Prinsip Ketidakpastian
Penulis:
Muhammad Alifuddin
Pukulan maut yang menjatuhkan mekanika
Newtonian dari tahtanya sebagai sebuah teori universal dilancarkan oleh
Einstein, Schrödinger, Heisenbergh dan lain-lain ilmuwan yang membidani kelahiran mekanika kuantum di
awal abad ke-20. Perilaku “partikel-partikel elementer” tidaklah dapat
dijelaskan oleh mekanika klasik. Matematika jenis baru harus dikembangkan oleh teori lama yang berdasarkan bangunan
konsep dari seorang filsuf phitaghoras.
Dalam matematika baru ini terdapatlah
konsep-konsep semacam “ruang-fase”, di mana sebuah sistem didefinisikan sebagai
sebuah titik yang memiliki derajat kebebasan sebagai koordinat, dan “operator”,
besaran yang tidak mirip sama sekali dengan besaran aljabar dalam makna mereka
lebih mirip sebuah operasi ketimbang sebagai sebuah besaran itu sendiri (pada kenyataannya
mereka menyatakan hubungan, bukannya sebuah nilai yang tetap), memainkan satu
peran yang penting. Teori peluang juga memainkan peranan yang penting, tapi
dalam makna “peluang intrinsik”: ini adalah salah satu dari ciri hakiki dalam
mekanika kuantum. Pada kenyataannya, mekanika kuantum harus diartikan sebagai
sebuah gabungan bertumpuk dari semua jalur gerak yang mungkin ditempuh oleh
sebuah sistem.
Partikel kuantum hanya dapat didefinisikan
sebagai sebuah himpunan kesalingterhubungan internal antara keadaan “aktual”
dan “virtual” yang mereka alami. Dalam makna ini mereka murni dialektik.
Pengukuran terhadap partikel-partikel itu dengan cara tertentu hanya akan
mengungkap keadaan “aktual” mereka, yang merupakan satu aspek saja dari seluruh
aspek keberadaan mereka (paradoks ini dijelaskan secara populer dalam kisah
“kucing Schrödinger”). Prinsip ini disebut “runtuhnya fungsi gelombang”, dan
dinyatakan oleh Heisenberg sebagai prinsip ketidakpastian. Cara yang sama
sekali baru untuk memandang realitas fisik ini, yang dinyatakan dalam persamaan
mekanika kuantum ini, telah “dikarantina” untuk waktu yang lama oleh sebagian
besar kaum akademisi. Ia dilihat sebagai semacam perkecualian terhadap mekanika
yang selama itu ada, yang hanya berguna untuk menjelaskan perilaku
partikel-partikel elementer, pengecualian terhadap hukum-hukum mekanika klasik,
tanpa makna penting apapun selain itu.
Di tahta yang tadinya dikangkangi oleh
kepastian, ketidakpastian kini meraja. Apa yang nampak sebagai pergerakan acak
dari partikel-partikel sub-atomik, dengan kecepatan mereka yang tak
terbayangkan, tidaklah dapat dinyatakan dalam persamaan-persamaan mekanika
lama. Ketika sebuah ilmu pengetahuan mencapai satu jalan buntu, ketika ia tidak
lagi dapat menjelaskan fakta-fakta yang ada, keadaan untuk sebuah revolusi
dimatangkan, dan ilmu pengetahuan yang baru akan lahir. Walau demikian, ilmu
yang baru itu, dalam bentuk awalnya, tidak akan muncul dalam keadaan sempurna.
Hanya setelah melewati masa tertentu ia akan muncul dalam bentuknya yang
lengkap dan pamungkas. Satu derajat improvisasi, ketidakpastian, interpretasi
yang beragam dan seringkali bertentangan, niscaya terjadi pada masa-masa awal
ini.
Pada beberapa dasawarsa terakhir, satu debat
tentang apa yang disebut interpretasi “stochatic” (”acak”) tentang alam dan
determinisme telah dibuka. Masalah yang mendasar adalah keniscayaan dan peluang
yang di sini diperlakukan sebagai dua hal yang berdiri mutlak bertentangan,
sebagai dua lawan yang saling meniadakan satu sama lain. Dengan cara ini kita
mendapatkan dua pandangan yang saling bertentangan, yang keduanya tidaklah
cukup untuk menjelaskan cara kerja alam raya yang kompleks dan penuh
kontradiksi.
Werner Heisenberg, seorang fisikawan Jerman,
mengembangkan versinya sendiri tentang mekanika kuantum. Di tahun 1932 ia
menerima Hadiah Nobel bidang fisika untuk sistem mekanika matriks-nya,
yang menggambarkan tingkatan enerji dari orbit elektron murni dalam bentuk
angka, tanpa mengandalkan gambar sama sekali. Dengan cara ini, ia berharap dapat
mengatasi masalah yang disebabkan oleh adanya kontradiksi antara “partikel” dan
“gelombang” dengan mengabaikan segala upaya menggambarkan gejala tersebut, dan
memperlakukan gejala tersebut murni dalam bentuk abstraksi matematik. Mekanika
gelombang Erwin Schrödinger menangani masalah yang persis sama dengan mekanika
matriks Heisenberg tanpa perlu melarikan diri ke dalam dunia abstraksi
matematika absolut. Kebanyakan fisikawan lebih menyukai pendekatan Schrödinger
karena jauh kurang abstrak ketimbang pendekatan Heisenberg, dan mereka tidak
salah. Di tahun 1944, John van Neumann, ahli matematik Amerika keturunan
Hungaria itu menunjukkan bahwa mekanika gelombang dan mekanika matriks adalah
setara secara matematik, dan dapat menghasilkan jawaban yang persis sama untuk
tiap persoalan.
Heisenberg mencapai beberapa kemajuan penting
dalam mekanika kuantum. Walau demikian, keteguhannya untuk memasukkan filsafat
idealisme yang dianutnya ke dalam ilmu baru itu mewarnai dengan kuat seluruh
pendekatan yang dipakainya. Dari sini muncullah apa yang dikenal sebagai
“interpretasi Copenhagen” atas mekanika kuantum. Ini pada dasarnya adalah
idealisme subjektif, yang dicadari dengan tipis sebagai sebuah aliran pemikiran
ilmiah. “Werner Heisenberg,” tulis Isaac Asimov, “berupaya untuk mengangkat
satu masalah mendasar yang menempatkan partikel-partikel, bahkan fisika itu
sendiri, di dalam sebuah dunia dari hal-hal yang tak dapat diketahui [unknowable].”
Kata-kata yang tepat untuk menggambarkan apa yang terjadi. Di sini kita tidak
berurusan dengan apa yang tidak diketahui [unknown]. Itu selalu
terjadi di tengah ilmu pengetahuan. Seluruh sejarah ilmu pengetahuan adalah
kemajuan dari yang tidak diketahui menuju yang diketahui, dari ketidaktahuan
menuju pengetahuan. Tapi satu kesulitan yang serius akan muncul ketika orang
merancukan apa yang tidak diketahui [unknown] dengan apa yang
tidak dapat diketahui [unknowable]. Ada perbedaan mendasar antara
kata-kata “kita tidak tahu” dan “kita tidak mungkin tahu”. Ilmu pengetahuan
berangkat dari pandangan dasar bahwa dunia objektif benar-benar ada dan dapat
kita ketahui.
Walau demikian, sepanjang sejarah filsafat
telah terjadi berulang kali upaya untuk menetapkan batas bagi pengetahuan
manusia, untuk menegaskan bahwa terdapat beberapa hal yang “tidak mungkin kita
ketahui”, dengan alasan ini atau alasan itu. Demikianlah Kant mengklaim bahwa
kita hanya dapat memahami apa yang tampak, tapi bukan Hakikat yang di Dalam (Things-in-Themselve). Dalam pernyataan ini ia mengikuti jejak skeptisisme Hume, idealisme
subjektif Berkeley dan para sophis Yunani: kita tidak mungkin memahami dunia.
Di tahun 1927, Werner Heisenberg mengajukan
“prinsip ketidakpastian”-nya yang terkenal itu, yang menyatakan bahwa mustahil
bagi kita untuk menentukan posisi dan kecepatan sebuah partikel pada saat yang
bersamaan. Semakin teliti kita menentukan posisi sebuah partikel, semakin tidak
pasti momentumnya, dan sebaliknya. (Hal ini juga berlaku untuk sifat-sifat
berpasangan yang lain.) Kesulitan untuk menetapkan secara pasti posisi dan
kecepatan dari sebuah partikel yang bergerak dengan kecepatan 5.000 mil per
detik ke berbagai arah yang berbeda pada saat yang bersamaan merupakan hal yang
tidak perlu dijelaskan lagi. Walau demikian, deduksi dari sini bahwa kausalitas
(sebab-akibat) secara umum tidak ada adalah sebuah proposisi yang sama sekali
keliru.
Bagaimana kita menentukan posisi sebuah
elektron? Ia bertanya. Dengan melihatnya. Tapi, jika kita menggunakan mikroskop
yang kuat, itu artinya kita akan menumburkan elektron itu dengan sebuah
partikel cahaya, sebuah foton. Karena cahaya berperilaku sebagai sebuah
partikel, ia niscaya akan mengganggu momentum dari partikel yang sedang
diamati. Dengan demikian, kita akan mengubah partikel itu persis ketika kita
menjalankan pengamatan. Gangguan ini tidak akan dapat diramalkan hasilnya dan
tidak akan dapat dikendalikan, karena (setidaknya dari teori kuantum yang ada)
tidak ada cara untuk mengetahui dan mengontrol di muka sudut yang akan diambil
kuantum cahaya ketika dibiaskan melewati lensa. Karena pengukuran yang akurat
akan posisi elektron membutuhkan penggunaan cahaya yang panjang gelombangnya
kecil, momentum yang besar tapi tidak teramalkan dan tak terkontrol akan
dipindahkan kepada elektron. Di pihak lain, pengukuran yang akurat akan momentum
membutuhkan kuanta cahaya yang momentumnya sangat kecil (yaitu panjang
gelombang yang besar), yang berarti terjadinya satu pembiasan dengan sudut
besar. Semakin akurat posisi diukur, semakin kurang akurat momentumnya terukur,
dan sebaliknya.
Jadi, apakah kita akan dapat mengatasi masalah
ini jika kita mengembangkan sejenis mikroskop elektron yang baru? Mustahil,
menurut teori Heisenberg. Karena semua enerji datang dalam paket-paket
(kuanta), dan semua materi memiliki ciri tindakan baik sebagai sebuah gelombang
maupun sebagai sebuah partikel, jenis alat apapun yang kita pergunakan akan
pula tunduk pada prinsip ketidakpastian ini. Sesungguhnya, penggunaan istilah
prinsip ketidakpastian tidaklah tepat, karena apa yang ditegaskan di sini
bukanlah bahwa kita tidak dapat mengukur secara akurat, karena persoalan alat
ukur. Teori itu mengimplikasikan bahwa semua bentuk materi tidak dapat
diukur secara akurat justru karena hakikat materi itu sendiri. Seperti
yang dikatakan David Bohm dalam bukunya Causality and Chance in Modern
Physics:
“Maka penolakan terhadap kausalitas dalam
interpretasi yang umum dari teori kuantum haruslah dianggap bukan sebagai
sekedar hasil dari ketidakmampuan kita untuk mengukur nilai persis dari
variabel yang akan dimasukkan dalam persamaan hukum kausalitas di tingkat
atomik, melainkan, ia harus dianggap sebagai cerminan dari fakta bahwa hukum
semacam itu tidak ada sama sekali.”
Bukannya melihat hal itu sebagai sebuah aspek
khusus dari teori kuantum dalam tingkat perkembangannya yang sekarang,
Heisenberg mempostulatkan ketidakpastian sebagai sebuah hukum alam yang
mendasar dan universal, dan mengasumsikan bahwa semua hukum alam yang lain
harus konsisten dengan hukum ini. Ini merupakan pendekatan yang sangat berbeda
dengan pendekatan ilmu pengetahuan di masa lalu ketika ia dihadapkan dengan
masalah yang menyangkut fluktuasi tak beraturan dan pergerakan acak. Tidak
seorangpun membayangkan bahwa mungkin bagi kita untuk menentukan pergerakan
persis dari satu molekul tunggal dalam gas, atau menetapkan di muka seluruh
rincian dari sebuah kecelakaan mobil yang mungkin terjadi. Tapi belum pernah
terjadi sebelumnya satu upaya yang demikian serius untuk menurunkan dari fakta
semacam ini satu ketiadaan hukum kausalitas secara umum.
Tapi, persis kesimpulan inilah yang diajukan
dari prinsip ketidakpastian. Para ilmuwan dan filsuf idealis telah
maju terlalu jauh dengan mengajukan bahwa kausalitas secara umum tidak ada.
Yakni, bahwa bahwa tidak ada itu yang namanya sebab atau akibat. Maka alam raya
akan nampak sebagai peristiwa yang seluruhnya tanpa sebab dan acak. Seluruh
alam raya ini tidak dapat diramalkan. “Kita tidak dapat memastikan” segala
sesuatu. “Melainkan, diasumsikan bahwa dalam percobaan macam apapun, hasil yang
persis yang akan dicapai akan seluruhnya acak dalam
makna bahwa ia tidak memiliki hubungan apapun dengan segala hal yang lain yang
ada di dunia atau yang pernah ada.”
Posisi ini adalah negasi sempurna, bukan hanya
atas ilmu pengetahuan, tapi juga atas pemikiran rasional secara umum. Jika
sebab dan akibat tidak ada, bukan hanya mustahil bagi kita untuk meramalkan
apapun; tapi juga mustahil bagi kita untuk menjelaskan apapun. Kita hanya dapat
membatasi diri kita untuk menggambarkan apa yang ada. Nyatanya, bukan hanya
itu, karena kita bahkan tidak akan pernah bisa yakin bahwa ada sesuatu yang
hadir di luar diri dan indera kita. Ini membawa kita kembali pada filsafat
idealisme subjektif. Pemikiran ini mengingatkan kita pada argumen para filsuf
sophis di jaman Yunani kuno: “Saya tidak akan dapat mengetahui sesuatupun
tentang dunia. Jika saya dapat mengetahui sesuatu, yang tidak akan dapat
memahaminya. Jika saya dapat memahaminya, saya tidak akan dapat menyatakannya.”
Apa yang dinyatakan oleh “prinsip
ketidakpastian” adalah satu ciri pergerakan partikel sub-atomik yang teramat
misterius, yang tidak mungkin dapat diraba dengan persamaan dan pengukuran
mekanika klasik yang simplisistik itu. Tidak ada keraguan tentang sumbangan
yang telah diberikan Heisenberg bagi dunia fisika. Apa yang kita permasalahkan
adalah kesimpulan filsafati yang ia tarik dari mekanika kuantum. Fakta bahwa
kita tidak dapat mengukur dengan tepat posisi dan momentum sebuah partikel pada
saat bersamaan sama sekali tidak membuat kita harus menarik kesimpulan bahwa di
sini tidak ada objektivitas. Cara berpikir subjektif merasuk dalam aliran
mekanika kuantum dari Copenhagen. Niels Bohr melangkah lebih jauh lagi dengan
menyatakan bahwa “keliru kalau kita berpikir bahwa tugas fisika adalah untuk
menemukan bagaimana keadaan alam yang sebenarnya. Fisika menyangkut
segala yang dapat kita katakan tentang alam.”
Fisikawan John Wheeler berpendapat bahwa “tidak
ada gejala yang merupakan gejala nyata sampai ia menjadi gejala yang diamati.”
Dan Max Born menerakan filsafat subjektifnya dengan kejelasan mutlak: “Generasi
yang mencakup Einstein, Bohr dan saya sendiri diajari bahwa ada satu dunia
fisik objektif, yang mengalirkan dirinya menurut hukum-hukum abadi yang tidak
tergantung dari kemauan kita; kita mengamati proses ini sebagaimana para penonton
melihat sebuah pertunjukan di teater. Einstein masih percaya bahwa seperti
inilah seharusnya hubungan antara seorang pengamat ilmiah dengan subjek yang
diamatinya.”
Apa yang kita lihat di sini bukanlah sebuah
penilaian ilmiah, tapi pendapat filsafati yang mencerminkan satu cara pandang
tertentu terhadap dunia - cara pandang idealisme subjektif, yang merasuki
seluruh interpretasi Copenhagen atas teori kuantum. Untungnya, sejumlah ilmuwan
terkemuka masih berdiri menentang subjektivisme ini, yang bertentangan dengan
seluruh cara pandang dan metode ilmu pengetahuan itu sendiri. Di antara mereka
terdapatlah Einstein, Max Planck, Louis de Broglie dan Erwin Schrödinger, yang
kesemuanya memainkan peran dalam mengembangkan fisika baru itu dengan tingkat
peran yang setidaknya sama pentingnya dengan peran Heisenberg sendiri.
Objektivitas
VS Subjektivisme
Tidak ada keraguan sedikitpun bahwa
interpretasi Heisenberg terhadap fisika kuantum sangat dipengaruhi oleh
pandangan-pandangan filsafatnya. Bahkan ketika ia masih menjadi mahasiswa, ia
adalah seorang idealis yang bersemangat, yang mengakui bahwa ia sangat terkesan
dengan Timaeus, karya Plato (di mana idealisme Plato tersaji dengan
cara yang paling tidak dapat dimengerti orang), sambil bergabung dalam jajaran Freikorps,
pasukan paramiliter reaksioner, yang senang menculik dan membunuh para aktivis
serikat buruh, terutama aktif di tahun 1919. Kemudian ia menyatakan bahwa ia
“jauh lebih tertarik terhadap ide-ide filsafat yang mendasar daripada hal-hal
lainnya,” dan bahwa perlulah “untuk keluar dari ide tentang proses objektif
dalam ruang dan waktu.” Dengan kata lain, interpretasi filsafati Heisenberg
atas fisika kuantum sangat jauh dari sekedar hasil sebuah percobaan ilmiah.
Jelas bahwa interpretasinya terkait erat dengan filsafat idealis, yang dengan
sadar diterapkannya dalam fisika, dan yang menentukan seluruh cara pandangnya
terhadap dunia.
Filsafat semacam itu bukan saja bertentangan
dengan ilmu pengetahuan, tapi juga dengan seluruh pengalaman kesejarahan
manusia. Bukan saja ia tidak mengandung hakikat yang ilmiah, tapi juga sama
sekali tidak ada gunanya dalam praktek. Para ilmuwan yang, pada umumnya, lebih
suka tidak menyentuh spekulasi filsafat, mengangguk dengan sopan pada
Heisenberg, dan terus saja meneliti hukum-hukum alam, menganggap sewajarnya
bahwa alam bukan saja ada ada, tapi juga berjalan sesuai dengan hukum-hukum
tertentu, termasuk hukum sebab-akibat, dan dengan usaha sedikit keras, dapat
dipahami dengan sempurna, bahkan dapat diramalkan oleh manusia. Konsekuensi
yang reaksioner dari idealisme subjektif ditunjukkan oleh perkembangan pribadi
Heisenberg sendiri. Ia membenarkan keterlibatannya dengan Nazi dengan alasan
bahwa “Tidak ada pedoman umum yang dapat kita gugu. Kita harus memutuskan bagi
diri kita sendiri, dan tidak ada cara untuk meramalkan apakah yang kita buat
ini adalah benar atau salah.”
Erwin Schrödinger tidaklah menyangkal adanya
gejala acak di alam secara umum atau dalam mekanika kuantum. Ia secara khusus
menyebut contoh penggabungan acak molekul DNA pada saat pembuahan seorang anak,
di mana ciri-ciri kuantum dari ikatan kimia memainkan peranan penting. Walau
demikian, ia menolak interpretasi Copenhagen tentang implikasi dari “percobaan
dua celah”; bahwa gelombang peluang Max Born bermakna bahwa kita harus
menyangkal semua keobjektifan dunia, yakni pandangan bahwa keberadaan dunia ini
tidak tergantung dari pengamatan kita terhadapnya.
Schrödinger menertawakan penegasan Heisenberg
dan Bohr bahwa, ketika elektron atau foton tidak sedang diamati, mereka “tidak
memiliki posisi” dan hanya menjadi material pada titik tertentu sebagai akibat
dari pengamatan. Untuk melawan pandangan ini, ia menciptakan satu “eksperimen
pikiran” [thought experiment]. Ambillah seekor kucing dan letakkan
dalam sebuah kotak dengan satu ampul sianida, katanya. Ketika sebuah penera
Geiger mendeteksi peluruhan sebuah atom, ampul itu akan pecah. Menurut
Heisenberg, atom tidak “tahu” bahwa dirinya telah meluruh sebelum ada orang
yang mengukurnya. Maka, dalam kasus ini, sampai seseorang membuka kotak itu dan
melongok ke dalam, menurut para idealis, kucing itu akan terus berada dalam
keadaan tidak hidup dan juga tidak mati! Dengan anekdot ini, Schrödinger
bermaksud menggarisbawahi kontradiksi absurd yang disebabkan oleh penerimaan
interpretasi idealis subjektif Heisenberg atas fisika kuantum. Proses alam
berlangsung secara objektif, tidak tergantung apakah ada orang di sana untuk
mengamatinya atau tidak.
Menurut interpretasi Copenhagen, realitas hanya
muncul ketika kita mengamatinya. Pada saat selebihnya, realitas hanya ada dalam
sejenis limbo, dunia maya, atau “keadaan superposisi gelombang
peluang”, seperti kucing tadi yang berada dalam keadaan
tidak-mati-tapi-juga-tidak-hidup. Interpretasi Copenhagen mengambil garis
pembedaan tegas antara yang diamati dengan yang mengamati. Beberapa fisikawan
memilih pandangan, mengikuti ide interpretasi Copenhagen, bahwa kesadaran itu
pasti ada, tapi ide realitas material tanpa kesadaran adalah mustahil. Persis
inilah sudut pandang idealisme sunjektif yang dijawab oleh Lenin secara
komprehensif dalam bukunya Materialism and Empirio-criticism.
Materialisme dialektik berangkat dari
objektivitas jagad material, yang disampaikan pada kita melalui indera kita.
“Saya menerjemahkan dunia melalui indera saya.” Hal ini tidak perlu dibuktikan
lagi. Tapi dunia ini ada, tanpa tergantung dari indera saya. Hal ini juga tidak
perlu dibuktikan lagi, seharusnya demikian, tapi tidak untuk para filsuf
borjuis! Salah satu varian utama dari filsafat abad ke-20 adalah positivisme
logis, yang persis menyangkal objektivitas dunia material. Lebih tepatnya, ia
melihat bahwa pertanyaan apakah dunia ini ada atau tidak adalah sebuah
pertanyaan yang tidak relevan dan “metafisikal”. Sudut pandang idealisme
subjektif telah sempurna tergerogoti oleh penemuan-penemuan di abad ke-20.
Tindakan mengamati bermakna bahwa mata kita tengah menerima enerji dari sumber
luar tubuh dalam bentuk gelombang cahaya (foton). Hal ini dengan jelas
diuraikan Lenin di tahun 1908-9:
“Jika warna adalah satu sensasi yang tergantung
hanya dari retina (kita dipaksa mengakui ini oleh ilmu pengetahuan), maka sinar
cahaya, yang jatuh ke atas retina, menghasilkan sensasi tentang warna. Hal ini
berarti bahwa di luar tubuh kita, tidak tergantung pada kita dan pikiran kita,
terdapatlah pergerakan materi, katakanlah gelombang ether yang memiliki panjang
gelombang dan kecepatan tertentu, yang, ketika beraksi pada retina,
menghasilkan sensasi tentang warna. Persis inilah pandangan ilmu pengetahuan
tentangnya. Ilmu pengetahuan menjelaskan bahwa sensasi akan berbagai warna
tergantung dari berbagai panjang gelombang cahaya yang ada di luar retina
manusia, di luar tubuh manusia, dan tidak tergantung kepada manusia itu. Inilah
materialisme: materi yang bertindak atas organ-indera kita akan menghasilkan
sensasi. Sensasi tergantung pada otak, syaraf, retina, dsb., pada materi yang
diorganisasikan dengan cara tertentu. Keberadaan materi tidak tergantung dari
sensasi kita. Materi adalah primer. Sensasi, pikiran, kesadaran adalah produk
pamungkas dari materi yang terorganisir dalam cara yang khusus. Demikianlah
pandangan dari materialisme pada umumnya, dan pandangan dari Marx dan Engels
pada khususnya.”
Watak idealis-subjektif dari metode Heisenberg
nampak dengan sangat ekplisit:
“Situasi aktual kita dalam kerja-kerja
penelitian dalam fisika atomik biasanya seperti ini: kita ingin memahami gejala
tertentu, kita ingin mengenali bagaimana gejala ini mematuhi hukum satu alam
yang umum. Dengan demikian, bagian materi atau radiasi yang mengambil bagian
dalam gejala itu adalah ‘objek’ alamiah dalam perlakuan teoritik dan harus dipisahkan
dari alat-alat yang digunakan untuk menyelidiki gejala tersebut. Hal ini
lagi-lagi menekankan satu unsur subjektif dalam menggambarkan kejadian-kejadian
atomik, karena alat pengukur itu telah dibangun oleh sang pengamat, dan kita
harus ingat bahwa apa yang kita amati bukanlah alam itu sendiri tapi alam yang
ditempatkan di bawah metode penyelidikan kita. Kerja-kerja ilmah dalam fisika
mengandung upaya mempertanyakan alam dalam bahasa yang kita miliki dan berusaha
untuk mendapatkan jawaban dari percobaan melalui alat-alat yang ada dalam
genggaman kita.”
Kant mendirikan satu tembok kukuh antara dunia
yang tampak dan realitas ‘dalam dirinya sendiri”. Di sini Heisenberg melangkah
lebih jauh. Bukan hanya ia bicara tentang “alam pada dirinya sendiri”, tapi bahkan
menegaskan bahwa kita tidak dapat benar-benar memahami bagian alam yang kita
amati, karena kita mengubah bagian alam itu persis ketika kita mencoba
mengamatinya. Dengan cara ini, Heisenberg berusaha menghilangkan sama sekali
kriteria objektivitas ilmiah. Sayangnya, banyak ilmuwan yang tentunya akan
dengan tegas menolak tuduhan mistisisme telah tanpa sadar terserap dalam
ide-ide filsafat idealis Heisenberg, hanya karena mereka enggan menerima
perlunya pendekatan filsafat materialis yang konsisten atas alam ini.
Poinnya adalah bahwa hukum-hukum logika formal
runtuh di luar batas-batas tertentu. Hal ini terutama pasti berlaku untuk
gejala-gejala di tingkat dunia sub-atomik, di mana hukum-hukum identitas,
kontradiksi dan tanpa-antara tidak dapat diterapkan. Heisenberg mempertahankan
sudut pandang logika formal dan idealisme, dan dengan demikian, niscaya sampai
pada kesimpulan bahwa gejala kontradiktif pada tingkat sub-atomik tidak akan
pernah dapat dipahami sama sekali oleh otak manusia. Kontradiksinya, dengan
demikian, bukanlah terletak pada gejala teramati di tingkat sub-atomik, tapi
dalam skema mental logika formal yang teramat kuno dan penuh kekurangan itu.
Apa yang disebut “paradoks mekanika kuantum” persis adalah kontradiksi ini.
Heisenberg tidak dapat menerima keberadaan kontradiksi yang dialektis, dan
dengan demikian, memilih untuk bertahan pada filsafat mistisisme - “kita tidak
akan pernah tahu”, dan segala alasan lainnya.
Di sini kita menemukan diri kita dalam
lingkungan sejenis sulap filsafati. Langkah pertama adalah dengan mengaburkan
konsep sebab-akibat dengan determinisme mekanik kuno yang disajikan oleh
orang-orang seperti Laplace. Keterbatasan dari determinisme ini sebenarnya
telah diuraikan dan dikritisi oleh Engels dalam Dialectics of Nature. Penemuan
mekanika kuantum akhirnya menghancurkan sama sekali determinisme mekanik. Jenis
ramalan yang dibuat oleh mekanika kuantum berbeda dalam beberapa hal dari
ramalan mekanika klasik. Walau demikian, mekanika kuantum tetap saja terus
sanggup membuat ramalan-ramalan, dan menghasilkan jawaban-jawaban yang tepat
sesuai dengan apa yang diramalkan.
Kausalitas
(Hukum Sebab-Akibat) dan Peluang
Salah satu dari masalah yang dihadapi oleh para
pelajar filsafat atau ilmu pengetahuan adalah ketika satu istilah tertentu
digunakan, yang maknanya seringkali berbeda dengan maknanya sehari-hari. Salah
satu masalah pokok dalam sejarah filsafat adalah hubungan antra kebebasan dan
keharusan, satu masalah kompleks, yang dibuat lebih rumit setelah ia muncul
dalam berbagai rupa - kausalitas dan peluang, keharusan dan kebetulan,
determinisme dan indeterminisme, dsb.
Kita semua tahu dari pengalaman sehari-hari apa
yang kita maksud dengan “keharusan”. Ketika kita “harus” melakukan sesuatu, itu
berarti kita tidak memiliki pilihan lain. Kita tidak dapat melakukan hal yang
lain. Definisi keharusan dalam kamus adalah satu himpunan keadaan lingkungan
yang mendesak sesuatu untuk diadakan atau dilakukan, khususnya menyangkut satu
hukum alam raya, tidak terpisah dari, dan mengatur, kehidupan dan tindakan
manusia. Ide tentang keharusan fisik menyangkut pandangan tentang tekanan dan
keterbatasan. Hal ini nampak jelas dalam kalimat-kalimat semacam “tunduk pada
keharusan”. Hal ini terdapat pula dalam pepatah seperti “keharusan tidak mengenal
aturan”.
Dalam makna filsafati, keharusan berkerabat
erat dengan kausalitas, hubungan antara sebab dan akibat -
satu tindakan atau peristiwa tertentu yang mengharuskan timbulnya satu hasil
yang tertentu pula. Contohnya, jika saya berhenti bernafas selama satu jam,
saya akan mati, atu jika saya menggesek dua tongkat satu sama lain, saya akan
menghasilkan panas. Hubungan antara sebab dan akibat, yang dipastikan oleh
sejumlah besar pengamatan dan percobaan praktek, memainkan peran sentral dalam
ilmu pengetahuan. Sebaliknya, kebetulan dianggap sebagai sebuah
peristiwa yang tidak diharapkan, yang terjadi tanpa sebab yang jelas, seperti
ketika kita tersandung ubin yang pecah, atau menjatuhkan mangkuk di dapur.
Walau demikian, dalam filsafat, kebetulan adalah sebuah ciri yang hanya
merupakan atribut ikutan, yaitu, sesuatu yang bukan merupakan bagian
dari cirinya yang hakiki. Sebuah kebetulan adalah sesuatu yang tidak harus ada,
dan yang peluangnya untuk tidak terjadi sama besarnya dengan peluangnya untuk
terjadi. Mari kita lihat satu contoh.
Jika saya menjatuhkan selembar kertas, biasanya
ia akan jatuh begitu saja ke lantai, karena hukum-hukum gravitasi. Ini adalah
contoh dari kesebaban, dari keharusan. Tapi jika mendadak ada angin
bertiup, kertas itu akan melayang pergi begitu saja, hal yang akan dilihat
sebagai kebetulan. Maka keharusan diatur oleh sebuah hukum, dan dapat
dinyatakan dan diramalkan secara ilmiah. Hal-hal yang terjadi karena keharusan
adalah hal-hal yang tidak bisa tidak harus terjadi. Di pihak lain,
kejadian-kejadian acak, hal-hal yang tidak diharapkan, adalah kejadian-kejadian
yang bisa atau tidak bisa terjadi; mereka tidak diatur satu hukum tertentu yang
dapat dinyatakan dengan jelas dan karena sifat hakikinya, tidak dapat
diramalkan.
Pengalaman hidup meyakinkan kita bahwa baik
keharusan maupun kebetulan benar-benar ada dan memainkan suatu peran. Sejarah
ilmu pengetahuan dan masyarakat menunjukkan hal yang persis sama. Seluruh
hakikat dari sejarah ilmu pengetahuan adalah pencarian pola yang mendasari alam
raya. Kita telah belajar sejak masa kanak-kanak untuk membedakan apa yang
hakiki dan apa yang tidak hakiki, apa yang menjadi keharusan dan apa yang
kebetulan. Bahkan ketika kita menjumpai satu kondisi perkecualian yang terasa
“aneh” bagi kita dalam tingkatan pengetahuan yang kita miliki, seringkali
ternyata pengalaman berikutnya mengungkap keteraturan yang berbeda jenisnya,
dan hubungan sebab-akibat yang lebih dalam, yang tidak segera nampak secara
sepintas.
Pencarian akan satu pemahaman rasional akan
dunia yang kita diami ini berhubungan sangat dekat dengan kebutuhan untuk
menemukan kausalitas. Seorang anak kecil, dalam prosesnya belajar tentang
dunia, akan selalu bertanya “mengapa?” - yang selalu dianggap gangguan oleh
orang tuanya, yang seringkali kebingungan harus menjawab apa. Berdasarkan
pengamatan dan pengalaman, kita merumuskan satu hipotesis tentang apa yang
menyebabkan terjadinya satu gejala. Inilah dasar dari semua pemahaman rasional.
Biasanya, hipotesis-hipotesis ini pada gilirannya melahirkan ramalan mengenai
hal-hal yang belum kita alami. Ramalan-ramalan ini kemudian dapat diuji, baik
melalui pengamatan ataupun praktek. Ini bukan hanya penggambaran tentang
sejarah ilmu pengetahuan, tapi juga satu bagian penting dari perkembangan
mental dari tiap manusia dari awal masa kanak-kanak sampai seterusnya. Dengan
demikian ia mencakup perkembangan intelektual dalam maknanya yang terluas, dari
mulai proses pembelajaran yang paling dasar dari seorang anak sampai telaah
tentang jagad raya.
Keberadaan kausalitas ditunjukkan oleh sejumlah
besar pengamatan. Semua ini memungkinkan kita membuat ramalan-ramalan penting,
bukan hanya dalam ilmu pengetahuan tapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Semua
orang tahu bahwa jika air dididihkan sampai suhu 100oC ia akan
berubah menjadi uap. Inilah dasar, bukan hanya untuk pembuatan secangkir teh,
tapi juga untuk revolusi industri, yang telah menjadi dasar bagi seluruh
kehidupan masyarakat kita kini. Masih juga ada para filsuf dan ilmuwan
yang menegaskan dengan serius bahwa uap tidak dapat dikatakan disebabkan oleh
pemanasan air. Fakta bahwa kita dapat membuat ramalan mengenai sejumlah besar
peristiwa itu sendiri adalah bukti bahwa kausalitas bukanlah sekedar satu cara
yang enak untuk menggambarkan berbagai hal tapi, seperti yang ditunjukkan David
Bohm, merupakan aspek yang inheren dan hakiki dari segala hal. Sesungguhnya,
mustahillah bahkan untuk menentukan ciri-ciri segala hal tanpa mengandalkan
kausalitas. Contohnya, ketika kita berkata bahwa sesuatu adalah merah, kita
menyatakan bahwa ia akan bereaksi dengan cara tertentu ketika dikenai kondisi
tertentu - yaitu, satu objek berwarna merah didefinisikan sebagai sesuatu yang
jika dikenai cahaya putih akan memantulkan cahaya merah. Mirip dengan itu,
fakta bahwa air menjadi uap ketika dipanaskan, dan menjadi es ketika
didinginkan, adalah pernyataan dari sebuah hubungan sebab-akibat kualitatif
yang merupakan bagian dari sifat-sifat utama dari cairan ini, tanpanya ia bukan
lagi air. Hukum matematik umum tentang pergerakan benda bergerak merupakan pula
sifat-sifat hakiki dari benda-benda itu, tanpanya mereka tidak akan menjadi
seperti apa mereka yang kita kenal. Contoh itu dapat digandakan tanpa batas.
Dalam rangka memahami mengapa dan bagaimana sebab-akibat berkait erat dengan
sifat-sifat hakiki segala hal, tidaklah cukup untuk memandang hal-hal tersebut
secara statis dan saling terpisah satu sama lain. Perlulah untuk
memandang segala hal sebagaimana adanya, sebagaimana mereka pernah ada, dan
sebagaimana mereka akan harus ada - yaitu, menelaah segala hal sebagai proses.
Untuk memahami kejadian-kejadian tertentu,
tidak perlu untuk merinci semua sebab. Sesungguhnya, hal ini juga
mustahil. Jenis determinisme absolut yang diajukan oleh Laplace sebetulnya
telah dijawab sebelum masalah itu diajukan oleh Spinoza dalam kutipan cerdas
berikut ini:
“Contohnya, jika sebutir batu jatuh dari atap
ke atas kepala seorang yang sedang lewat dan membunuhnya, mereka akan
menunjukkan melalui cara berargumen mereka bahwa batu itu dikirim untuk jatuh
dan membunuh orang itu; karena jika batu itu tidak jatuh untuk tujuan itu,
dengan kehendak Tuhan, bagaimana mungkin begitu banyak lingkup kejadian (karena
seringkali begitu banyak lingkup kejadian yang terjadi pada saat bersamaan)
mengarah ke situ secara kebetulan? Anda akan menjawab, mungkin: ‘Angin sedang
bertiup dan orang itu harus melintas di situ, maka terjadilah hal itu.’ Tapi
mereka akan membalas: ‘Mengapa angin bertiup pada saat itu? Dan mengapa orang
itu berjalan ke arah itu pada saat itu?’ Jika Anda menjawab lagi: ‘Angin
bertiup karena pasang naik di laut pada hari sebelumnya, cuaca sebelumnya
tenang, dan orang itu berjalan di situ karena sedang memenuhi undangan seorang
kawan,’ mereka akan menjawab lagi, karena tidak ada ujungnya pertanyaan ini:
‘Mengapa laut pasang, dan mengapa orang itu diundang pada saat itu?’
“Dan mereka akan terus mengejar Anda dari sebab
ke sebab sampai Anda akan rela mengungsi ke dalam kehendak Tuhan, yaitu,
penampungan terhadap segala ketidaktahuan. Demikian pula, ketika mereka melihat
tubuh manusia mereka terkagum-kagum, dan karena mereka tidak memahami sebab
dari seni yang demikian indah itu, mereka menyimpulkan bahwa itu bukanlah hasil
sebuah seni mekanik, tapi seni yang bersifat ketuhanan atau supernatural, dan
yang dibangun dengan cara tertentu sehingga satu bagian tidaklah mencederai bagian
lainnya. Dari situlah munculnya kenyataan bahwa orang yang ingin mencari tahu
sebab sejati dari segala mukjizat, dan memahami berbagai hal di alam
sebagaimana halnya pemahaman seorang terpelajar, bukannya terbengong menatap
seperti seorang dungu, akan dianggap sebagai orang murtad dan pendosa, dan
dinyatakan demikian oleh mereka yang dianggap oleh gerombolan itu sebagai
penerjemah kejadian alam dan penyampai kehendak Tuhan. Karena mereka tahu bahwa
sekali ketidaktahuan disingkirkan maka keajaiban, yang selama ini menjadi
satu-satunya cara berargumen dan pertahanan terhadap kekuasaan mereka, itu akan
pula disingkirkan.”
Mekanisme
Upaya untuk menghilangkan segala kebetulan dari
alam pastilah membawa kita pada sudut pandang mekanistik. Dalam filsafat mekanistik
dari abad ke-18 - yang diwakili dalam ilmu pengetahuan oleh Newton, ide tentang
keharusan diangkat menjadi sebuah prinsip yang mutlak. Semua dilihat sebagai
sesuatu yang mutlak sederhana, bebas dari segala kontradiksi, dan tanpa
sedikitpun ketidakberaturan atau saling tindih antar berbagai hal.
Ide tentang keteraturan universal di alam jelas
benar secara mendasar, tapi suatu pernyataan keteraturan yang kering tidaklah
cukup. Yang dibutuhkan adalah sebuah pemahaman kongkrit akan bagaimana
hukum-hukum alam bekerja. Cara pandang mekanistik pastilah muncul dari sebuah
pandangan yang sepihak atas gejala-gejala alam, yang mencerminkan tingkat
perkembangan aktual ilmu pengetahuan pada saat itu. Pencapaian tertinggi dari
cara pandang ini adalah mekanika klasik, yang mengurusi proses-proses yang
relatif sederhana, sebab dan akibat, yang dipahami sebagai aksi eksternal
sederhana dari satu benda terhadap yang lain, pengungkit, kesetimbangan, massa,
inersia, mendorong, menekan, dan hal-hal lain semacam itu. Betapapun pentingnya
penemuan-penemuan ini, semuanya jelas tidak mencukupi untuk memungkinkan kita
sampai pada ide yang akurat tentang cara bekerjanya alam raya yang kompleks
ini. Kemudian, penemuan biologi, terutama setelah revolusi Darwinian,
memungkinkan satu pendekatan yang berbeda terhadap gejala-gejala ilmiah, yang
sejalan dengan proses yang lebih fleksibel dan tak kasat mata dari
materi-materi organik.
Dalam mekanika klasik Newton, gerak
diperlakukan sebagai sesuatu yang sederhana. Jika kita tahu pada saat tertentu
apa saja gaya yang bekerja pada satu objek yang sedang bergerak, kita akan
dapat memastikan bagaimana ia akan berperilaku di masa mendatang. Hal ini
membawa kita pada determinisme mekanistik, yang salah satu pendukung utamanya
adalah Pierre Simon de Laplace, ahli matematika Perancis abad ke-18, yang
teorinya tentang alam raya benar-benar mirip dengan ide tentang penciptaan dan
takdir, yang terkandung dalam beberapa agama, terutama Calvinisme.
Dalam bukunya Philosophical Essays on
Probabilities, Laplace menulis:
“Suatu intelektualitas yang pada saat tertentu
mengetahui segala gaya yang menghidupkan Alam Raya dan segala kedudukan dari
mahluk-mahluk yang menghuninya, jika intelektualitas ini cukup besar sehingga
sanggup menelaah seluruh data yang dimilikinya, dapat menyarikannya ke dalam
satu rumus tunggal tentang gerak baik dari benda-benda terbesar di jagad raya
maupun dari atom yang terkecil: bagi intelektualitas ini tidak sesuatupun akan
menjadi tidak pasti; dan baik masa depan maupun masa lalu akan tersaji dengan
jelas di depan mata kita.”
Kesulitan-kesulitan yang muncul dari metode
mekanistik diwarisi oleh para fisikawan abad ke-19 dari rekan-rekan mereka di
abad ke-18. Di sini, keharusan dan kebetulan dipandang sebagai dua hal yang
saling bertentangan, yang saling meniadakan satu sama lain. Satu hal atau
proses adalah salah satu: keharusan atau kebetulan - tidak bisa keduanya
sekaligus. Metode ini diperiksa dengan ketajaman pisau bedah oleh Engels dalam The
Dialectics of Nature, di mana ia menjelaskan bahwa determinisme mekanistik
Laplace niscaya akan membawa kita pada fatalisme [kepasrahan pada takdir] dan
konsepsi mistis tentang alam raya ini:
“Dan kemudian dinyatakanlah bahwa keharusan
adalah satu-satunya hal yang harus diperhatikan secara ilmiah dan bahwa
kebetulan adalah hal yang tidak ada gunanya bagi ilmu pengetahuan. Hal ini
adalah sama dengan menyatakan: apa yang dapat ditempatkan ke dalam hukum, yaitu
apa yang orang tahu, adalah bermanfaat; apa yang tidak dapat ditempatkan ke
dalam hukum, yaitu yang orang tidak tahu, tidaklah berguna dan dapat diabaikan.
Kalau demikian halnya, berakhirlah sejarah ilmu pengetahuan, karena ilmu justru
harus menyelidiki hal-hal yang tidak kita tahu. Artinya: apa yang dapat
ditempatkan pada satu hukum umum adalah keharusan, dan apa yang tidak dapat
adalah kebetulan. Semua orang dapat melihat bahwa ini adalah jenis ilmu yang
sama dengan jenis ilmu yang menyatakan bahwa apa yang alami adalah apa yang
dapat dijelaskannya, dan yang menyerahkan segala yang tak dapat dijelaskannya
pada sebab-sebab supernatural; yang dapat saya istilahkan sebagai sebab tak
terjelaskan, atau Tuhan, bukan masalah sejauh menyangkut hal yang tak dapat
dijelaskan itu sendiri. Keduanya adalah setara dengan: saya tidak tahu, dan
dengan demikian hal itu tidak masuk dalam hitungan ilmiah. Penyataan yang kedua
berhenti di titik di mana kita tidak dapat menemukan hubungan yang diperlukan
untuk menjelaskannya.”
Engels menunjukkan bahwa determinisme
mekanistik semacam ini dengan efektif mereduksi keharusan ke tingkatan
kebetulan. Jika tiap kejadian kecil berada dalam tingkat kepentingan dan
keharusan yang sama dengan hukum umum gravitasi, maka seluruh hukum dasar alam
berada dalam tingkat kedangkalan yang sama:
“Menurut pandangan ini, hanya keharusan yang
sederhana dan langsung yang mengendalikan alam ini. Bahwa sebuah kacang
tertentu mengandung lima butir biji kacang dan bukan empat atau enam, bahwa
satu buntut anjing tertentu panjangnya lima inci dan tidak secuilpun lebih
panjang atau lebih pendek, bahwa dalam tahun tertentu satu kuntum bunga
tertentu dibuahi oleh seekor lebah tertentu dan bukan oleh yang lain,
sesungguhnya persis oleh satu ekor lebah dan pada waktu tertentu, bahwa satu
biji rumput yang tertentu diterbangkan angin dan berbuah, sementara yang
lainnya tidak, bahwa kemarin malam saya digigit kutu pada pukul empat pagi, dan
bukan pada pukul tiga atau pukul lima, dan di bahu kiri bukannya di bahu kanan
- semua ini adalah fakta-fakta yang telah dihasilkan oleh rantai keniscayaan
sebab-akibat, oleh satu keharusan yang tak tergoyahkan dengan sifat yang
sedemikian rupa, sehingga sejak alam raya ini masih berupa kumpulan gas panas,
telah dirancang sedemikian rupa sehingga kejadian-kejadian itu berlangsung
dengan cara yang seperti itu dan bukan dengan cara yang lain.
“Dengan keharusan yang semacam ini kita tidak
akan pernah lepas dari pandangan teologi tentang alam raya. Baik sesuai dengan
Agustinus maupun dengan Calvin, kita menyebutnya sebagai takdir Tuhan, atau
Kismet, seperti sebutan orang-orang Turki, atau sebagai keharusan, semua itu
sama maknanya bagi ilmu pengetahuan. Mustahil bagi kita untuk merunut rantai
sebab-akibat dalam tiap kasus yang kita sajikan di atas; jadi kita tidak akan
bertambah bijak karenanya, apa yang disebut keharusan akan tinggal sebagai
kalimat-kalimat kosong, dan bersamanya - kebetulan juga tinggal seperti apa
adanya.”
Laplace berpikir bahwa jika ia dapat merunut
sebab-akibat dari segala sesuatu di jagad ini ia akan dapat menghapuskan
seluruh kebutuhan akan adanya kebetulan. Untuk waktu yang lama, nampaknya bahwa
bekerjanya seluruh alam raya tidaklah dapat direduksi menjadi beberapa
persamaan yang sederhana. Salah satu keterbatasan teori mekanistik klasik
adalah bahwa ia mengandaikan bahwa tidak ada pengaruh luar terhadap pergerakan
dari benda tertentu. Walau demikian, pada kenyataannya, tiap benda dipengaruhi
dan ditentukan oleh benda lain. Tidak sesuatupun yang hadir dalam keadaan
terisolasi.
Jaman ini, klaim Laplace terasa berlebihan dan
tidak masuk nalar. Tapi hal-hal berlebihan itu harus dilihat dalam tahapan
sejarah yang sedang ditempuhnya, di mana tiap generasi percaya dengan teguh
bahwa mereka telah menggenggam “kebenaran sepenuhnya”. Ini juga bukan hal yang
sepenuhnya keliru. Ide dari tiap generasi memang kebenaran sepenuhnya, untuk
masa itu. Apa yang kita nyatakan ketika kita menegaskan hal itu adalah:
“Inilah tingkatan terjauh yang dapat kita capai dalam memahami Alam Raya,
dengan kemampuan informasi dan teknologi yang kita miliki.” Dengan demikian,
bukanlah satu hal yang keliru bahwa hal-hal tersebut mutlak bagi kita pada
titik kesejarahan tertentu, karena kita hanya dapat menyandarkan diri pada
titik tersebut, bukan titik kesejarahan yang lain.
Abad
Ke-19
Pada masanya, mekanika klasik Newton merupakan
satu langkah maju yang besar bagi ilmu pengetahuan. Untuk pertama kalinya,
hukum-hukum Newton tentang gerak memungkinkan peramalan-peramalan kuantitatif
yang memiliki tingkat ketepatan tinggi, yang dapat diuji terhadap berbagai
gejala teramati. Walau demikian, persis ketepatan inilah yang membawa masalah
lain ketika Laplace dan orang-orang lain mencoba menerapkan hukum-hukum ini
kepada alam raya secara umum. Laplace meyakini bahwa hukum-hukum Newton adalah
mutlak dan sahih secara universal. Ia melakukan kesalahan ganda. Pertama,
hukum-hukum Newton tidak dilihat sebagai satu pendekatan yang berlaku di bawah
kondisi lingkup tertentu. Kedua, Laplace tidak memperhitungkan kemungkinan
bahwa di bawah kondisi lingkup yang berbeda, di wilayah yang belum dijelajahi
oleh fisika, hukum-hukum ini mungkin perlu diperbaiki atau diperluas.
Determinisme mekanistik Laplace menganggap bahwa sekali posisi dan kecepatan
diketahui untuk satu titik waktu tertentu, seluruh perilaku jagad raya di masa
depan akan dapat ditentukan. Menurut teori ini, seluruh kekayaan keragaman alam
raya ini dapat direduksi menjadi satu himpunan mutlak dari hukum-hukum
kuantitatif yang tergantung dari beberapa peubah [variabel] saja.
Mekanika klasik seperti yang ternyatakan dalam
hukum-hukum gerak Newton berurusan dengan sebab-akibat yang sederhana,
contohnya satu aksi tunggal dari satu benda terhadap benda lainnya. Walau
demikian, dalam prakteknya, hal ini mustahil, karena tidak ada sitem mekanik
yang benar-benar terpisah dari sistem lainnya di dunia. Pengaruh-pengaruh luar
niscaya akan menghancurkan ciri hubungan satu-satu yang terisolir dari sistem
ini. Bahkan jika kita dapat mengisolir satu sistem, masih akan terjadi gangguan
yang muncul dari gerak yang terjadi di tingkat molekular, dan lain-lain gangguan
dari mekanika kuantum di tingkat yang lebih dalam. Seperti yang dikemukakan
oleh Bohm: “Maka, tidak ada satu kasus yang nyata diketahui dari himpunan
hubungan sebab-akibat yang sempurna bersifat satu-satu, yang dapat secara
prinsip memungkinkan peramalan dengan ketepatan tak berhingga, tanpa
perlu memperhitungkan satu himpunan faktor kausal yang secara kualitatif baru,
yang hadir di luar sistem yang sedang diamati atau pada tingkatan lain dari
sistem itu.”
Apakah hal ini berarti bahwa peramalan adalah
mustahil? Sama sekali tidak. Ketika kita membidikkan sepucuk senapan pada titik
tertentu, sebutir peluru tunggal tidak akan pernah mendarat tepat pada titik
yang diramalkan oleh hukum gerak Newton. Walau demikian, sejumlah besar
tembakan akan menghasilkan satu kumpulan titik di sekitar titik yang
diramalkan. Maka, dengan memperhitungkan rentang kesalahan, yang pasti terjadi,
peramalan dengan ketepatan tinggi masih dimungkinkan. Jika kita ingin mencapai
satu ketepatan yang tak berhingga dalam contoh ini, kita akan menemukan semakin
banyak faktor yang akan mempengaruhi hasilnya - ketidakteraturan dalam struktur
senapan dan peluru, berbagai variasi kecil dari suhu, tekanan, kelembaban,
aliran udara, dan bahkan gerakan molekular dari semua faktor ini.
Pendekatan pada tingkat tertentu diperlukan,
dengan mengabaikan tak berhingganya faktor yang diperlukan untuk membuat satu
ramalan dengan ketepatan tak berhingga. Hal ini membutuhkan satu abstraksi dari
realitas, seperti yang dilakukan oleh mekanika Newton. Walau demikian, ilmu
pengetahuan terus melangkah maju, langkah demi langkah, untuk menemukan
hukum-hukum yang semakin dalam dan tepat, yang akan memungkinkan kita untuk
mendapat pemahaman yang semakin dalam tentang proses bekerjanya alam, dan dari
situ memungkinkan kita untuk membuat ramalan yang semakin tepat.
Ditinggalkannya determinisme mekanik Newton dan Laplace yang kuno itu tidaklah
berarti penghapusan sebab-akibat, tapi satu pemahaman yang lebih dalam tentang
cara bekerja yang sejati dari sebab-akibat itu sendiri.
Retakan pertama dari benteng keilmuwan Newton
muncul dalam paruh kedua abad ke-19, khususnya dengan teori evolusi Darwin dan
karya fisikawan Austria, Ludwig Boltzmann, tentang interpretasi statistik atas
proses termodinamik. Para fisikawan berusaha menjelaskan sistem multi-partikel
semacam gas atau cairan dengan memakai metode statistik. Walau demikian,
statistik itu dilihat sebagai sebuah pembantu dalam situasi di mana mustahil,
untuk alasan-alasan praktis, untuk mengumpulkan informasi yang rinci menganai
semua ciri dari sistem teramati (contohnya, seluruh posisi dan kecepatan dari
partikel-partikel gas pada satu titik waktu tertentu).
Abad ke-19 mencatat perkembangan dari
statistika, pertama dalam bidang ilmu sosial, lalu dalam fisika, contohnya
dalam teori gas, di mana baik keacakan maupun kepastian dapat dilihat dalam
pergerakan molekul-molekul. Di satu pihak, molekul-molekul secara individu
nampak bergerak dalam cara yang seluruhnya acak. Di pihak lain, sejumlah besar
molekul yang menyusun gas dilihat bergerak dalam satu cara yang mematuhi
hukum-hukum dinamika yang berketepatan tinggi. Bagaimana menjelaskan
kontradiksi ini? Jika pergerakan dari molekul-molekul penyusunnya acak dan,
dengan demikian, tidak dapat diramalkan, seharusnya perilaku gas juga tidak
dapat diramalkan? Jauh sekali dari kenyataan.
Jawaban untuk persoalan ini disediakan oleh
hukum perubahan kuantitas menjadi kualitas. Apa yang nampak sebagai pergerakan
acak dari sejumlah besar molekul ternyata menghasilkan satu keteraturan dan
pola yang dapat dinyatakan dalam hukum-hukum ilmiah. Dari kekacauan, lahirlah
aturan. Hubungan dialektik antara kebebasan dan keharusan, antara kekacauan dan
keteraturan, antara keacakan dan kepastian adalah hal yang tertutup bagi para
ilmuwan abad ke-19, yang menganggap hukum-hukum yang mengatur gejala-gejala
acak (statistik) sebagai hal yang sama sekali terpisah dari persamaan yang
berketepatan tinggi dari mekanika klasik.
“Cairan atau gas apapun,” tulis Gleick, “adalah
satu kumpulan dari potongan-potongan individual, demikian banyak sehingga
jumlahnya dapat dianggap tak berhingga. Jika tiap potongan digerakkan secara
independen, maka cairan itu akan memiliki kemungkinan yang tak berhingga,
‘derajat kebebasan’ tak berhingga dalam istilahnya, dan persamaan yang
menggambarkan pergerakan itu akan harus berisi peubah yang jumlahnya juga tak
berhingga. Tapi tiap partikel tidaklah bergerak secara independen -
pergerakannya sangat tergantung pada pergerakan partikel tetangganya - dan
dalam aliran yang mulus, derajat kebebasannya menjadi sangat kecil.”
Mekanika klasik bekerja sangat baik untuk waktu
yang lama, ia memungkinkan kemajuan-kemajuan dalam bidang teknologi. Bahkan
sampai sekarang hukum-hukum itu masih terus memiliki penerapan yang beraneka
ragam. Walau demikian, akhirnya ditemukan bahwa beberapa wilayah tertentu tidak
dapat ditangani dengan baik oleh metode-metode ini. Mereka telah mencapai
batasan mereka. Dunia mekanika klasik yang teratur dan logis menggambarkan
sebagian alam ini, tapi hanya sebagian. Di alam raya kita melihat keteraturan,
tapi juga ketidakteraturan. Berdampingan dengan organisasi dan stabilitas
terdapat pula kekuatan-kekuatan yang sama kuatnya berjalan ke arah yang
berlawanan. Di sini kita terpaksa memakai dialektika, untuk menentukan hubungan
antara keharusan dan kebetulan, untuk menentukan di titik mana akumulasi dari
perubahan-perubahan kuantitas yang kecil, yang kelihatannya tidak penting,
berubah menjadi lompatan kualitatif yang mendadak.
Bohm mengusulkan satu perumusan ulang yang
radikal atas mekanika kuantum, dan satu cara baru untuk melihat hubungan antara
yang keseluruhan dan yang sebagian.
“Dalam telaah-telaah ini … menjadi jelas bagi
kita bahwa bahkan sistem yang hanya terdiri dari satu benda memiliki ciri-ciri
yang pada dasarnya non-mekanikal, dalam makna bahwa ia dan lingkungannya
haruslah dipahami sebagai satu keseluruhan yang tak terpisahkan, di mana
analisis klasik yang jamak dilakukan terhadap sistem dan lingkungan, di mana
keduanya dianggap sebagai terpisah dan berada satu di luar yang lain, tidak
lagi dapat diterapkan.” Hubungan antara bagian-bagian “tergantung secara
krusial pada keadaan yang keseluruhan, dalam cara yang sedemikian sehingga ia
tidak akan dapat dinyatakan hanya dalam ciri-ciri dari bagian-bagian itu.
Sesungguhnya, bagian-bagian itu diorganisasikan dalam cara yang mengalir dari
yang seluruhnya.”
Hukum dialektika tentang peralihan dari
kuantitas ke kualitas menyatakan ide bahwa materi berperilaku berbeda dalam
tingkatan yang berbeda-beda. Maka, kita melihat tingkatan molekular, tingkatan
yang dipelajari terutama dalam kimia tapi juga dalam fisika; kita melihat
tingkatan materi hidup, yang dipelajari terutama dalam biologi; tingkatan
sub-atomik, yang dipelajari dalam mekanika kuantum; dan juga tingkatan yang
bahkan lebih dalam daripada itu yaitu tingkatan partikel-partikel elementer,
yang kini sedang dijelajahi dalam fisika partikel. Tiap tingkatan ini masih
pula memiliki sub-tingkatannya sendiri-sendiri.
Telah ditunjukkan bahwa hukum-hukum yang
mengatur perilaku materi di tiap tingkatan tidaklah sama. Hal ini telah
ditunjukkan di abad ke-19 oleh teori kinetika gas. Jika kita mengambil sekotak
gas yang mengandung milyaran molekul, yang bergerak dengan jalur yang acak dan
terus-menerus bertumburan satu dengan lainnya, jelas mustahil untuk menentukan
dengan tepat pergerakan dari tiap molekul. Sekilas pandang, hal ini akan
menyebabkan kemustahilan untuk menemukan persamaan yang murni matematik tentang
hal ini. Bahkan jika dimungkinkan untuk memecahkan persoalan matematik yang ada
di dalamnya, akan mustahil dalam praktek untuk mengukur posisi awal dan
kecepatan dari tiap molekul, satu hal yang dibutuhkan untuk menentukan
prakondisi yang berketepatan tinggi atas sistem ini. Bahkan secuil perubahan
dalam sudut awal gerak satu molekul akan mengubah arah geraknya, yang pada
gilirannya akan membawa perubahan lebih besar pada tumburan berikutnya, dan
seterusnya, yang akhirnya akan membawa tingkat kesalahan yang besar berkaitan
dengan pergerakan satu molekul tertentu.
Jika kita mencoba menerapkan sistem berpikir
yang sama pada perilaku gas dalam tingkatan makroskopik (”normal”), kita akan
menganggap bahwa mustahil pula untuk meramalkan perilakunya. Tapi kenyataannya
tidak demikian, perilaku gas pada tingkatan besar dapat diramalkan dengan
sempurna. Seperti yang ditunjukkan Bohm:
“Jelaslah bahwa kita dibenarkan untuk bicara
tentang satu tingkatan makroskopik yang memiliki himpunan kualitas yang relatif
otonom dan memenuhi satu himpunan hubungan yang relatif otonom yang secara
efektif menyusun satu himpunan hukum kausal makroskopik. Sebagai contoh, jika
kita meneliti satu massa air, kita tahu melalui pengalaman skala-besar bahwa ia
bertindak dalam ciri khasnya sendiri sebagai suatu cairan. Yang kita maksudkan
adalah bahwa ia menunjukkan semua kualitas makroskopis yang kita kenali sebagai
likuiditas. Contohnya, ia mengalir, ia ‘membasahi’ segala sesuatu, ia cenderung
menjaga volumenya, dsb. Dalam pergerakannya ia memenuhi satu himpunan persamaan
hidrodinamik dasar yang dinyatakan dalam ciri-ciri skala besar saja, seperti
tekanan, suhu, kerapatan lokal, kecepatan aliran lokal, dsb. Maka, jika kita
ingin memahami sifat-sifat massa air, kita tidak perlu memperlakukannya sebagai
sebuah agregat molekul-molekul, melainkan sebagai sebuah keberadaan yang hadir
pada tingkat makroskopik, yang mengikuti hukum-hukum yang sesuai untuk
tingkatan tersebut.”
Hal ini bukan berarti bahwa molekul-molekul
penyusun itu tidak memiliki hubungan apapun dengan perilaku air. Sebaliknya.
Hubungan antar molekul menentukan, contohnya, apakah ia mewujudkan diri sebagai
suatu cairan, benda padat atau uap. Tapi, sebagaimana dinyatakan Bohm,
terdapatlah satu otonomi relatif, yang berarti bahwa materi berperilaku berbeda
pada tingkatan yang berbeda; di sana ada “satu stabilitas tertentu
dari tata karakteristik atas perilaku makroskopis, yang cenderung menjaga
keberadaannya kurang-lebih independen dari apa yang dilakukan oleh
molekul-molekul secara individu, tapi juga dari berbagai gangguan yang
dikenakan terhadap sistem tersebut dari luar dirinya.”
Apakah
Ramalan Dimungkinkan?
Ketika kita melemparkan sekeping uang logam ke
udara, peluang bahwa ia akan mendarat “kepala atau buntut” dapat ditetapkan
pada tingkat 50:50. Itu adalah sebuah gejala yang benar-benar acak, yang tidak
dapat diramalkan. (Kebetulan, ketika ia sedang berputar di udara, koin itu
bukanlah “kepala” maupun “buntut”; dialektika - dan fisika baru - akan
menyatakan bahwa ia adalah keduanya, kepala dan buntut sekaligus.) Karena
terdapat hanya dua kemungkinan, peluang akan berjaya. Tapi persoalannya akan
berbeda secara radikal ketika jumlah pengulangannya dibuat demikian besar. Para
pemilik rumah judi, yang kita anggap mendasarkan diri pada permainan “peluang”
tahu bahwa, dalam jangka panjang, nol atau dobel-nol akan muncul sesering
angka-angka lain, dan dengan demikian mereka akan dapat membuat keuntungan yang
berlimpah dan dapat diramalkan. Hal yang sama terjadi pada perusahaan-perusahaan
asuransi yang menghasilkan banyak uang dari peluang-peluang yang diperhitungkan
secara presisi, yang, pada titik terakhirnya, akhirnya berubah menjadi
keniscayaan praktis, bahkan jikalaupun nasib individu pemegang polis tidak akan
pernah dapat diramalkan secara tepat.
Apa yang dikenal sebagai “kejadian acak massal”
dapat diterapkan pada bidang yang sangat luas cakupannya dalam fisika, kimia,
biologi dan gejala sosial, dari jenis kelamin bayi sampai kekerapan terjadinya
cacat dalam jalur produk sebuah pabrik. Hukum-hukum peluang memiliki sejarah
yang panjang dan telah digunakan di masa lalu dalam berbagai bidang: teori
kesalahan (Gauss), teori keakuratan tembakan (Poisson, Laplace), dan di atas
segalanya, dalam statistik. Contohnya, “hukum bilangan besar” menegaskan
prinsip umum bahwa gabungan efek dari sejumlah besar faktor kebetulan, untuk
kelas faktor yang sangat besar jumlahnya, membawa hasil yang hampir sama sekali
tidak tergantung pada peluang. Ide ini bahkan telah dikemukakan di tahun 1713 oleh
Bernoulli, dan oleh Chebyshev di tahun 1867. Apa yang dilakukan Heisenberg
hanyalah menerapkan matematika dari apa yang telah dikenal sebagai kejadian
acak skala-massal kepada gerakan partikel sub-atomik, di mana, dapat diduga
sebelumnya, unsur keacakan dapat ditundukkan dengan cepat.
“Mekanika kuantum telah menemukan hukum-hukum
yang berketepatan tinggi dan indah, yang mengatur peluang, dengan jumlah besar
seperti inilah ilmu pengetahuan mengatasi kekurangan yang disebabkan oleh
indeterminasi dasarnya. Melalui cara inilah ilmu pengetahuan dengan gagahnya
membuat peralaman. Sekalipun ia kini dengan rendah hati mengakui bahwa dirinya
tidak berdaya untuk meramalkan perilaku persis dari elektron atau foton secara
individual atau benda-benda lain yang mendasar semacam itu, ia masih tetap
dapat menyatakan dengan penuh percaya diri bagaimana sejumlah besar partikel
itu akan berperilaku.”
Dari apa yang nampak sebagai keacakan,
muncullah satu pola. Pencarian untuk pola semacam itulah, yakni hukum yang
mendasarinya, yang menjadi basis bagi seluruh sejarah ilmu pengetahuan. Tentu
saja, jika kita menerima bahwa segala sesuatunya sebetulnya acak, bahwa tidak
ada sebab-akibat, dan bahwa, walau bagaimanapun, kita tidak akan pernah
memahami apapun karena tidak ada batasan objektif bagi pengetahuan kita, maka
semua pencarian itu akan menjadi pemborosan waktu paling sempurna. Untungnya,
seluruh sejarah ilmu pengetahuan menunjukkan bahwa ketakutan semacam itu tidak
memiliki basis secuilpun. Dalam mayoritas pengamatan ilmiah, tingkat
indeterminasi demikian kecilnya sehingga, untuk keperluan praktis, ia dapat
diabaikan. Pada tingkat benda-benda sehari-hari, prinsip ketidakpastian
terbukti mutlak tidak berguna. Maka, semua upaya untuk menarik kesimpulan
filsafati umum dari sana, dan menerapkannya pada pengetahuan dan ilmu secara
umum, benar-benar merupakan tipuan yang licik. Bahkan di tingkat sub-atomik,
sama sekali itu bukan berarti bahwa kita tidak akan pernah dapat membuat
ramalan yang berketepatan tinggi. Sebaliknya, mekanika kuantum masih membuat
ramalan-ramalan semacam itu. Mustahil untuk mencapai tingkat kepastian yang
tinggi tentang koordinat dari partikel-partikel secara individu, yang kemudian
dapat kita sebut sebagai acak. Namun, pada akhirnya, dari keacakan lahirlah keteraturan
dan keseragaman.
Kebetulan, peluang, akibat ikutan, dsb., adalah
gejala yang tidak dapat didefinisikan hanya dalam lingkup ciri-ciri yang
diketahui dari objek yang sedang diamati. Walau demikian, hal ini tidaklah
berarti mereka tidak dapat dipahami. Mari kita lihat satu contoh jamak dari
peristiwa kebetulan - tabrakan mobil. Satu kecelakaan tunggal ditentukan oleh
jumlah peristiwa kebetulan yang tak berhingga banyaknya: jika sang pengemudi
meninggalkan rumah semenit kemudian, jika ia tidak memalingkan mukanya
sedetikpun dari jalan, jika ia mengemudi sepuluh mil per jam lebih lambat, jika
wanita tua itu tidak menyeberang jalan, dsb., dsb. Kita telah mendengar hal
seperti ini berulang kali. Jumlah sebab di sini adalah tak berhingga. Tepat
karena alasan ini, kejadian itu seluruhnya tidak dapat diramalkan. Ia adalah
kejadian yang murni kebetulan, bukan keharusan, karena ia sama boleh terjadinya
dengan tidak. Kejadian semacam ini, bertentangan dengan teori Laplace,
ditentukan oleh demikian banyak faktor yang independen sehingga ia tidak dapat
ditentukan sama sekali.
Walau demikian, ketika kita meninjau sejumlah
besar kecelakaan semacam itu, gambaran yang terjadi berubah secara radikal. Ada
kecenderungan yang reguler, yang dapat dengan tepat diperhitungkan dan
diramalkan melalui apa yang kita kenal sebagai hukum-hukum statistik.
Kita tidak dapat meramalkan satu kecelakaan tertentu, tapi kita dapat
meramalkan dengan ketepatan tinggi jumlah kecelakaan yang akan terjadi di satu
kota dalam jangka waktu tertentu. Bukan hanya itu, tapi kita dapat
mengintrodusir hukum-hukum dan peraturan yang memiliki satu dampak yang pasti
terhadap jumlah kecelakaan. Dengan demikian, ada aturan-aturan yang mengatur
segala kebetulan, yang sama pastinya dengan hukum-hukum yang mengatur
sebab-akibat itu sendiri.
Hubungan sejati antara sebab-akibat dan peluang
telah dikemukakan oleh Hegel, yang menjelaskan bahwa keharusan menyatakan
dirinya melalui peluang. Satu contoh yang baik tentang hal ini adalah asal-mula
kehidupan itu sendiri. Ilmuwan Rusia, Oparin, menjelaskan bagaimana dalam
kondisi yang kompleks di masa-masa awal sejarah bumi, pergerakan acak dari
molekul-molekul cenderung membentuk molekul yang semakin kompleks dengan segala
macam peluang kombinasi. Pada titik tertentu, jumlah peluang kombinasi yang
teramat besar ini menimbulkan satu lompatan kualitatif, munculnya materi hidup.
Pada titik ini, proses itu bukan lagi sekedar persoalan peluang murni. Materi
hidup mulai berkembang sesuai dengan hukum-hukum tertentu, mencerminkan keadaan
yang berubah. Hubungan antara keharusan dan kebetulan ini dalam ilmu
pengetahuan telah ditelusuri oleh David Bohm:
“Dengan demikian kita melihat makna pentingnya
peluang. Karena, jika kita memberi cukup waktu, ia akan memungkinkan, bahkan
memastikan berbagai jenis kombinasi dari berbagai hal. Salah satu dari
kombinasi itu, yang menggerakkan proses searah atau garis perkembangan yang
melepaskan sistem tersebut dari pengaruh fluktuasi peluang, pada akhirnya pasti
terjadi. Dengan demikian, satu dari efek peluang adalah bantuan untuk ‘mengaduk
berbagai hal’ dengan cara yang sedemikian rupa sehingga memungkinkan inisiasi
dari satu garis perkembangan yang baru secara kualitatif.”
Berpolemik melawan interpretasi
idealis-subjektif atas mekanika kuantum, Bohm menunjukkan secara memuaskan
hubungan dialektik antara sebab-akibat dan peluang. Kehadiran sebab-akibat
telah ditunjukkan oleh seluruh sejarah pemikiran manusia. ini bukanlah masalah
spekulasi filsafati, tapi dari praktek dan proses tanpa henti dari pemahaman
manusia:
“Hukum-hukum sebab-akibat dalam sebuah masalah
tertentu tidaklah dapat ditentukan a priori; mereka harus ditemukan di alam.
Walau demikian, sejalan dengan pengalaman ilmiah dari banyak generasi dan latar
belakang umum dari pengalaman bersama umat manusia selama berabad-abad, telah
dikembangkanlah berbagai metode yang terumus rapi untuk menemukan hukum-hukum
sebab-akibat itu. Hal pertama yang membuktikan adanya hukum-hukum sebab-akibat
itu adalah, tentu saja, kehadiran satu hubungan reguler yang berlaku di dalam
sjumlah besar variasi kondisi. Ketika kita menemukan keteraturan semacam itu,
kita tidak menganggap bahwa mereka lahir dengan cara yang acak, sembarang, atau
tidak diharapkan, tapi … kita menganggap, setidaknya dengan hati-hati, bahwa mereka
adalah hasil dari sebuah hubungan sebab-akibat yang pasti. Dan bahkan, dengan
mempertimbangkan pula ketidakteraturan, yang selalu hadir bersamaan dengan
keteraturan itu, kita dibimbing, berdasarkan pengalaman ilmiah secara umum,
untuk mengharapkan bahwa gejala-gejala yang bagi kita masih kelihatan
sepenuhnya tidak teratur, dalam konteks tahapan perkembangan pemahaman tertentu
yang kita miliki, akan di kemudian hari kelihatan mengandung bentuk-betuk
keteraturan yang lebih halus, yang pada gilirannya akan membuktikan adanya
keteraturan di tingkat yang lebih dalam.”
Hegel
tentang Keharusan dan Kebetulan
Dalam menelaah sifat-sifat keberadaan dalam
segala perwujudannya, Hegel menangani hubungan antara yang potensial
dan yang aktual, dan juga antara keharusan dan kebetulan
(”akibat ikutan”). Dalam hubungannya dengan masalah ini, penting untuk
memperjelas kutipan Hegel yang paling terkenal: “Apa yang rasional adalah
aktual, dan yang aktual adalah rasional.” Sekilas, pernyataan ini nampak
mistis, dan juga reaksioner, karena kelihatannya ia menegaskan bahwa segala hal
yang ada adalah rasional, dan dengan demikian dibenarkan untuk terus ada. Walau
demikian, hal ini sama sekali bukan apa yang dimaksudkannya, seperti yang
dijelaskan oleh Engels:
“Kini, menurut Hegel, realitas adalah sama
sekali bukan merupakan ciri yang dapat dilekatkan pada tiap keadaan-peristiwa,
sosial atau politik, dalam segala kejadian-lingkup dan pada segala waktu.
Sebaliknya, Republik Romawi adalah hal yang riil, namun demikian juga Kekaisaran
Romawi, yang menggantikannya. Di tahun 1789 monarki Perancis telah menjadi
demikian artifisial, demikian terlucuti dari segala keharusan, demikian
irasional, sehingga ia harus dihancurkan oleh Revolusi Besar itu, yang selalu
dikumandangkan Hegel dengan entusiasme yang berkobar-kobar. Dalam hal ini,
dengan demikian, monarki tidaklah riil dan revolusilah yang riil. Dan
demikianlah, dalam perjalanan perkembangannya, semua yang tadinya riil menjadi
tidak riil, kehilangan keharusannya, haknya untuk mengada, rasionalitasnya.
Dalam kejatuhan realitas itu muncullah satu realitas yang baru dan hidup -
dengan damai jika realitas yang lama memiliki cukup otak untuk pergi ke
peraduan terakhirnya tanpa perlawanan, dengan kekerasan jika realitas lama itu
melawan keharusan baru ini. Dengan demikian, proposisi Hegelian berbalik
menjadi lawannya melalui dialektika Hegelian itu sendiri: Segala yang riil
dalam lingkup sejarah manusia menjadi irasional dalam proses waktu, menjadi
irasional justru karena tujuannya itu sendiri, tercemari terlebih dahulu dengan
irasionalitas; dan segala hal yang rasional dalam benak manusia ditakdirkan
menjadi riil, bagaimanapun kontradiktifnya itu dengan realitas yang masih
nampak hadir. Sejalan dengan segala aturan metode berpikir Hegelian, proposisi
tentang rasionalitas dari segala yang riil meluruhkan dirinya menjadi proposisi
lain: Segala yang ada ditakdirkan untuk musnah.”
Satu bentuk masyarakat tertentu adalah
“rasional” sejauh ia mencapai tujuan-tujuannya, yaitu, bahwa ia mengembangkan kekuatan
produktif, mengangkat tingkat budaya manusia, dan dengan demikian mendukung
kemajuan umat manusia. Sekali ia gagal melalukan hal ini, ia menjadi tidak
rasional dan tidak riil, dan tidak lagi memiliki hak untuk terus hidup. Dengan
demikian, bahkan dalam pernyataannya yang nampaknya paling reaksioner, Hegel
menyembunyikan satu ide yang revolusioner.
Segala yang ada hanya dapat hadir jika
diharuskan hadir. Tapi tidak segala sesuatu dapat mengada. Keberadaan potensial
bukanlah keberadaan yang aktual, keberadaan yang riil. Dalam The Science of
Logic, Hegel dengan hati-hati menelusuri proses di mana sesuatu berjalan
dari keadaan keberadaan yang hanya mungkin sampai titik di mana kemungkinan
[possibility] berubah menjadi kebolehjadian [probability],
dan di mana yang disebut terakhir itu berubah menjadi keniscayaan
(”keharusan”). Dengan memandang kericuhan kolosal yang telah muncul dalam ilmu
pengetahuan modern seputar isu tentang “kebolehjadian”, satu telaah atas
perlakuan Hegel yang menyeluruh dan mendasar atas subjek ini adalah hal yang
sangat dianjurkan.
Kemungkinan dan aktualitas menyatakan
perkembangan dialektik dari dunia nyata dan berbagai tahapan dalam kemunculan
dan perkembangan berbagai objek. Satu hal yang hadir secara potensial
mengandung di dalam dirinya kecenderungan objektif untuk perkembangan, atau
setidaknya ketiadaan kondisi yang akan memustahilkan dirinya benar-benar muncul
ke permukaan. Walau demikian, terdapat satu perbedaan antara kemungkinan
abstrak dan potensi riil, dan kedua hal itu sering dicampuradukkan satu sama
lain. Kemungkinan abstrak atau formal hanya menyatakan ketiadaan kondisi yang
akan memustahilkan satu gejala tertentu, tapi tidaklah lantas berarti adanya
satu kondisi yang akan membuat kemunculannya menjadi suatu yang niscaya.
Hal ini membawa kebingungan tanpa ujung, dan
biasanya merupakan satu tipuan yang berguna untuk membenarkan segala macam ide
yang absurd dan acak. Contohnya, telah dikemukakan bahwa jika seekor kera
dibiarkan mengetuk-ngetuk tuts mesin tik cukup lama, akhirnya ia akan mampu
menghasilkan salah satu soneta Shakespeare. Tujuan percobaan ini sangatlah
bersahaja. Mengapa hanya satu soneta? Mengapa tidak sekalian seluruh kumpulan
karya Shakespeare? Mengapa juga tidak sekalian seluruh literatur yang ada di dunia,
dengan ditambah bonus teori relativitas dan simponi-simponi Beethoven?
Penegasan kering bahwa hal itu “secara statistik dimungkinkan” tidaklah membawa
kita selangkahpun lebih maju. Proses alam, masyarakat dan pemikiran manusia
yang kompleks itu tidaklah dapat ditundukkan ke dalam perlakuan statistik yang
sederhana, bahkan juga karya-karya sastra yang besar tidak akan pernah muncul
dari kebetulan belaka, betapapun lamanya kita menunggu kera kita menghasilkan
hal itu.
Agar yang potensial dapat menjadi aktual,
dibutuhkan satu rantai kejadian-lingkup tertentu. Lebih jauh lagi, ini bukanlah
satu proses yang sederhana atau linear, tapi dialektik, di mana satu akumulasi
atas perubahan-perubahan kualitatif kecil akhirnya menghasilkan lompatan
kualitatif. Kemungkinan riil, jika dibandingkan dengan yang abstrak, menyatakan
adanya semua faktor wajib yang akan memungkinkan potensi itu meninggalkan
keadaan menggantungnya, dan menjadi aktual. Dan, seperti yang diterangkan
Hegel, ia akan tetap aktual hanya selama kondisi-kondisi ini hadir, tidak
sedetikpun lebih lama. Hal ini dibenarkan ketika kita merujuk pada kehidupan
satu individu, satu bentuk sosial-ekonomi tertentu, satu teori ilmiah, atau
gejala-gejala alam lainnya. Titik di mana perubahan akan menjadi satu keniscayaan
dapat ditentukan melalui metode yang diciptakan oleh Hegel, yang dikenal
sebagai “garis pengukuran nodal”. Jika kita menganggap sebuah proses sebagai
sebuah garis, akan nampak bahwa terdapat titik-titik tertentu (”titik nodal”)
pada garis perkembangan, di mana proses tersebut mengalami percepatan mendadak,
atau lompatan kualitatif.
Sangatlah mudah untuk mengenali sebab dan
akibat dalam kasus yang terisolir, seperti ketika kita memukul sebuah bola
dengan tongkat. Tapi, dalam makna yang lebih luas, pandangan tentang
sebab-akibat menjadi jauh lebih rumit. Sebab dan akibat individual lenyap dalam
lautan interaksi, di mana sebab diubah menjadi akibat dan sebaliknya.
Cobalah menelusuri satu kejadian sederhana sampai ke “sebab paling utama”-nya
dan Anda akan melihat bahwa keabadianpun tidak akan cukup panjang untuk memberi
kita waktu yang cukup untuk melakukan tugas itu. Akan selalu ada sebab yang
baru, dan yang pada gilirannya harus pula dijelaskan, dan seterusnya ad
infinitum, sampai tak berhingga. Paradoks ini telah masuk dalam kesadaran
umum dalam ujar-ujar semacam ini:
Karena
kurang sebatang paku, ladam pun lepas;
Karena
ladam lepas, seekor kuda tidak dapat dikendalikan;
Karena
seekor kuda tidak dapat dikendalikan, penunggangnya tewas;
Karena
penunggangnya tewas, kita kalah dalam pertempuran;
Karena
kita kalah dalam pertempuran, kerajaan kita direbut musuh;
…
Semua gara-gara kurang sebatang paku.
Kemustahilan untuk menetapkan satu “sebab
final” telah menyebabkan beberapa orang meninggalkan sama sekali ide tentang
sebab-akibat. Segala hal dilihat sebagai acak dan kebetulan. Di abad ke-20
posisi ini telah dipegang, setidaknya dalam teori, oleh sejumlah besar ilmuwan
berdasarkan interpretasi yang tidak tepat atas hasil-hasil yang dicapai fisika
kuantum, khususnya posisi filsafati Heisenberg. Hegel sebetulnya telah menjawab
argumen-argumen ini, ketika ia menjelaskan hubungan dialektik antara keharusan
dan kebetulan.
Hegel menjelaskan bahwa tidak ada yang namanya
sebab-akibat dalam makna sebab-akibat yang terisolasi. Tiap akibat
memiliki akibat-tandingan [counter-effect], dan tiap aksi memiliki
aksi-tandingan. Ide tentang sebab-akibat yang terisolasi adalah satu abstraksi
yang diambil dari fisika klasik Newton, yang sangat dikritisi oleh Hegel,
sekalipun waktu itu masih sangat diakui. Di sini pula, Hegel maju mendahului
jamannya. Bukannya satu pandangan mekanik tentang aksi-reaksi, ia memajukan
pandangan tentang ketimbalbalikan [reciprocity], tentang
interaksi universal. Segala hal mempengaruhi segala yang lain, dan pada
gilirannya, dipengaruhi dan ditentukan oleh segala hal lain itu juga. Hegel,
dengan demikian, memajukan kembali konsep kebetulan yang telah dikeluarkan
dengan bersemangat dari ilmu pengetahuan oleh para filsafat mekanik dari Newton
dan Laplace.
Sepintas, kita kelihatannya tersesat dalam
lautan kebetulan. Tapi kesesatan ini hanya penampakan belaka. Gejala yang
kebetulan, yang terus muncul dan lenyap, seperti gelombang di permukaan laut,
menyatakan proses yang lebih dalam, yang bukannya kebetulan tapi keharusan.
Pada satu titik yang menentukan, keharusan ini menyatakan dirinya melalui
kebetulan. Ide tentang kesatuan dialektik antara keharusan dan kebetulan
mungkin terasa aneh, tapi sungguh dibenarkan oleh serangkaian pengamatan dalam
berbagai bidang yang luas dalam ilmu pengetahuan dan masyarakat. Mekanisme
seleksi alam dalam teori evolusi adalah contoh yang paling terkenal. Tapi ada
banyak lagi yang lain. Dalam beberapa tahun terakhir, telah terjadi banyak
penemuan dalam bidang teori kompleksitas dan chaos yang persis merinci
bagaimana “keteraturan lahir dari kekacauan”, persis seperti yang dikemukakan
Hegel satu setengah abad yang lalu.
Kita harus ingat bahwa Hegel menulis pada awal
abad yang lalu, ketika ilmu pengetahuan masih didominasi oleh fisika mekanik
klasik, dan setengah abad sebelum Darwin mengembangkan ide tentang seleksi alam
melalui mutasi acak. Ia tidak memiliki bukti ilmiah untuk mendukung teorinya
bahwa keharusan menyatakan dirinya melalui kebetulan. Tapi itulah ide sentral
yang berada di balik pemikiran-pemikiran inovatif terbaru dalam ilmu
pengetahuan.
Hukum yang mendasar ini setara maknanya bagi
pemahaman terhadap sejarah. Seperti apa yang ditulis Marx pada Kugelmann di
tahun 1871:
“Sejarah dunia akan benar-benar mudah ditulis
jika perjuangan di dalamnya hanya dilakukan dalam kondisi-kondisi yang
mengandung peluang-peluang yang pasti menguntungkan. Di pihak lain ia akan
memiliki watak yang sangat mistis, jika ‘kebetulan’ tidak memainkan peran sama
sekali. Kebetulan-kebetulan ini secara alamiah menjadi bagian dari arah umum
perkembangan dan diimbangi oleh kebetulan-kebetulan lain. Tapi percepatan dan
hambatan sangatlah tergantung pada ‘kebetulan-kebetulan’ semacam ini,
termasuk ‘kebetulan’ yang menyangkut watak dari orang-orang yang memimpin
pergerakan tersebut.”
Engels membuat pernyataan yang mirip beberapa
tahun sesudah itu dalam hubungannya dengan “orang-orang besar” dalam sejarah:
“Manusia menulis sendiri sejarah mereka, tapi
bukanlah dengan satu kehendak kolektif menurut satu rencana kolektif, bahkan
dalam satu masyarakat yang memiliki batas-batas pasti. Aspirasi mereka saling
berbenturan satu sama lain, dan justru karena alasan itu semua masyarakat
tunduk pada keharusan, yang saling melengkapi dan mewujud dalam
kebetulan-kebetulan. Keharusan yang di sini menyatakan dirinya berlawanan
dengan semua kebetulan adalah lagi-lagi keharusan ekonomi. Di sinilah apa yang
disebut orang-orang besar itu harus ditempatkan. Bahwa orang-orang seperti itu,
dan persis orang itu, muncul pada satu waktu tertentu di satu negeri tertentu,
adalah tentu saja hal yang murni kebetulan. Tapi, penggallah dia, dan akan
muncul tuntutan untuk kemunculan orang-orang lain seperti dia, dan pengganti
ini akan ditemukan, baik atau buruk, tapi dalam jangka panjang ia akan ditemukan.”
Determinisme
dan Chaos
Teori chaos berkaitan dengan proses
alam yang nampaknya kacau atau acak. Satu definisi kamus tentang chaos
akan menunjukkan ketidakberaturan, kekacauan, keacakan, atau kebetulan: gerakan
acak tanpa tujuan, kegunaan atau prinsip tertentu. Tapi, campur-tangan dari
“kebetulan” murni dalam proses material akan mengundang masuknya faktor-faktor
yang bukan-fisik, yaitu, metafisik: kehendak, campur tangan ilahi. Karena ia
berkaitan dengan kejadian-kejadian yang “kebetulan”, maka ilmu chaos
yang baru lahir itu memiliki implikasi-implikasi filsafati yang mendasar.
Proses alami yang pada awalnya dianggap sebagai
acak dan kacau kini terbukti tunduk pada hukum-hukum ilmiah, menunjukkan satu
basis kausal yang deterministik. Lebih jauh lagi, penemuan ini memiliki
penerapan yang demikian luas, kalau tidak dapat disebut universal, sehingga ia
telah mendorong satu cabang ilmu yang sama sekali baru - telaah tentang chaos.
Ia telah menghasilkan satu cara pandang dan metodologi baru, beberapa orang
akan menyebutnya satu revolusi, yang dapat diterapkan pada semua cabang ilmu
yang ada sekarang. Ketika satu blok logam menjadi magnet, ia berubah ke dalam
“keadaan teratur”, di mana semua partikelnya mengarah ke jurusan yang sama. Ia
dapat diarahkan ke satu atau lain jurusan. Secara teoritik, ia “bebas” untuk
mengatur dirinya ke jurusan apapun. Namun pada prakteknya tiap potongan kecil logam
membuat “keputusan” yang serupa.
Seorang ilmuwan chaos telah menemukan
aturan matematik dasar yang menggambarkan “geometri fraktal” dari sehelai daun
cemara spleenwort hitam. Ia memasukkan informasi itu ke dalam komputernya, yang
juga memiliki program untuk menghasilkan bilangan-bilangan acak. Komputer itu
diprogram untuk menghasilkan satu gambar menggunakan titik-titik yang
diletakkan secara acak di layar. Sejalan dengan semakin majunya percobaan itu,
mustahillah untuk mengantisipasi di mana tiap titik akan muncul. Tapi tanpa
ragu sedikitpun, gambar helai daun cemara itu muncul. Kemiripan yang nampak di
permukaan antara kedua percobaan ini sangatlah jelas. Tapi kemiripan itu
menunjukkan satu kesejajaran yang lebih dalam. Seperti halnya komputer itu mendasarkan
pemilihan titik yang kelihatannya acak (dan bagi pengamat yang berada “di luar”
komputer itu, untuk keperluan praktis, pilihan itu benar-benar acak)
berdasarkan aturan matematik yang jelas, demikian juga ia menunjukkan bahwa
perilaku foton (dan berimplikasi juga bagi semua kejadian di dunia kuantum)
tunduk pada aturan matematik mendasar yang, sayangnya, masih berada di luar
pemahaman manusia pada saat ini.
Pandangan Marxis beranggapan bahwa seluruh
jagad raya didasarkan pada kekuatan-kekuatan dan proses-proses material.
Kesadaran manusia, pada titik telaah terakhinya, hanyalah satu cerminan dari
dunia nyata yang hadir di luar tubuhnya, satu cerminan berdasarkan interaksi
fisik antara tubuh manusia dengan dunia material. Di dunia material tidak ada keterputusan
dalam kesalingterhubungan fisik antar berbagai kejadian dan proses. Tidak ada
ruang, dengan kata lain, bagi campur-tangan kekuatan-kekuatan metafisik atau
spiritual. Dialektika material, seperti kata Engels, adalah “ilmu tentang
kesalingterhubungan universal”. Lebih jauh lagi, kesalingterhubungan dunia
fisik itu didasarkan pada prinsip sebab-akibat, dalam makna bahwa segala proses
dan kejadian, ditentukan oleh kondisi mereka dan ketaatan pada
hukum dari kesalingterhubungan mereka:
“Hal pertama yang kita lihat dalam mempelajari
pergerakan materi adalah kesalingterhubungan dari pergerakan-pergerakan
individual dari benda-benda yang terpisah, bahwa mereka saling menentukan satu
sama lain. Tapi bukan hanya kita temukan bahwa satu gerak tertentu akan diikuti
oleh gerak yang lain, kita juga menemukan bahwa kita dapat menirukan satu gerak
tertentu dengan menciptakan kondisi-kondisi di mana gerak tersebut terjadi
secara alami, bahwa kita bahkan dapat menciptakan gerak yang sama sekali tidak
terdapat secara alami (dalam industri), setidaknya bukan dengan cara tertentu,
dan bahwa kita dapat memberi pergerakan-pergerakan ini satu arah dan jangkauan
yang telah ditentukan sebelumnya. Dengan cara ini, melalui aktivitas manusia,
ide tentang sebab-akibat ditegakkan, ide bahwa satu gerak adalah sebab dari
gerak lainnya.”
Kompleksitas dunia dapat menyamarkan proses
sebab-akibat dan membuat yang satu tidak dapat dibedakan dari yang lain, tapi
hal itu tidaklah mengubah logika yang mendasarinya. Seperti yang dijelaskan Engels,
“Sebab dan akibat adalah pandangan yang hanya
membenarkan penerapan dirinya pada kasus-kasus individual; tapi segera setelah
kita menempatkan kasus-kasus individual itu di dalam kesalingterhubungan umum
mereka dengan jagad raya sebagai keseluruhan, mereka saling bertubrukan, dan
mereka menjadi kacau ketika kita mempertimbangkan aksi-reaksi universal di mana
sebab dan akibat terus saling bertukar tempat, sehingga apa yang di sini dan
kini menjadi akibat akan menjadi sebab di sana pada saat mendatang, dan
sebaliknya.’”
Teori chaos tidak diragukan lagi
merupakan satu kemajuan besar, tapi di sini juga ada beberapa perumusan yang
dapat dipertanyakan. Efek kupu-kupu yang terkenal itu, yang menyatakan
jika seekor kupu-kupu mengepakkan sayapnya di Tokyo dan menyebabkan badai
bergolak seminggu kemudian di Chicago, memang satu contoh yang sangat
sensasional, yang ditujukan untuk memicu satu kontroversi. Tapi, pernyataan ini
tidak tepat dalam bentuknya. Perubahan kualitatif hanya dapat terjadi sebagai
hasil dari sebuah akumulasi atas perubahan kuantitatif. Satu kejadian acak yang
kebetulan (seekor kupu-kupu yang mengepakkan sayapnya) hanya dapat menghasilkan
efek yang dramatis jika semua kondisi untuk timbulnya badai telah tersedia.
Dalam kasus ini, keharusan dapat menyatakan dirinya melalui sebuah kebetulan.
Tapi hanya dalam kasus ini.
Hubungan dialektik antara keharusan dan peluang
dapat dilihat dalam proses seleksi alam. Jumlah mutasi acak di dalam satu
organisme adalah besar tak berhingga. Tapi, dalam lingkungan tertentu, salah
satu mutasi ini ditemukan bermanfaat bagi organisme tersebut dan dipertahankan,
sementara mutasi yang lain lenyap. Keharusan sekali lagi mewujudkan dirinya
melalui perantaraan kebetulan. Dalam makna tertentu, kemunculan hidup di bumi dapat
pula dilihat sebagai sebuah “kebetulan”. Tidaklah ditakdirkan bahwa bumi harus
berada pada jarak yang tepat dari matahari, dengan besar gravitasi dan jenis
atmosfir yang tepat, bahwa semua ini harus terjadi. Tapi, karena
kejadian-lingkup yang berantai ini, reaksi kimia yang jumlahnya tak berhingga,
yang terjadi dalam waktu yang sangat panjang, kehidupan niscaya akan muncul.
Hal ini tidak hanya berlaku untuk planet kita saja, tapi juga pada sejumlah
besar planet lain di mana kondisi yang sama juga ada, sekalipun tidak di dalam
tata-surya kita. Walau demikian, sekali kehidupan muncul, ia berhenti menjadi
kebetulan, dan berkembang melalui hukum-hukum internalnya sendiri.
Kesadaran itu sendiri tidaklah muncul dari
sebuah rencana ilahi, tapi, dalam makna tertentu, juga muncul dari sebuah
“kebetulan”, yaitu dalam bentuk bipedalisme (posisi berjalan tegak), yang
membebaskan tangan, dan dengan demikian memungkinkan mahluk-mahluk hominid awal
untuk ber-evolusi sebagai hewan yang dapat membuat alat. Boleh jadi bahwa
kecelakaan evolusioner ini adalah hasil dari perubahan iklim di Afrika Timur,
yang menghancurkan sebagian hutan yang menjadi habitat kera-kera purba yang
menjadi nenek-moyang kita. Ini adalah satu kebetulan. Seperti yang dijelaskan
Engels dalam The Part Played by Labour in the Transistion of Ape to Man,
inilah basis bagi berkembangnya kesadaran manusia. Tapi, dalam makna yang lebih
luas, kemunculan kesadaran - materi yang sadar akan dirinya sendiri -
tidaklah dapat dianggap sebagai sebuah kecelakaan, tapi merupakan hasil yang
niscaya dari evolusi materi, yang melaju dari bentuk-bentuk yang sederhana ke
yang lebih rumit, dan yang, di mana kondisinya memungkinkan, niscaya akan
melahirkan kehidupan yang memiliki intelektualitas, dan bentuk-bentuk kesadaran
yang lebih tinggi, masyarakat yang kompleks, dan apa yang kita kenal sebagai
peradaban.
Dalam bukunya Metaphysics,
Artistoteles menyediakan ruang yang sangat besar untuk diskusi tentang hakikat
keharusan dan kebetulan. Ia memberi kita satu contoh, kata-kata kebetulan yang
akan membawa kita pada pertengkaran. Dalam satu situasi yang tegang, contohnya
ketika perkawinan sedang mengalami krisis, bahkan komentar yang sangat tidak
bermaksud apa-apa dapat memicu pertengkaran yang panjang. Tapi jelas bahwa
kata-kata yang diucapkan bukanlah penyebab pertengkaran itu sendiri.
Pertengkaran itu adalah buah dari satu akumulasi stres dan ketegangan, yang
cepat atau lambat akan mencapai titik ledaknya. Ketika titik ini tercapai, hal
yang sekecil apapun akan dapat memprovokasi sebuah ledakan. Kita dapat melihat
gejala yang serupa di pabrik-pabrik. Selama bertahun-tahun, kaum buruh yang
nampaknya pasrah, yang takut akan pemecatan, siap menerima segala pemaksaan -
pemotongan upah, pemecatan rekan kerja mereka, kondisi kerja yang semakin
buruk, dsb. Di permukaan, tidak sesuatupun yang terjadi. Tapi, pada
kenyataannya, ada peningkatan yang kontinyu dalam ketidakpuasan mereka, yang,
pada titik tertentu, haruslah menemukan perwujudannya. Satu hari, para buruh
memutuskan: “cukuplah sudah.” Persis pada titik ini, bahkan kejadian yang
paling dangkal sekalipun dapat memicu sebuah pemogokan. Seluruh situasi telah
berubah menjadi kebalikannya.
Ada satu analogi yang luas antara perjuangan
kelas dengan konflik antar bangsa. Di bulan Agustus 1914, Pangeran Mahkota
Austro-Hungaria dibunuh di Sarajevo. Orang mengatakan bahwa inilah penyebab
Perang Dunia I. Pada kenyataannya, kecelakaan sejarah ini boleh terjadi maupun
tidak. Sebelum 1914, telah terjadi beberapa insiden lain (insiden Maroko, insiden
Agadir) yang sama mungkinnya untuk memicu perang. Sebab sebenarnya dari Perang
Dunia I adalah akumulasi dari kontradiksi yang tak tertanggungkan antara
kekuatan-kekuatan imperialis utama - Inggris, Perancis, Jerman, Austro-Hungaria
dan Rusia. Hal ini mencapai tahapan yang kritis, di mana semua ramuan
peledaknya dapat dipicu oleh percikan kecil yang terjadi di Balkan.
Akhirnya, kita melihat gejala yang sama di
dunia ekonomi. Pada saat kami sedang menuliskan bab ini, Kota London sedang
terguncang oleh bangkrutnya Barings Bank. Kejadian ini dengan bersegera
dipersalahkan kepada penggelapan yang dilakukan oleh salah satu pegawainya di
Singapura. Tapi bangkrutnya Barings hanyalah satu gejala paling mutakhir dari
satu krisis yang lebih dalam, yang terjadi dalam sistem keuangan dunia. Kepala
berita dalam The Independent berbunyi “satu kecelakaan pasti akan
terjadi.” Pada skala dunia, kini ada USD 25 milyar yang ditanamkan dalam
berbagai saham derivatif. Hal ini menunjukkan bahwa kapitalisme tidak lagi
didasarkan pada produksi, tapi pada kegiatan-kegiatan spekulatif yang makin
hari makin luas. Fakta bahwa Mr. Leeson kehilangan sejumlah besar uang di bursa
saham Jepang boleh dikaitkan dengan kebetulan terjadinya gempa bumi di Kobe.
Tapi para analis ekonomi yang serius akan paham bahwa hal ini hanyalah satu
perwujudan dari ketidakstabilan dari sistem keuangan internasional. Dengan atau
tanpa Mr. Leeson, satu kejatuhan adalah niscaya. Perusahaan-perusahaan dan
lembaga keuangan besar internasional, semua yang terlibat dalam perjudian tanpa
kenal hitungan ini, sedang bermain api. Satu kejatuhan keuangan sangatlah
implisit dalam situasi ini.
Boleh jadi bahwa ada terdapat banyak gejala
yang didasari oleh proses dan hubungan sebab-akibat yang tidak dipahami
sepenuhnya sehingga mereka kelihatannya bersifat acak. Untuk keperluan praktis,
semuanya hanya dapat diperlakukan secara statistik, seperti roda roulet pada
pemutarnya. Tapi, di dasar semua “kebetulan” ini masih ada kekuatan-kekuatan
dan proses yang menentukan hasil akhirnya. Kita hidup dalam sebuah jagad raya
yang diatur oleh determinisme dialektik.
Marxisme
dan Kebebasan
Persoalan hubungan antara “kebebasan dan
keharusan” telah dikenal oleh Aristoteles dan didiskusikan tanpa henti oleh
Orang-orang Terpelajar di abad pertengahan. Kant menggunakannya sebagai salah
satu “antinomi”-nya yang terkenal, di mana hal itu disajikan sebagai satu
kontradiksi yang tak terpecahkan. Di abad ke-17 dan ke-18 persoalan ini muncul
dalam matematik sebagai teori peluang, yang berhubungan dengan perjudian.
Hubungan dialektik antara kebebasan dan
keharusan telah muncul kembali dalam teori chaos. Doyne Farmer,
seorang fisikawan Amerika yang menyelidiki dinamika yang terkomplikasi,
berkomentar:
“Pada tingkat filsafati, terasa bagi saya
sebagai satu cara yang operasional untuk mendefinisikan kehendak bebas, dengan
cara yang mengijinkan Anda mendamaikan kehendak bebas dengan determinisme.
Sistemnya adalah deterministik, tapi Anda tidak dapat mengatakan dengan tepat
apa yang akan terjadi kemudian. Pada saat bersamaan, saya selalu merasa bahwa
persolan-persoalan yang penting di seluruh dunia selalu berhubungan dengan
penciptaan organisasi, baik dalam kehidupan maupun dalam intelektualitas. Tapi
bagaimana Anda dapat mempelajari hal itu? Apa yang sedang dilakukan para ahli
biologi saat ini kelihatannya sangat bersifat terapan dan spesifik; apa yang
dilakukan para ahli kimia tidak terlalu bersifat demikian; yang dilakukan para
ahli matematika sama sekali tidak demikian, dan para fisikawan sama sekali tidak
melakukannya. Saya selalu merasa bahwa kemunculan spontan pengorganisiran-diri
harus menjadi bagian dari fisika. Di sini kita menemui satu keping mata uang
dengan dua sisi. Di sini ada keteraturan, dengan keacakan yang muncul di
mana-mana, dan selangkah berikutnya justru keacakan itulah yang mendasari
segala keteraturan.”
Determinisme dialektik sama sekali tidak mirip
dengan pendekatan deterministik yang mekanistik, apalagi dengan fatalisme.
Seperti adanya hukum-hukum yang mengatur materi organik dan anorganik, demikian
pula ada hukum yang mengatur evolusi masyarakat manusia. Pola yang dapat
diamati melalui sejarah sama sekali bukanlah satu kebetulan. Marx dan Engels
menjelaskan bahwa peralihan dari satu sistem sosial ke sistem yang lain
ditentukan oleh perkembangan dari kekuatan produktif, ujung-ujungnya. Ketika
sistem sosial-ekonomi tertentu tidak lagi sanggup mengembangkan kekuatan
produktif, ia akan masuk ke dalam krisis, menyiapkan lahan bagi sebuah
pembalikan revolusioner.
Dengan hal ini, kita sama sekali tidak
menyangkal peran para individu dalam sejarah. Seperti yang telah kita lihat di
muka, manusia menulis sendiri sejarahnya. Walau demikian, sangatlah dungu jika
kita membayangkan bahwa umat manusia adalah “agen-agen bebas” yang dapat
menentukan masa depannya murni berdasarkan kehendak mereka sendiri. Umat
manusia harus mendasarkan diri pada kondisi-kondisi yang telah diciptakan
terpisah dan tak tergantung dari kehendak mereka - ekonomi, sosial, politik,
agama, dan budaya. Dalam makna ini, ide tentang kehendak bebas adalah tidak
masuk nalar. Sikap sejati Marx dan Engels terhadap peran individu dalam sejarah
ditunjukkan oleh kutipan berikut dari The Holy Family:
“Sejarah tidak melakukan apa-apa, ia ‘tidak
memiliki kekayaan yang berlimpah’, ‘ia tidak melancarkan pertempuran apapun’.
Manusia-lah, manusia yang hidup, yang nyata, yang melakukan semua itu, yang
memiliki dan yang bertempur; ’sejarah’ bukanlah sesuatu yang berdiri terpisah,
yang menggunakan manusia sebagai sarana untuk mencapai tujuan-tujuannya
sendiri; sejarah bukan apa-apa kecuali aktivitas manusia dalam mencapai tujuan
manusia itu sendiri.”
Bohong besar jika dikatakan bahwa manusia hanyalah
sekedar boneka-boneka mati di panggung nasib, yang tidak berdaya mengubah
takdirnya sendiri. Walau demikian, manusia nyata ini hidup dalam dunia
nyata, yang seperti ditulis oleh Marx dan Engels, tidak dapat dan tidak akan
berdiri di luar masyarakat di mana mereka hidup. Secara sadar atau tidak, para
aktor individual dalam panggung sejarah pada akhirnya akan mencerminkan
kepentingan, pendapat, prasangka, moralitas dan aspirasi dari kelas atau
kelompok tertentu dalam masyarakat. Hal ini sebenarnya tidak perlu dibuktikan
lebih lanjut bahkan dari pembacaan sejarah yang paling remeh-temeh sekalipun.
Walau demikian, khayalan tentang “kehendak
bebas” bertahan terus. Filsuf Jerman, Leibniz, menyatakan bahwa sebuah jarum
magnetik, jika ia dapat berpikir, tentu akan berpendapat bahwa mereka menunjuk
arah utara karena mereka menginginkan demikian. Di abad ke-20, Sigmund Freud
menghancurkan sama sekali prasangka bahwa manusia memegang kendali sepenuhnya
atas pikiran mereka sendiri. Gejala dalam salah bicara Freudian adalah
satu contoh sempurna akan hubungan dialektik antara keharusan dan kebetulan.
Freud memberi berbagai contoh tentang kesalahan dalam berbicara, “kelupaan”,
dan “kecelakaan-kecelakaan” lain, yang dalam banyak kasus, dipastikan
mencerminkan satu proses psikologis yang lebih dalam. Mengutip Freud:
“Ketidakcukupan tertentu dalam kapasitas
kejiwaan kita … dan unjuk kerja tertentu yang tidak diniatkan sebelumnya
terbukti memiliki motivasi yang kuat ketika dihadapkan pada penyelidikan
psiko-analisa, dan ditentukan melalui kesadaran akan motif-motif yang tidak
diketahui.”
Satu tenet sentral dalam pendekatan Freud
adalah bahwa tidak satupun perilaku manusia yang kebetulan. Kesalahan-kesalahan
kecil dalam kehidupan sehari-hari, mimpi, dan gejala yang kelihatannya tak
terjelaskan dari orang-orang yang sakit mental bukanlah sesuatu yang
“kebetulan”. Secara definisi, pikiran manusia tidaklah menyadari proses-proses
yang terjadi di bawah sadarnya. Semakin dalam motivasi bawah sadar itu, dari
sudut pandang psiko-analisis, semakin jelas bahwa seseorang tidak akan
menyadari motivasi itu. Sejak awal Freud telah menyadari prinsip-prinsip umum
bahwa proses-proses bawah sadar ini menyatakan diri mereka (dan dengan demikian
dapat dipelajari) melalui petikan-petikan perilaku yang oleh pemikiran sadar
dianggap sebagai kesalahan atau kecelakaan.
Mungkinkah kita mencapai kebebasan? Jika yang
dimaksudkan dengan tindakan “bebas” adalah tindakan yang tidak ada sebabnya,
atau tidak ada yang menentukannya, kita harus dengan terus terang menyatakan
bahwa tindakan semacam itu tidak pernah ada, dan tidak akan pernah ada.
“Kebebasan” khayal semacam itu adalah bagian dari filsafat metafisik. Hegel
menjelaskan bahwa kebebasan sejati adalah pengakuan terhadap apa yang merupakan
keharusan. Sampai tingkat di mana manusia memahami hukum-hukum yang mengatur alam
dan masyarakat, mereka akan berada dalam posisi menguasai hukum-hukum ini dan
dapat menggunakannya untuk keuntungan mereka sendiri. Basis material sejati di
mana umat manusia dapat menjadi bebas telah ditegakkan oleh perkembangan
industri, ilmu pengetahuan dan teknik. Dalam sistem masyarakat yang rasional -
sistem di mana alat-alat produksi dirancang secara serasi dan dikendalikan
dengan sadar - kita akan benar-benar dapat bicara tentang perkembangan umat
manusia yang bebas. Mengutip Engels, inilah “lompatan umat manusia dari dunia
keharusan menuju dunia kebebasan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar