Akhir Sejarah?
Pemikiran Hegel
Dalam mengulas pandangannya mengenai akhir sejarah ini, Fukuyama
kembali menggunakan pemikiran Hegel yang orisinal. Konsep sejarah
sebagai proses dialektis dengan bagian awal, tengah, dan akhir dipinjam
oleh Marx dari orang besar Jerman, pendahulunya, George Wilhem Friedrich Hegel. Hegel percaya bahwa sejarah memuncak dalam sebuah momen absolut.
Sebuah momen dimana bentuk final masyarakat dan negara yang rasional
menjadi pemenang. Selanjutnya tokoh yang membangkitkan kembali pemikiran
Hegel ini adalah Alexandre Kojeve di Perancis. Murid-muridnya adalah
Jean-Paul Sartre di kiri dan Raymond Aron di kanan.
Negara yang muncul pada akhir sejarah adalah liberal, sejauh ia
mengakui dan melindungi hak universal manusia akan kemerdekaan melalui
sistem hukum, dan demokratis sejauh ia hadir hanya dengan persetujuan
mereka yang diperintah.
Bagi Hegel, kontradiksi-kontradiksi yang menggerakkan sejarah hadir dalam wilayah kesadaran, yakni pada tingkat ide-ide.
Ide dalam pengertian pandangan-pandangan yang menyatukan dunia. Ide-ide
dalam pandangan Fukuyama adalah ideologi. Ideologi dalam pandangan ini
tidak hanya terbatas pada doktrin politik eksplisit dan sekular, namun
juga mencakup agama, budaya, dan nilai-nilai moral
kompleks yang menyangga masyarakat mana saja. Pandangan Hegel tentang
hubungan antara dunia ideal dan dunia nyata atau dunia materi adalah
suatu pandangan yang rumit. Perbedaan keduanya adalah sesuatu yang nyata
saja. Selanjutnya semua perilaku manusia dalam dunia materi, dan dengan
demikian semua sejarah manusia, berakar pada tahapan kesadaran yang mendahuluinya. Kesadaran adalah penyebab dan bukan akibat.
Idealisme Hegel menjadi sangat merosot di tangan para pemikir
selanjutnya. Fukuyama menyayangkan Marx yang sepenuhnya membalikkan
prioritas yang nyata dan ideal, dan menyisihkan seluruh wilayah
kesadaran (agama, seni, budaya, dan filsafat) ke dalam superstruktur
yang sepenuhnya ditentukan oleh materi (materialisme historis).
Pemikiran Max Weber
Max Weber dalam bukunya The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism menyimpulkan bahwa, “kaum Protestan makan enak sementara kaum Katolik tidur nyenyak”. Menurut Weber, teori ekonomi mana saja selalu menempatkan manusia sebagai pengejar keuntungan yang rasional.
Menaikkan rasio piece-work (pembayaran mengikuti banyaknya
pekerjaan) seharusnya meningkatkan produktivitas pekerja. Namun pada
kenyataannya pada beberapa komunitas, menaikkan rasio piece-work malah
menurunkan produktivitas pekerja. Ada beberapa pertimbangan lain diluar
mengejar keuntungan rasional yang dipertimbangkan oleh manusia. Pilihan
untuk bersantai ketimbang berpenghasilan, atau kehidupan militeristik
Sparta dibandingkan kemakmuran pedagan Athena. Bahkan beberapa pilihan tidak mungkin dijelaskan dengan cara kerja kekuatan materi.
Selanjutnya pilihan ini muncul dari wilayah kesadaran. (Para ekonom
modern mengakui bahwa manusia tidak senantiasa berperilaku sebagai
makhluk pengejar keuntungan. Manusia juga mempertimbangkan sebuah fungsi
“kegunaan” . Kegunaan ini bisa berupa, hiburan, kepuasan seksual, atau
kegembiraan)
Untuk memahami munculnya kapitalisme modern dan motif mengejar
keuntungan, seseorang harus mempelajari asal-usulnya dalam wilayah
kesadaran. Pasar bebas dan sistem politik yang stabil adalah
prakondisi yang diperlukan bagi pertumbuhan ekonomi kapitalis. Namun
yang tak kalah pentingnya diperhatikan dalam menjelaskan kinerja ekonomi
masyarkat Timur Jauh adalah warisan budaya, etika kerja, kebiasaan
menabung, warisan keagamaan seperti Islam, larangan terhadap bentuk
ekonomi tertentu. Tetapi karena terlalu kuatnya pengaruh intelektual
materialisme, sehingga tidak ada satu pun perkembangan ekonomi dewasa
ini yang sungguh-sungguh menyebutkan kesadaran dan budaya dalam matriks
perilaku ekonomi dibentuk.
Kemangan Ide atas Ide Lainnya
Fukuyama selanjutnya memandang kegagalan untuk memahami bahwa akar perilaku ekonomi terletak dalam wilayah kesadaran dan budaya
telah menyebabkan munculnya kesalahan umum, dengan meletakkan penyebab
materi bagi fenomena yang pada dasarnya bersifat pemikiran. Unsur motif
dalam perilaku ekonomi tidak hanya sebatas ‘materi’.
Fukuyama melihat gerakan reformasi yang muncul di Cina dan Uni Soviet
dekade 1980-an, sebagai kesadaran para elit untuk memilih kehidupan
“Protestan” yang makmur dan beresiko dibandingkan jalur kemiskinan dan
keselamatan “Katolik”. Jika ingin makmur maka seseorang harus
mementingkan dirinya sendiri. Perubahan ini jadi semakin tidak
terhindarkan bukan karena kondisi materi di masing-masing negara di
ambang reformasi, namun datang sebagai kemenangan sebuah ide atas ide yang lain.
“Kesadaran / ide-ide membentuk kembali dunia materi dalam citranya sendiri”
Persepsi manusia akan dunia materi dibentuk oleh kesadaran historisnya mengenai dunia itu.
Dunia materi bisa dengan jelas mempengaruhi kesadaran. Kekayaan yang
berlimpah negara liberal yang maju dan beragam, serta budaya konsumen
yang tak terbatas yang berhasil mereka wujudkan telah memupuk sekaligus
menjaga liberalisme dalam lingkup politik. Liberalisme politik mengikuti
liberalisme ekonomi.
Kontradiksi Liberalisme
Marx berbicara dengan bahasa Hegel, menyatakan bahwa masyarakat
liberal mengandung kontradiksi mendasar yang tidak bisa dipecahkan,
yaitu antara modal dan buruh. Kontradiksi ini merupakan serangan utama
bagi liberalisme, tetapi kini telah berhasil dipecahkan di Barat.
“Akar yang menyebabkan ketidaksetaraan ekonomi
tidak ada kaitanya dengan struktur hukum dan sosial yang melandasi
masyarakat, demikian juga dengan karakteristik budaya dan sosial dari
kelompok-kelompok pembentuknya”
Kemiskinan kaum kulit hitam bukanlah produk dari liberalisme
melainkan “warisan” dari perbudakan dan rasisme yang masih bertahan
lama.
Fukuyama melihat kepura-puraan dalam pemujaan Marxisme-Leninisme oleh
rezim Cina. Namun siapa pun yang akrab dengan pandangan dan perilaku
elite teknokrat baru yang sekarang memerintah Cina (dekade 1980-an),
tahu bahwa Marxisme dan dan prinsip-prinsip ideologis sudah tidak
relevan lagi sebagai panduan pembuatan kebijakan. Konsumerisme borjuis
di negara itu punya arti nyata untuk pertama sekali sejak revolusi.
Bahkan para ekonom Soviet di masa itu melihat akar penyebab
ketidakefisienan ekonomi adalah perencanaan terpusat dan sistem ekonomi
terkomando. Dan untuk menyembuhkan itu Uni Soviet harus mengizinkan
pengambilan keputusan yang bebas dan terdesentralisasi dengan
mempertimbangkan investasi, tenaga kerja, dan dan harga.
Kontradiksi di luar Ideologi
Apabila fasisme dan komunisme telah mati, maka
adakah pesaing ideologis lainnya? Ada dua kemungkinan kuat kontradiksi
dalam masyarakat liberal selain masalah kelas yang tidak bisa
dipecahkan. Yaitu agama dan nasionalisme. Kebangkitan
kembali agama dalam beberapa hal membuktikan ketidakbahagiaan yang luas
terhadap impersonalitas dan kekosongan spiritual dari masyarakat
konsumeris liberal. Tetapi liberalisme modern sendiri juga merupakan
konsekuensi dari lemahnya masyarakat berdasarkan agama, mewujudkan
kehidupan yang baik.
Di dunia modern sekarang ini, hanya Islam yang telah menawarkan
sebuah negara teokratis sebagai alternatif politik, baik terhadap
liberalisme dan komunisme. Namun sayangnya doktrin ini sedikit sekali
daya tariknya bagi umat non-muslim.
Berhubungan dengan nasionalisme, tidak jelas apakah nasionalisme
mengandung kontradiksi yang dapat didamaikan dalam inti liberalisme.
Ketidakjelasan ini karena, nasionalisme bukanlah fenomena tunggal
melainkan beragam, yang terentang mulai dari nostalgia budaya halus
hingga doktrin Sosialisme Nasional yang sangat terorganisir dan
terartikulasi secara rinci. Mayoritas besar gerakan nasionalis dunia
tidak punya program politik selain keinginan negatif untuk bebas dari
kelompok atau orang lain. Dan tidak menawarkan agenda komprehensif
organisasi sosial-ekonomi.
Dampak “Akhir Sejarah” dalam Hubungan Internasional
Pertanyaan kuncinya adalah, apa implikasi akhir sejarah bagi hubungan internasional? Jawaban yang paling umum adalah: tidak ada bedanya. Karena kepercayaan umum diantara para pengamat hubungan internasional, bahwa dibalik ideologi terdapat inti kekuatan besar kepentingan nasional yang menjamin persaingan tingkat tinggi dan konflik-konflik diantara negara-negara. Untuk memahami prospek-prospek terjadinya konflik seseorang harus melihat bentuk sistemnya. Misalnya apakah bipolar atau multipolar; dan bukan pada karakteristik dari negara-negara dan rezim-rezim yang membentuknya.
“Cara suatu negara menentukan kepentingan
nasionalnya tidaklah universal karena berdasarkan pada jenis basis
ideologi sebelumnya”
Hilangnya ideologi Marxisme-Leninisme, pertama dimulai
dari Cina dan kemudian dilanjutkan oleh Uni Soviet, berarti kematiannya
sebagai ideologi yang hidup dalam sejarah dunia. Dan kematian ideologi ini
berarti tumbuhnya “Pembukaan Pasar Bersama” hubungan internasional, dan
berkurangnya konflik berskala besar antara negara-negara. Dunia pada suatu titik akan terbagi pada bagian sejarah dan paska sejarah. Masih akan ada kemungkinan konflik antara negara-negara dalam fase sejarah, dan negara-negara di akhir sejarah.
Masih akan ada kekerasan etnik dan nasionalis yang tinggi. Hal ini
mengisyaratkan bahwa terorisme dan perang-perang pembebasan nasional
akan terus berlanjut menjadi unsur penting agenda internasional. Namun
konflik skala besar yang melibatkan negara besar yang berada dalam fase
sejarah, tampaknya tidak akan terjadi. Dalam periode paska sejarah tidak
akan adal lagi perjuangan, pengakuan, idealisme, imajinasi. Yang ada
hanyalah perawatan abadi museum sejarah manusia. Barangkali prospek dari
abad kebosanan akhir sejarah akan menjadi pemicu sejarah untuk mulai
bergerak sekali lagi.
Kesimpulan:
Fukuyama melihat sejarah telah berakhir, dengan ditandai oleh
kemenangan liberalisme atas ideologi-ideologi lainnya. Bentuk
pemerintahan ideal, dan tatanan sosial masyarakat telah menemui
bentuknya. Dalam memahami ini Fukuyama menggunakan pemikiran Hegel
mengenai momen absolut dimana bentuk final masyarakat dan negara yang
rasional menjadi pemenang. Fukuyama mengecam pemikiran Hegel yang
mengalami distorsi oleh Marx. Marx terlalu memuja materi sebagai sumber
kesadaran. Sejarah manusi berasal dari kesadaran yang mendahuluinya.
Bahkan beberapa fenomena sosial masyarakat tidak bisa dijelaskan dengan
pendekatan materialisme historis. Kesadaran dalam basis ideologi itu
mencakup agama, budaya, dan nilai-nilai moral yang kompleks.
Fukuyama mencontohkan reformasi yang terjadi di Cina pada dekade
1980-an merupakan hasil dari kesadaran para elit politik Cina. Kesadaran
manusia akan ide-ide membentuk kembali pemahaman manusia akan dunia
materi dengan citranya sendiri. Sehingga persepsi manusia dibentuk oleh
“kesadaran historisnya” akan dunia itu. Berbeda dengan materi yang
membentuk historis manusia.
Tantangan lainnya di luar ideologi menurut Fukuyama adalah
kebangkitan agama dan nasionalisme. Kebangkitan agama menandai
kekosongan rohani dalam masyarakat konsumeris liberal. Masih belum jelas
apakah nasionalisme dapat didamaikan dalam liberalisme, karena
nasionalisme berasal dari berbagai macam faktor.
Akhir sejarah tidak memberikan pengaruh yang begitu signifikan bagi
hubungan internasional. Karena sudah dimaklumi secara umum bahwa negara
bergerak berdasarkan pada inti kekuatan nasional yang menjadi penggerak
dalam hubungan-hubungan antar negara. Penentuan kepentingan nasional
suatu negara itu berdasarkan pada basis ideologi yang dianut sebelumnya.
Dalam hubungan antar negara masih akan ada negara yang berada dalam
fase sejarah dan akhir sejarah. Konflik pasti akan tetap muncul, tetapi
konflik skala besar diragukan kemunculannya.
Referensi:
Huntington, Samuel P, George W. Bush, Francis Fukuyama, et al. 2005. Amerika dan Dunia (Memperdebatkan Bentuk Baru Politik Internasional). Yayasan Obor Indonesia: Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar