Apakah
Kekuasaan Rangkap
Telah Lenyap
di Muhammadiyah Bima?

Penulis: Muh. Alifuddin
Tidak. Kekuasaan rangkap masih tetap
ada. Persoalan fundamental dari setiap pergantian kepemimpinan dalam setiap
amal usaha muhammadiyah, persoalan kekuasaan Kepemimpinan, seperti dulu masih
berada dalam keadaan tak tentu, tak mantap dan nyata bersifat peralihan.
Bandingkanlah persoalan kepemimpinan
islam dan ormas islam ini (muhammadiyah Bima), misalnya si fulan, dari
satu pihak, dan si ali, di pihak lain. Pandanglah laporan-laporan resmi hasil
manipulasi sedang terjadi pada rapat-rapat mereka secara sepihak berdasarkan
kepentingan kelompok sang pencetus gerakan muhammadiyah di Bima yang di
sampaikan kepada PP muhammadiyah di jakarta, tentang bagaimana muhammadiyah itu
“menunda-nunda” pendiskusian masalah-masalah yang paling vital, disebabkan
ketidak mampuannya untuk mengambil sebarang arah yang pasti.
Bacalah dengan teliti fakta rangkap
jabatan ini, yang dimulai sejak kekuasaan ditangan sang diktator, mereka
memainkan peran mengenai persoalan yang paling hakiki, paling penting, yaitu
persoalan muhammadiyah mengatasi kekacauan sosial dalam hal TBC dan menghindarkan
bencana yang mengancam diri mereka dan orang akan menjadi yakin bahwa kekuasaan
rangkap itu adalah samasekali tidak disinggung.
Semuanya mengakui bahwa Muhammadiyah
Bima sedang dalam kecepatan luar biasa menuju ke suatu bencana, akan tetapi
yang sudah dilakukan mengenai ini hanyalah menyapu masalah tersebut ke bawah
karpet. Bukankah ini artinya melompati permasalahan, ketika suatu resolusi
tentang persoalan seperti bencana kaderisasi, pada saat yang kita alami
sekarang ini, hanyalah menciptakan banjir kader, antek-antek, dan lembaga-lembaga
alihan sang diktator? Ketika Korps Instruktur itu juga mengambil suatu resolusi
yang sekali lagi menyatakan tidak apa-apa selain harapan-harapan baik
berkenaan dengan perkara yang begitu memalukan seperti perkara pemilik-pemilik muhammadiyah
bima saat ini, yang ditelanjangi karena dengan sengaja mendisorgaisasi prosesi
kaderisasi? Menetapkan kebijakan, mengatur kepentingan, menetapkan haluan yang
halalkan padahal haram, dan mulai membentuk trust-trust yang diatur oleh sang
diktator yang rangkap jabatan, ya, akan tetapi bagaimana, lewat siapa?
“Lewat kakanda-kakanda kita dan setempat di dalam IMM. Kakanda-kakanda ini
mesti bersifat demokratis dan dibentuk dari wakil-wakil Kader-kader terbaik
bukan atas dasar kebutuhan kepentingannya semata”!
Ini kiranya akan lucu, apabila
persoalan yang bersangkutan bukan merupakan suatu tragedi. Karena diketahui
umum bahwa lembaga-lembaga “Korps Instruktur” seperti itu sudah ada dan masih
ada baik ditempat-tempat, maupun di kalangan sang dikatator yang rangkap
jabatan, akan tetapi lembaga-lembaga itu tidak berdaya untuk melakukan barang
sesuatu sebagai langkah revolusi yang mengarahkan kader untuk merdeka dan
berani berfastabiqul khairat.
Rapat-rapat antara kaum dictator dan
para kakanda sang antek telah berlangsung terus sejak akhir bulan-bulan tahun
ini! Dan kepada kader sekali lagi disajikan janji-janji dogmatis keislaman
untuk tetap patuh dan mengertikan mereka, lembaga-lembaga itu dalam rapat-rapat
antara wakil-wakil kader dan para sang diktator dan ceritera lama yang tak ada
ujung, pangkalnya itu dimulai lagi dari permulaannya! Akar kejahatan itu
terletak di dalam kekuasaan rangkap. Akar kekeliruan sang diktator dan antek
(kakanda) ialah bahwa mereka tidak memahami perjuangan kader, dan ingin
mengganti atau menyelubunginya, mendamaikannya dengan mempergunakan frase-frase,
janji-janji, resolusi-resolusi, komisi-komisi “dengan ikut sertanya”
wakil-wakil antek sang diktator dari lembaga (korps) kekuasaan rangkap yang
sama !
Rangkap jabatan telah mengeruk dari
peperangan keuntungan-keuntungan yang fantastis, yang melampaui batas. Mereka
mempunyai mayoritas anggota-anggota ayahanda dan kakanda di pihak mereka.
Mereka ingin memperoleh kekuasaan yang tak terbatas; dari titik pandangan
kedudukan kader mereka, mereka tidak dapat tidak mengusahakan kekuasaan yang
tak terbatas dan mempertahankannya.
Keberadaan kader, yang merupakan minoritas
gerakan, mengkontrol persoalan ini, sadar akan kekuatan mereka sebagai
mayoritas, dengan melihat di mana-mana janji-janji bahwa kehidupan akan “Cerah”
dan tahu bahwa Muhammadiyah adalah kekuasaan mayoritas atas minoritas (dan
bukannya sebaliknya – sebagaimana dikehendaki sang diktator), dengan mulai
berusaha memperbaiki kehidupan mereka baru saja sesudah pergantian kepemimpinan
amal usaha (dan pun di semua tempat), dan bukan sejak permulaan politik
internal, bagi kader itu tidak dapat berikhtiar mengusahakan kekuasaan tak
terbatas dari sang rangkap jabatan, yaitu mayoritas kader, mengusahakan
diurusnya persoalan-persoalan menurut kemauan mayoritas kader, melawan
minoritas kaum diktator, dan bukan menurut sesuatu “persetujuan antara
mayoritas kader.
Kekuasaan rangkap tetap masih ada. Kepemimpinan
sang diktator tetap berkuasa karena merekalah pemilik sejarah, walaupun dengan
embel-embel berupa membesarkan Muhammadiyah di bima dan “dia” (sang Diktator)
secara tak berdaya lari ke sana- ke mari dengan keinginan duduk di antara dua
kursi. Dalam pada itu krisis bertambah terus. Soal-soal telah mencapai titik di
mana sang rangkap jabatan, para antek-antek sang diktator sedang melakukan
kejahatan-kejahatan yang begitu kurang ajar hingga tak dapat dibayangkan, men–disorganisasi
dan menghentikan sejumlah kader. Ada pembicaraan tentang lockout-lockout.
Sesungguhnya lockout-lockout itu mulai justru dalam bentuk disorganisasi
kader oleh sang diktator (sebab kepemimpinan adalah milik mereka di semua
tempat!!!!).
Seluruh tanggungjawab karena krisis
ini, karena bencana yang mengancam, terletak pada gembong-gembong ayahanda dan kakanda.
Sebab merekalah yang pada waktu ini merupakan pemimpin-pemimpin awal sang
pemilik sejarah. Ketidakmauan minoritas (sebagaian kader) tunduk kepada sang
rangkap jabatan, adalah hal yang tak terelakkan. Mereka yang tidak melupakan
segala sesuatu yang diajarkan oleh ilmu serta pengalaman semua kader, mereka
yang tidak melupakan perjuangan Kh. Ahmad Dahlan, akan tidak menunda-nunda
dengan penuh kepercayaan suatu "persetujuan" dengan sang diktator
mengenai persoalan yang demikian hakiki, demikian hangat.
Mayoritas kader, yaitu para
cendekiawan terdidik (Kakanda), Adinda dan ayahanda kiranya, akan sepenuhnya
mampu menyelamatkan situasi, menghalang-halangi sang diktator mendisorganisasi
dan menghentikan proses re generasi., mampu segera dan dalam kenyataan
menempatkan kader itu di bawah kontrol mereka sendiri, andaikata tidak ada
politik “persetujuan” dari gembong-gembong ayahanda dan antek sang diktator.
Mereka itulah memikul tanggungjawab penuh atas krisis dan atas bencana itu.
Akan tetapi, tidak ada jalan keluar
selain putusan mayoritas Kakanda dan adinda untuk bertindak melawan minoritas sang
dikatator yang rangkap jabatan. Pengulur-uluran apapun tidak akan menolong, itu
hanya akan membuat penyakit lebih parah. Dilihat dari sudut pandangan Muhammadiyah,
sikap “persetujuan” dari gembong-gembong Ayahanda dan Kakanda sang antek itu
merupakan manifestasi kegoyangan-kegoyangan sikap kediktatorannya yang takut
untuk mempercayai kepada kader, takut memutuskan hubungannya dengan kekuasaan.
Kegoyangan-kegoyangan itu tak terelakkan, sama seperti tak terelakkannya
perjuangan kita, perjuangan sang pemerhati, untuk mengatasi
kegoyangan-kegoyangan, untuk menjelaskan kepada seluruh kader keharusan
memulihkan, mengorganisasi dan meningkatkan gerakan TBC melawan sang diktator
yang rangkap jabatan.
Tidak ada jalan keluar yang lain.
Atau kita kembali kepada kekuasaan tak terbatas dari sang diktator, atau maju
ke arah idiologi sesungguhnya, ke arah keputusan-keputusan menurut mayoritas.
Kekuasaan rangkap ini tidak dapat bertahan lama.
Kos Tercinta bersama istri tercinta
Muh. Alifuddin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar