di pihak lain,
Muhammadiyah secara institusional tidak boleh bergelimang dalam habitus
politik praktis. Pasalnya, karena Muhammadiyah bukan organisasi
politik, melainkan organisasi dakwah ‘Amar ma’ruf nahi mungkar’.
Pada Mukatamar ke-38 tahun 1971 di Ujung Pandang, sikap politik Muhammadiyah itu ditegaskan secara gamblang. Pertama, Muhammadiyah
dengan seluruh organisasi otonom (ortom) yang dipayunginya tidak
berafiliasi, dan tidak ada hubungan organisatoris dengan Partai Politik
apapun. Kedua, anggota Muhammadiyah dari berbagai tingkat
secara pribadi bebas untuk memasuki atau tidak memasuki Partai Politik
yang sesuai dengan kesukaan yang bergayut pada hati-nuraninya. Sampai
satu abad usia Muhammadiyah kini, keputusan politik itu, tetap menjadi
acuan baku bagi Muhammadiyah.
Lalu kini, ketika Muhammadiyah
dihadapkan kepada Parpol yang sekarang jumlahnya yang lulus verifikasi
mencapai 10 buah sejatinya sikap dasar Muhammadiyah tidak boleh berubah.
Sesuai dengan kepribadian dan jati dirinya, Muhammadiyah mesti tetap
memelihara dan konsisten dengan khitthah (garis perjuangan) sebagai gerakan Islam, gerakan dakwah, dan gerakan tajdid (pembaruan), yang beraqidah Islam serta berlandaskan pada Al Qur’an dan Sunnah Rasul yang maqbulah.
Diakui jujur, sejak era reformasi
dan demokratisasi menggelinding di Indonesia pada 1998 lalu, cukup
banyak elite Muhammadiyah yang ketiban durian runtuh. Mereka dapat
peluang menyalurkan bakat dan darah politiknya di berbagai Partai
Politik. Di Sumatera Barat (Sumbar) saja, beberapa aktivis Muhammadiyah
asik bergelimang di area politik praktis. Sebutlah misalnya, Drs. H.
Apris Yaman (Pembantu Rektor IV UMSB), Drs. Marhadi Efendi, MSi (mantan
Ketua Pemuda Muhammadiyah Sumbar & Dekan Fakultas Ilmu Agama/FIA
UMSB), dari PAN meloncat ke NasDem; Irdinansyah Tarmizi di Partai
Golkar; Darmadi dan Guspardi Gaus, dari PPP hijrah ke PAN; dan sederet
nama lainya di kabupaten/kota. Dan, yang masih segar dalam ingatan, Drs.
H. Dasril Ilyas (Ketua PW Muhammadiyah Sumbar) dipinang/dilamar oleh
PAN untuk menjadi Caleg DPR RI, pada Pemilu 2014.
Andai diindang ditampi tareh (ditapis
secara akurat), lalu disinkronisasikan dengan Keputusan Muktamar Ujung
Pandang tadi, kemudian dikukuhkan kembali pada Muktamar Jakarta, pada 8
hingga 11 Juli 2000, sebenarnya, keaktifan mereka di Parpol sama sekali
bukan atas nama Muhammadiyah, dan bukan pula membawa jubah
Muhammadiyah. Makanya, kalau mereka memanfaatkan fasilitas Muhammadiyah
sebagai pendukung politik, apalagi politik kualitas rendah yang
berorientasi pragmatis dan materialistis, seperti yang melanda
segelintir politisi Islam belakangan ini, Muhammadiyah oleh karena itu,
sejatinya punya kekuatan moral untuk meluruskannya. Kiat yang ditempuh,
tentu bukan dengan cara frontal dan emosional. Tapi, secara bijak,
persuasif, edukatif dan dialogis. Dalam konteks ini, bukankah di tubuh
Muhammadiyah ada Lembaga Hikmah yang dapat menjembatani antara politisi
Muhammadiyah dengan ‘Rumah Gadang’ Muhammadiyah.
Kendati Muhammadiyah bukan
Parpol, dan tidak ada sangkut-pautnya secara organisatoris dengan
Parpol, bukan berarti Muhammadiyah apatis dan cuek setengah mati
terhadap politik. Dalam ‘kaca-mata’ Muhammadiyah, politik atau assiyasah adalah
wahana dan sarana cukup strategis bagi transformasi dakwah Islam ke
depan. Di bawah ini, penulis mencoba mengedepankan bagaimana peran
politik substansial (hight politic) Muhammadiyah yang bersifat non-praktis itu.
Pertama, Muhammadiyah
secara kelembagaan sejatinya memainkan fungsi sebagai kelompok
kepentingan dan kelompok asosiasi yang selalu menyuguhkan kontrol
politik; memengaruhi pengambilan kebijakan politik; memainkan public opinion;
menghidangkan pendidikan budaya dan etika politik; mengayunkan lobby
dengan pelbagai komponen yang bersentuhan dengan Muhammadiyah; merajut
komunikasi personal baik internal maupun eksternal; dan pada situasi
tertentu tak ada salahnya menggelindingkan protes secara sehat, cerdas
dan dewasa, dan fungsi-fungsi politik tidak langsung lainnya. Baik yang
konvensional maupun non-konvensional sesuai dengan kepentingan, kondisi
dan karakteristik yang dimiliki Muhammadiyah.
Peran-peran politik tidak
langsung ini mesti dimainkan secara efektif dan artikulatif. Sehingga
memberikan bobot tekanan dan implikasi yang meluas dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pada aspek inilah terasa
pentingnya perangkat-parangkat konsepsional, fasilitas, finansial,
kinerja organisasi, dan potensi sumber daya manusia yang bernas dan
mumpuni. Sebab, tanpa dukungan yang konkrit itu, maka peran politik
Muhammadiyah tidak bakal efektif dan produktif seperti didambakan banyak
pihak.
Kedua, yang
tak kalah pentingnya adalah peran secara personal. Peran ini dilakonkan
oleh orang-orang Muhammadiyah yang tersebar di mana-mana semisal: di
Parpol, di barisan panjang legislatif, dan di habitat eksekutif. Atau
mereka yang berada di jalur institusi kenegaraan/pemerintah, di BUMN,
BUMD dan lainnya, sesuai posisi dan fungsi masing-masing. Peran
individual juga dapat dimainkan oleh kader-kader Muhammadiyah di dunia
swasta dan kaum profesional sesuai pula kapasitas masing-masing. Peran
itu dilakukan secara konsepsional, simultan, dan memiliki basis, visi
dan misi serta moral yang jelas. Baik bagi kepentingan internal
Muhammadiyah maupun untuk kepentingan umat dan bangsa serta dunia
kemanusiaan secara makro.
Khatimah! Guna
menyegarkan ingatan dan sekaligus agar Muhammadiyah tidak ke
mana-mana–tapi ada di mana-mana, akan lebih afdal diinap-inapkan kembali
pesan moral plus transendental yang diwariskan KH. Ahmad Dahlan kala
membidani Muhammadiyah 100 tahun lalu: “Hidup-hidupilah Muhammadiyah,
tapi jangan mencari hidup (dengan memperalat) Muhammadiyah.” Nun wal qalami wama yasturun. Fastabiqul khairat! [ aLiF]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar