Membangun Budaya membaca, menulis Kader IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH BIMA

Rabu, 25 November 2015

Apakah Kekuasaan Rangkap Telah Lenyap di Muhammadiyah Bima?



Apakah Kekuasaan Rangkap
Telah Lenyap di Muhammadiyah Bima?
 

Penulis: Muh. Alifuddin


Tidak. Kekuasaan rangkap masih tetap ada. Persoalan fundamental dari setiap pergantian kepemimpinan dalam setiap amal usaha muhammadiyah, persoalan kekuasaan Kepemimpinan, seperti dulu masih berada dalam keadaan tak tentu, tak mantap dan nyata bersifat peralihan.
Bandingkanlah persoalan kepemimpinan islam dan ormas islam ini (muhammadiyah Bima), misalnya si fulan, dari satu pihak, dan si ali, di pihak lain. Pandanglah laporan-laporan resmi hasil manipulasi sedang terjadi pada rapat-rapat mereka secara sepihak berdasarkan kepentingan kelompok sang pencetus gerakan muhammadiyah di Bima yang di sampaikan kepada PP muhammadiyah di jakarta, tentang bagaimana muhammadiyah itu “menunda-nunda” pendiskusian masalah-masalah yang paling vital, disebabkan ketidak mampuannya untuk mengambil sebarang arah yang pasti.
Bacalah dengan teliti fakta rangkap jabatan ini, yang dimulai sejak kekuasaan ditangan sang diktator, mereka memainkan peran mengenai persoalan yang paling hakiki, paling penting, yaitu persoalan muhammadiyah mengatasi kekacauan sosial dalam hal TBC dan menghindarkan bencana yang mengancam diri mereka dan orang akan menjadi yakin bahwa kekuasaan rangkap itu adalah samasekali tidak disinggung.

Semuanya mengakui bahwa Muhammadiyah Bima sedang dalam kecepatan luar biasa menuju ke suatu bencana, akan tetapi yang sudah dilakukan mengenai ini hanyalah menyapu masalah tersebut ke bawah karpet. Bukankah ini artinya melompati permasalahan, ketika suatu resolusi tentang persoalan seperti bencana kaderisasi, pada saat yang kita alami sekarang ini, hanyalah menciptakan banjir kader, antek-antek, dan lembaga-lembaga alihan sang diktator? Ketika Korps Instruktur itu juga mengambil suatu resolusi yang sekali lagi menyatakan  tidak apa-apa selain harapan-harapan baik berkenaan dengan perkara yang begitu memalukan seperti perkara pemilik-pemilik muhammadiyah bima saat ini, yang ditelanjangi karena dengan sengaja mendisorgaisasi prosesi kaderisasi? Menetapkan kebijakan, mengatur kepentingan, menetapkan haluan yang halalkan padahal haram, dan mulai membentuk trust-trust yang diatur oleh sang diktator yang rangkap jabatan,  ya, akan tetapi bagaimana, lewat siapa? “Lewat kakanda-kakanda kita dan setempat di dalam IMM. Kakanda-kakanda ini mesti bersifat demokratis dan dibentuk dari wakil-wakil Kader-kader terbaik bukan atas dasar kebutuhan kepentingannya semata”!
Ini kiranya akan lucu, apabila persoalan yang bersangkutan bukan merupakan suatu tragedi. Karena diketahui umum bahwa lembaga-lembaga “Korps Instruktur” seperti itu sudah ada dan masih ada baik ditempat-tempat, maupun di kalangan sang dikatator yang rangkap jabatan, akan tetapi lembaga-lembaga itu tidak berdaya untuk melakukan barang sesuatu sebagai langkah revolusi yang mengarahkan kader untuk merdeka dan berani berfastabiqul khairat.
Rapat-rapat antara kaum dictator dan para kakanda sang antek telah berlangsung terus sejak akhir bulan-bulan tahun ini! Dan kepada kader sekali lagi disajikan janji-janji dogmatis keislaman untuk tetap patuh dan mengertikan mereka, lembaga-lembaga itu dalam rapat-rapat antara wakil-wakil kader dan para sang diktator dan ceritera lama yang tak ada ujung, pangkalnya itu dimulai lagi dari permulaannya! Akar kejahatan itu terletak di dalam kekuasaan rangkap. Akar kekeliruan sang diktator dan antek (kakanda) ialah bahwa mereka tidak memahami perjuangan kader, dan ingin mengganti atau menyelubunginya, mendamaikannya dengan mempergunakan frase-frase, janji-janji, resolusi-resolusi, komisi-komisi “dengan ikut sertanya” wakil-wakil antek sang diktator dari lembaga (korps) kekuasaan rangkap yang sama !
Rangkap jabatan telah mengeruk dari peperangan keuntungan-keuntungan yang fantastis, yang melampaui batas. Mereka mempunyai mayoritas anggota-anggota ayahanda dan kakanda di pihak mereka. Mereka ingin memperoleh kekuasaan yang tak terbatas; dari titik pandangan kedudukan kader mereka, mereka tidak dapat tidak mengusahakan kekuasaan yang tak terbatas dan mempertahankannya.
Keberadaan kader, yang merupakan minoritas gerakan, mengkontrol persoalan ini, sadar akan kekuatan mereka sebagai mayoritas, dengan melihat di mana-mana janji-janji bahwa kehidupan akan “Cerah” dan tahu bahwa Muhammadiyah adalah kekuasaan mayoritas atas minoritas (dan bukannya sebaliknya – sebagaimana dikehendaki sang diktator), dengan mulai berusaha memperbaiki kehidupan mereka baru saja sesudah pergantian kepemimpinan amal usaha (dan pun di semua tempat), dan bukan sejak permulaan politik internal, bagi kader itu tidak dapat berikhtiar mengusahakan kekuasaan tak terbatas dari sang rangkap jabatan, yaitu mayoritas kader, mengusahakan diurusnya persoalan-persoalan menurut kemauan mayoritas kader, melawan minoritas kaum diktator, dan bukan menurut sesuatu “persetujuan antara mayoritas kader.
Kekuasaan rangkap tetap masih ada. Kepemimpinan sang diktator tetap berkuasa karena merekalah pemilik sejarah, walaupun dengan embel-embel berupa membesarkan Muhammadiyah di bima dan “dia” (sang Diktator) secara tak berdaya lari ke sana- ke mari dengan keinginan duduk di antara dua kursi. Dalam pada itu krisis bertambah terus. Soal-soal telah mencapai titik di mana sang rangkap jabatan, para antek-antek sang diktator sedang melakukan kejahatan-kejahatan yang begitu kurang ajar hingga tak dapat dibayangkan, men–disorganisasi dan menghentikan sejumlah kader. Ada pembicaraan tentang lockout-lockout. Sesungguhnya lockout-lockout itu mulai justru dalam bentuk disorganisasi kader oleh sang diktator (sebab kepemimpinan adalah milik mereka di semua tempat!!!!).
Seluruh tanggungjawab karena krisis ini, karena bencana yang mengancam, terletak pada gembong-gembong ayahanda dan kakanda. Sebab merekalah yang pada waktu ini merupakan pemimpin-pemimpin awal sang pemilik sejarah. Ketidakmauan minoritas (sebagaian kader) tunduk kepada sang rangkap jabatan, adalah hal yang tak terelakkan. Mereka yang tidak melupakan segala sesuatu yang diajarkan oleh ilmu serta pengalaman semua kader, mereka yang tidak melupakan perjuangan Kh. Ahmad Dahlan, akan tidak menunda-nunda dengan penuh kepercayaan suatu "persetujuan" dengan sang diktator mengenai persoalan yang demikian hakiki, demikian hangat.
Mayoritas kader, yaitu para cendekiawan terdidik (Kakanda), Adinda dan ayahanda kiranya, akan sepenuhnya mampu menyelamatkan situasi, menghalang-halangi sang diktator mendisorganisasi dan menghentikan proses re generasi., mampu segera dan dalam kenyataan menempatkan kader itu di bawah kontrol mereka sendiri, andaikata tidak ada politik “persetujuan” dari gembong-gembong ayahanda dan antek sang diktator. Mereka itulah memikul tanggungjawab penuh atas krisis dan atas bencana itu.
Akan tetapi, tidak ada jalan keluar selain putusan mayoritas Kakanda dan adinda untuk bertindak melawan minoritas sang dikatator yang rangkap jabatan. Pengulur-uluran apapun tidak akan menolong, itu hanya akan membuat penyakit lebih parah. Dilihat dari sudut pandangan Muhammadiyah, sikap “persetujuan” dari gembong-gembong Ayahanda dan Kakanda sang antek itu merupakan manifestasi kegoyangan-kegoyangan sikap kediktatorannya yang takut untuk mempercayai kepada kader, takut memutuskan hubungannya dengan kekuasaan. Kegoyangan-kegoyangan itu tak terelakkan, sama seperti tak terelakkannya perjuangan kita, perjuangan sang pemerhati, untuk mengatasi kegoyangan-kegoyangan, untuk menjelaskan kepada seluruh kader keharusan memulihkan, mengorganisasi dan meningkatkan gerakan TBC melawan sang diktator yang rangkap jabatan.
Tidak ada jalan keluar yang lain. Atau kita kembali kepada kekuasaan tak terbatas dari sang diktator, atau maju ke arah idiologi sesungguhnya, ke arah keputusan-keputusan menurut mayoritas. Kekuasaan rangkap ini tidak dapat bertahan lama.

Kos Tercinta bersama istri tercinta

Muh. Alifuddin
 
 

Tidak ada komentar: