Dari Kritik Pemikiran
Ke Kritik Politik
Penulis: Muhammad
Alifuddin
Hegelian Tua
menekankan hanya Yang Nyata sajalah yang rasional. Sesuatu itu benar karena ia
nyata. Patokan rasionalitas adalah kebertahanan di dunia nyata. Negara Hukum
dan Protestanisme merupakan wujud dari Yang Rasional karena keduanya nyata saat
ini dan kedudukannya lebih tinggi dari pencapaian sejarah sebelumnya. Segala
bentuk praktek kehidupan nyata yang hendak mengubah atau meruntuhkan keduanya
secara moral tidak baik karena menantang Kehendak Rasional yang mewujud itu.
Semua harus menyesuaikan diri dengan perwujudan nyata Yang Rasional ini.
Sia-sia belaka menentangnya karena Sejarah sudah menentukan pilihannya.
Hegelian Muda
menekankan hanya Yang Rasional sajalah yang nyata. Mereka mengkritik
kecenderungan Hegelian Tua untuk mengabaikan kenyataan yang terjadi dalam
kehidupan nyata. Di dalam yang nyata tidak jarang didominasi penyimpangan dari
patokan rasional dan keyakinan buta yang irasional. Menurut Hegelian Muda, kenyataan
menunjukkan adanya ketidakberesan. Kebebasan yang mustinya berlaku dalam Negara
Hukum, nyatanya tidak. Negara bersifat represif dan tindakan negara sama sekali
bukan cermin kepentingan semua orang. Negara sama sekali bukanlah wujud
Kebebasan. Hasilnya adalah keterasingan politik individu-individu. Orang-orang
tidak merasakan kepentingannya terwakili dalam perundang-undangan, kebebasannya
terkungkung oleh praktik otoriter negara yang pura-pura jadi Negara Hukum.
Bagi Hegelian
Muda, tingkat ke-nyata-an suatu lembaga sosial harus diukur dengan seberapa
rasionalnya ia. Untuk mencapai ke-nyata-an itu, bisa jadi perlu perombakan
radikal atas lembaga-lembaga yang ada. Karena kemungkinan untuk meruntuhkan
lembaga-lembaga sosial secara fisik tidak ada, maka semangat kritis diwujudkan
ke dalam tindakan-tindakan kritik terhadap lembaga-lembaga yang ada sehingga
rasionalitas bisa betul-betul menyatakan dirinya ke dalam sejarah. Mengikuti
dialektika Hegelian, mereka memandang banhwa perubahan mencapai yang rasional tidaklah
selalu lurus dan mulus-mulus saja. Penentangan atau negasi (dalam hal ini
kritik terhadap pemikiran dan praktek lembaga-lembaga sosial) merupakan jalan
satu-satunya demi pencapaian hakiki kebebasan. Hasilnya, Hegelian Muda
menantang semua lembaga sosial yang ada saat itu.
Tetapi, karena
sensor negara atas kritik-kritik terhadap pemerintah dilarang, maka sebagian
besar kaum Hegelian Muda mengalihkan mulut kanon penghancurnya ke bangunan
lembaga keagamaan Jerman, Kristianitas (penulis-penulis terkenalnya antara lain
David Strauss, Bruno Bauer, dan Ludwig Feuerbach). Kritik terhadap
Kristianiatas sebenarnya hanya merupakan jalan putar untuk menghantam
konservatifnya lembaga politik.
Pemikiran
Feuerbach berkebalikan dengan Hegel. Penggerak sejarah bukanlah kekuatan
spiritual tetapi kondisi-kondisi material tempat manusia berinteraksi satu sama
lain dari waktu ke waktu. Kondisi material inilah yang mengerangkai tindakan
dan pemikiran manusia mengahadpi kehidupannya. Dalam perjuangannya menghadapi
kondisi material, tidak jarang manusia mengalami kegagalan. Kegagalan iini
mengantar manusia ke pelampiasan spiritual ciptaan mereka sendiri, baik secara
sadar atau pun tidak. Ketika kondisi kehidupan nyata menjadi tembok penghalang
mencapai tujuan, manusia menciptakan kehidupan tak-nyata. Biarlah di kehidupan
nyata tak ada kebahagiaan, toh di akhirat nanti kebahagiaan menjadi milik kita.
Bagi Feuerbak, bukan Tuhan yang menciptakan manusia, tapi
manusialah yang menciptakan Tuhan dari serpihan kehancuran dirinya sendiri yang
tak mampu meraih kebahagiaan di dunia nyata. Pemikiran keagamaan hanyalah
pantulan kondisi material. Penderitaan yang dialihkan ke pemikiran tentang
kebahagiaan dalam agama merupakan cermin langsung penderitaan nyata yang
dialami manusia.
Perlu ditegaskan
bahwa kritik terhadap pemikiran keagamaan ini merupakan sekadar cara untuk
mengkritik pemikiran politik. Karena saluran ke arah sana tidak dibuka sama
sekali oleh pemerintah, maka kaum Hegelian Muda memasukinya lewat gorong-gorong
sempit kritik pemikiran keagamaan yang masih diperbolehkan. Bila kita anggap
kritik ini sebagai perumpamaan, maka jalan ceritanya menjadi sebagai berikut.
Hegelian Tua
yang menjadi pendukung absolutisme Negara Prussia mendasarkan dukungannya lewat
pemikiran bahwa Negara merupakan wujud sempurna Kebebasan yang menjadi tujuan
akhir pencapaian Roh Dunia. Negara Prussia itu nyata. Karena itu ia rasional.
Sejarah sudah memilih wujudnya untuk hidup dalam dunia. Penggugatan atasnya
sangat tidak rasional, dan oleh karena itu jahat secara moral.
Bagi Hegelian
Muda, rasionalitas pemikiran politik yang dilontarkan Hegelian Tua untuk
menyokong keberadaan Negara Prussia merupakan ilusi semata karena dalam
kenyataannya negara ini tidaklah menampilkan kebebasan sejati. Kritik atas
pemikiran politik ini dianggap sebagai revolusi terpenting dalam menumbangkan
kekuasaan absolut negara atas warganya. Tugas seorang filsuf adalah menjadi
prajurit yang bertempur dalam perang pemikiran.
Karl Marx
tergolong Hegelian Muda. Artinya, ia berdiri di sisi menentang absolutisme
negara Prussia yang menghambat kebebasan manusia. Seperti Hegelian Muda
lainnya, Marx mengkritik praktek-praktek pemikiran politik Prussia dan
menjuluki profesor-profesornya sebagai kaum idealis yang dekaden. Idealisme
Hegel dijadikan sekadar tabir yang menutupi ketidakrasionalan praktek
pemerintahan. Filsafat hegel digunakan untuk mengelabui pandangan orang dari
kenyataan bahwa tidak ada kebebasan di Prussia.
Perjumpaan Marx
dengan karya Feuerbach ‘Theses on Hegel’s Philosophy’ (1843) hampir mengubah
segalanya. Marx tidak lagi mempercayai tugas filsuf sebagai prajurit dalam
perang pemikiran. Marx juga tidak memusatkan kritiknya pada negara dan
pemikiran politik. Baginya, negara hanya wujud penderitaan manusia yang
bertarung satu sama lain. Negara hanyalah lembaga yang dimunculkan masyarakat
sakit, yaitu masyarakat yang terpilah ke dalam kepentingan-kepentingan material
yang saling bertentangan. Untuk melindungi kepentingan golongan tertentu, maka
negara muncul sebagai sarananya. Negara sama sekali bukan persoalan mendasar
atas ketidakadilan sosial. Negara bukanlah sebab tetapi akibat dari
ketidakadilan dalam masyarakat dan perdebatan dalam pemikiran seperti memukul
bayang-bayang.
Sejarah
filsafat sepertinya hanya berisi dua pemikiran saja, yaitu materialisme dan
idealisme. Materialisme menyatakan bahwa yang nyata-nyata ada dan penting dalam
semua kegiatan mengetahui hanyalah materi; aspek objektif di luar rasio
manusialah yang penting. Sebaliknya, idealisme menyatakan bahwa yang nyata-nyata
ada dan penting dalam semua kegiatan mengetahui hanya rasio/Idea; aspek
subjektiflah penting.
Materialisme
Feuerbach menyatakan diri sebagai lawan dari Idealisme Hegel. Memang, Feuerbach
betul-betul membalik gagasan mendasar Hegel. Bukan Idea yang menggerakkan
materi (dunia), tapi materilah yang menggerakkan idea-idea.
Kritik Marx
ditujukan pada keduanya. Dalam Theses on Feuerbach, ada dua pokok kritik Marx.
Pertama, Marx mengkritik dualisme atau pemisahan antara objek dan subjek yang
terkandung dalam materialisme Feuerbach maupun idealisme Hegel. Kedua, Marx
mengkritik metafisika keduanya. Artinya, Marx menganggap keduanya terjebak di
lumpur-lumpur ‘sekadar pemikiran’. Keduanya bergulat memperebutkan pepesan
kosong. Keduanya sedang bergulat dengan bayangan.
Kritik pertama
dijawab Marx dengan mengajukan pemikirannya bahwa objek dan subjek tidaklah
terpisah. Keduanya hanya ada sebagai satu kesatuan utuh. Tidak ada objek
sempurna, tidak pula ada subjek sempurna. Yang ada totalitas.
Kritik kedua
dijawab Marx dengan mengajukan pemikirannya bahwa yang nyata-nyata ada hanyalah
manusia-manusia berdarah-berdaging yang hidup di dalam dan menghidupkan
sejarah. Yang ada hanyalah manusia nyata dan hubungan-hubungan sosial di antara
mereka dalam bergulat dengan kondisi kehidupannya, baik aspek material maupun
aspek kesadarannya. Baik Hegel maupun Feuerbach sama-sama terjebak dalam
permenungan atas Yang Gaib. Keduanya menempatkan Yang Gaib di panggung sejarah
manusia dan menyingkirkan manusia-manusia nyata yang bergulat di dalamnya.
Keduanya, sebagai manusia nyata, tenggelam ke dalam keterasingan dari
kondisinya sebagai manusia nyata di dalam jaringan hubungan sosial.
Daripada
menyasar pada Yang Gaib, lebih baik menyasar yang betul-betul nyata, yaitu
masyarakat tempat manusia dengan kelompok-kelompok, segala hubungan sosial dan
kepentingan-kepentinganya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar