Membangun Budaya membaca, menulis Kader IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH BIMA

Selasa, 13 Oktober 2015

Analisis Buku Francis Fukuyama “ The End of History “

Akhir Sejarah?

Francis Fukuyama pernah menulis sebuah tesis yang fenomenal, mengenai akhir dari sejarah dunia. Bentuk ideal pemerintahan telah ditemukan, dan demokrasi liberal adalah pemenangnya. Pertentangan antar ideologi adalah masa lalu, begitu juga konflik-konflik besar. Pandangan-pandangan Fukuyama ini berdasarkan pada runtuhnya komunisme yang ditandai dengan berakhirnya perang dingin. Fukuyama mengatakan bahwa kemenangan Barat, merupakan, bukti kuat pudarnya sistem alternatif yang ada bagi liberalisme barat. Tulisan berikut merupakan resume dari buku “Amerika dan Dunia”. Artikel Fukuyama berikut, ditulis dalam detik-detik menuju keruntuhan Uni Soviet.


Pemikiran Hegel
Dalam mengulas pandangannya mengenai akhir sejarah ini, Fukuyama kembali menggunakan pemikiran Hegel yang orisinal. Konsep sejarah sebagai proses dialektis dengan bagian awal, tengah, dan akhir dipinjam oleh Marx dari orang besar Jerman, pendahulunya, George Wilhem Friedrich Hegel. Hegel percaya bahwa sejarah memuncak dalam sebuah momen absolut. Sebuah momen dimana bentuk final masyarakat dan negara yang rasional menjadi pemenang. Selanjutnya tokoh yang membangkitkan kembali pemikiran Hegel ini adalah Alexandre Kojeve di Perancis. Murid-muridnya adalah Jean-Paul Sartre di kiri dan Raymond Aron di kanan.

Negara yang muncul pada akhir sejarah adalah liberal, sejauh ia mengakui dan melindungi hak universal manusia akan kemerdekaan melalui sistem hukum, dan demokratis sejauh ia hadir hanya dengan persetujuan mereka yang diperintah.

Bagi Hegel, kontradiksi-kontradiksi yang menggerakkan sejarah hadir dalam wilayah kesadaran, yakni pada tingkat ide-ide. Ide dalam pengertian pandangan-pandangan yang menyatukan dunia. Ide-ide dalam pandangan Fukuyama adalah ideologi. Ideologi dalam pandangan ini tidak hanya terbatas pada doktrin politik eksplisit dan sekular, namun juga mencakup agama, budaya, dan nilai-nilai moral kompleks yang menyangga masyarakat mana saja. Pandangan Hegel tentang hubungan antara dunia ideal dan dunia nyata atau dunia materi adalah suatu pandangan yang rumit. Perbedaan keduanya adalah sesuatu yang nyata saja. Selanjutnya semua perilaku manusia dalam dunia materi, dan dengan demikian semua sejarah manusia, berakar pada tahapan kesadaran yang mendahuluinya. Kesadaran adalah penyebab dan bukan akibat.

Idealisme Hegel menjadi sangat merosot di tangan para pemikir selanjutnya. Fukuyama menyayangkan Marx yang sepenuhnya membalikkan prioritas yang nyata dan ideal, dan menyisihkan seluruh wilayah kesadaran (agama, seni, budaya, dan filsafat) ke dalam superstruktur yang sepenuhnya ditentukan oleh materi (materialisme historis).


Pemikiran Max Weber
Max Weber dalam bukunya The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism menyimpulkan bahwa, “kaum Protestan makan enak sementara kaum Katolik tidur nyenyak”. Menurut Weber, teori ekonomi mana saja selalu menempatkan manusia sebagai pengejar keuntungan yang rasional.

Menaikkan rasio piece-work (pembayaran mengikuti banyaknya pekerjaan) seharusnya meningkatkan produktivitas pekerja. Namun pada kenyataannya pada beberapa komunitas, menaikkan rasio piece-work malah menurunkan produktivitas pekerja. Ada beberapa pertimbangan lain diluar mengejar keuntungan rasional yang dipertimbangkan oleh manusia. Pilihan untuk bersantai ketimbang berpenghasilan, atau kehidupan militeristik Sparta dibandingkan kemakmuran pedagan Athena. Bahkan beberapa pilihan tidak mungkin dijelaskan dengan cara kerja kekuatan materi. Selanjutnya pilihan ini muncul dari wilayah kesadaran. (Para ekonom modern mengakui bahwa manusia tidak senantiasa berperilaku sebagai makhluk pengejar keuntungan. Manusia juga mempertimbangkan sebuah fungsi “kegunaan” . Kegunaan ini bisa berupa, hiburan, kepuasan seksual, atau kegembiraan)

Untuk memahami munculnya kapitalisme modern dan motif mengejar keuntungan, seseorang harus mempelajari asal-usulnya dalam wilayah kesadaran. Pasar bebas dan sistem politik yang stabil adalah prakondisi yang diperlukan bagi pertumbuhan ekonomi kapitalis. Namun yang tak kalah pentingnya diperhatikan dalam menjelaskan kinerja ekonomi masyarkat Timur Jauh adalah warisan budaya, etika kerja, kebiasaan menabung, warisan keagamaan seperti Islam, larangan terhadap bentuk ekonomi tertentu. Tetapi karena terlalu kuatnya pengaruh intelektual materialisme, sehingga tidak ada satu pun perkembangan ekonomi dewasa ini yang sungguh-sungguh menyebutkan kesadaran dan budaya dalam matriks perilaku ekonomi dibentuk.

Kemangan Ide atas Ide Lainnya
Fukuyama selanjutnya memandang kegagalan untuk memahami bahwa akar perilaku ekonomi terletak dalam wilayah kesadaran dan budaya telah menyebabkan munculnya kesalahan umum, dengan meletakkan penyebab materi bagi fenomena yang pada dasarnya bersifat pemikiran. Unsur motif dalam perilaku ekonomi tidak hanya sebatas ‘materi’.

Fukuyama melihat gerakan reformasi yang muncul di Cina dan Uni Soviet dekade 1980-an, sebagai kesadaran para elit untuk memilih kehidupan “Protestan” yang makmur dan beresiko dibandingkan jalur kemiskinan dan keselamatan “Katolik”. Jika ingin makmur maka seseorang harus mementingkan dirinya sendiri. Perubahan ini jadi semakin tidak terhindarkan bukan karena kondisi materi di masing-masing negara di ambang reformasi, namun datang sebagai kemenangan sebuah ide atas ide yang lain.
“Kesadaran / ide-ide membentuk kembali dunia materi dalam citranya sendiri”

Persepsi manusia akan dunia materi dibentuk oleh kesadaran historisnya mengenai dunia itu. Dunia materi bisa dengan jelas mempengaruhi kesadaran. Kekayaan yang berlimpah negara liberal yang maju dan beragam, serta budaya konsumen yang tak terbatas yang berhasil mereka wujudkan telah memupuk sekaligus menjaga liberalisme dalam lingkup politik. Liberalisme politik mengikuti liberalisme ekonomi.

Kontradiksi Liberalisme
Marx berbicara dengan bahasa Hegel, menyatakan bahwa masyarakat liberal mengandung kontradiksi mendasar yang tidak bisa dipecahkan, yaitu antara modal dan buruh. Kontradiksi ini merupakan serangan utama bagi liberalisme, tetapi kini telah berhasil dipecahkan di Barat.
“Akar yang menyebabkan ketidaksetaraan ekonomi tidak ada kaitanya dengan struktur hukum dan sosial yang melandasi masyarakat, demikian juga dengan karakteristik budaya dan sosial dari kelompok-kelompok pembentuknya”
Kemiskinan kaum kulit hitam bukanlah produk dari liberalisme melainkan “warisan” dari perbudakan dan rasisme yang masih bertahan lama.

Fukuyama melihat kepura-puraan dalam pemujaan Marxisme-Leninisme oleh rezim Cina. Namun siapa pun yang akrab dengan pandangan dan perilaku elite teknokrat baru yang sekarang memerintah Cina (dekade 1980-an), tahu bahwa Marxisme dan dan prinsip-prinsip ideologis sudah tidak relevan lagi sebagai panduan pembuatan kebijakan. Konsumerisme borjuis di negara itu punya arti nyata untuk pertama sekali sejak revolusi. Bahkan para ekonom Soviet di masa itu melihat akar penyebab ketidakefisienan ekonomi adalah perencanaan terpusat dan sistem ekonomi terkomando. Dan untuk menyembuhkan itu Uni Soviet harus mengizinkan pengambilan keputusan yang bebas dan terdesentralisasi dengan mempertimbangkan investasi, tenaga kerja, dan dan harga.

Kontradiksi di luar Ideologi
            Apabila fasisme dan komunisme telah mati, maka adakah pesaing ideologis lainnya? Ada dua kemungkinan kuat kontradiksi dalam masyarakat liberal selain masalah kelas yang tidak bisa dipecahkan. Yaitu agama dan nasionalisme. Kebangkitan kembali agama dalam beberapa hal membuktikan ketidakbahagiaan yang luas terhadap impersonalitas dan kekosongan spiritual dari masyarakat konsumeris liberal. Tetapi liberalisme modern sendiri juga merupakan konsekuensi dari lemahnya masyarakat berdasarkan agama, mewujudkan kehidupan yang baik.

Di dunia modern sekarang ini, hanya Islam yang telah menawarkan sebuah negara teokratis sebagai alternatif politik, baik terhadap liberalisme dan komunisme. Namun sayangnya doktrin ini sedikit sekali daya tariknya bagi umat non-muslim.

Berhubungan dengan nasionalisme, tidak jelas apakah nasionalisme mengandung  kontradiksi yang dapat didamaikan dalam inti liberalisme. Ketidakjelasan ini karena,  nasionalisme bukanlah fenomena tunggal melainkan beragam, yang terentang mulai dari nostalgia budaya halus hingga doktrin Sosialisme Nasional yang sangat terorganisir dan terartikulasi secara rinci. Mayoritas besar gerakan nasionalis dunia tidak punya program politik selain keinginan negatif untuk bebas dari kelompok atau orang lain. Dan tidak menawarkan agenda komprehensif organisasi sosial-ekonomi.

Dampak “Akhir Sejarah” dalam Hubungan Internasional
Pertanyaan kuncinya adalah, apa implikasi akhir sejarah bagi hubungan internasional? Jawaban yang paling umum adalah: tidak ada bedanya. Karena kepercayaan umum diantara para pengamat hubungan internasional, bahwa dibalik ideologi  terdapat inti kekuatan besar kepentingan nasional yang menjamin persaingan tingkat tinggi dan konflik-konflik diantara negara-negara. Untuk memahami prospek-prospek terjadinya konflik seseorang harus melihat bentuk sistemnya. Misalnya apakah bipolar atau multipolar; dan bukan pada karakteristik dari negara-negara dan rezim-rezim yang membentuknya.

“Cara suatu negara menentukan kepentingan nasionalnya  tidaklah universal karena berdasarkan pada jenis basis ideologi sebelumnya”

            Hilangnya ideologi Marxisme-Leninisme, pertama dimulai dari Cina dan kemudian dilanjutkan oleh Uni Soviet, berarti kematiannya sebagai ideologi yang hidup dalam sejarah dunia. Dan kematian ideologi ini berarti tumbuhnya “Pembukaan Pasar Bersama” hubungan internasional, dan berkurangnya konflik berskala besar antara negara-negara. Dunia pada suatu titik akan terbagi pada bagian sejarah dan paska sejarah. Masih akan ada kemungkinan konflik antara negara-negara dalam fase sejarah, dan negara-negara di akhir sejarah.

Masih akan ada kekerasan etnik dan nasionalis yang tinggi. Hal ini mengisyaratkan bahwa terorisme dan perang-perang pembebasan nasional akan terus berlanjut menjadi unsur penting agenda internasional. Namun konflik skala besar yang melibatkan negara besar yang berada dalam fase sejarah, tampaknya tidak akan terjadi. Dalam periode paska sejarah tidak akan adal lagi perjuangan, pengakuan, idealisme, imajinasi. Yang ada hanyalah perawatan abadi museum sejarah manusia. Barangkali prospek dari abad kebosanan akhir sejarah akan menjadi pemicu sejarah untuk mulai bergerak sekali lagi.


Kesimpulan:
Fukuyama melihat sejarah telah berakhir, dengan ditandai oleh kemenangan liberalisme atas ideologi-ideologi lainnya. Bentuk pemerintahan ideal, dan tatanan sosial masyarakat telah menemui bentuknya. Dalam memahami ini Fukuyama menggunakan pemikiran Hegel mengenai momen absolut dimana bentuk final masyarakat dan negara yang rasional menjadi pemenang. Fukuyama mengecam pemikiran Hegel yang mengalami distorsi oleh Marx. Marx terlalu memuja materi sebagai sumber kesadaran. Sejarah manusi berasal dari kesadaran yang mendahuluinya. Bahkan beberapa fenomena sosial masyarakat tidak bisa dijelaskan dengan pendekatan materialisme historis. Kesadaran dalam basis ideologi itu mencakup agama, budaya, dan nilai-nilai moral yang kompleks.

Fukuyama mencontohkan reformasi yang terjadi di Cina pada dekade 1980-an merupakan hasil dari kesadaran para elit politik Cina. Kesadaran manusia akan ide-ide membentuk kembali pemahaman manusia akan dunia materi dengan citranya sendiri. Sehingga persepsi manusia dibentuk oleh “kesadaran historisnya” akan dunia itu. Berbeda dengan materi yang membentuk historis manusia.

Tantangan lainnya di luar ideologi menurut Fukuyama adalah kebangkitan agama dan nasionalisme. Kebangkitan agama menandai kekosongan rohani dalam masyarakat konsumeris liberal. Masih belum jelas apakah nasionalisme dapat didamaikan dalam liberalisme, karena nasionalisme berasal dari berbagai macam faktor.

Akhir sejarah tidak memberikan pengaruh yang begitu signifikan bagi hubungan internasional. Karena sudah dimaklumi secara umum bahwa negara bergerak berdasarkan pada inti kekuatan nasional yang menjadi penggerak dalam hubungan-hubungan antar negara. Penentuan kepentingan nasional suatu negara itu berdasarkan pada basis ideologi yang dianut sebelumnya. Dalam hubungan antar negara masih akan ada negara yang berada dalam fase sejarah dan akhir sejarah. Konflik pasti akan tetap muncul, tetapi konflik skala besar diragukan kemunculannya.

Referensi:
Huntington, Samuel P, George W. Bush, Francis Fukuyama, et al. 2005. Amerika dan Dunia        (Memperdebatkan Bentuk Baru Politik Internasional). Yayasan Obor Indonesia:           Jakarta.

Tidak ada komentar: