Gerakan Moral Versus Gerakan Politik

obyektif secara signifikan kemudian membentuk watak gerakan mahasiswa. Secara
sederhana, sebuah gerakan merupakan suatu proses untuk mencapai perubahan jangka
panjang seperti yang dicita-citakan. Perubahan jangka panjang ini adalah perubahan
yang visioner (esoterik), yakni perubahan untuk menciptakan tatanan masyarakat
yang ideal. Dengan demikian, sebuah gerakan mahasiswa tidak hanya membutuhkan
modal berupa keberanian di tingkat praksis (eksoterik), tetapi juga kecanggihan di
tingkat wacana.
Pendekatan esoterik biasanya kita akan memasuki wilayah substantif, berupa kajian
tentang substansi gerakan dan banyak bermain dalam dialektika wacana secara terus-
menerus. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul biasanya adalah bagaimana sebuah
orientasi perubahan dirumuskan, landasan teoritis dan ideologis apa yang melingkupi
perubahan, serta tatanan perubahan masyarakat yang bagaimana yang diharapkan
akan terwujud? Dalam konteks ini, maka kekuatan wacana dengan visi yang jelas
merupakan modal yang sangat berharga dalam merumuskan orientasi perubahan.
Sementara pendekatan eksoterik, membuat kita memasuki wilayah praksis gerakan.
Ia akan berproses dalam persoalan strategi gerakan dengan menjawab pertanyaan-
pertanyaan seperti: bagaimana melakukan sebuah perubahan, cara apa yang
diperlukan untuk mencapai tujuan perubahan yang dimaksud? Jawaban-jawaban
terhadap pertanyaan ini tersebut tentu saja kemudian terumuskan dalam wilayah
strategis taktis sebuah gerakan.
Dari pendekatan di atas, maka kita akan bisa melihat bahwa gerakan mahasiswa
akan terpola dalam dua pola besar yang untuk sederhananya kita bagi menjadi dua,
yakni gerakan moral dan gerakan politik. Gerakan moral (moral force) biasanya
dipersepsikan sebagai sebuah gerakan yang memihak pada nilai-nilai moral
universal, yakni nilai kebenaran, keadilan, demokratisasi, hak azasi manusia, dan
sebagainya. Sebuah gerakan moral biasanya tidak masuk dalam wilayah kepentingan
politik praktis dengan saling dukung-mendukung terhadap kekuatan kelompok
tertentu (power block). Mereka hanya mendukung kepentingan nilai yang menurut
mereka bagus. Dengan demikian, kalau misalnya sebuah partai politik (parpol)
mengedepankan nilai-nilai keadilan, demokratisasi, HAM, dan sebagainya, maka
mereka akan mendukungnya dalam arti untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut, bukan
mendukung kekuatan parpol secara politis. Sebaliknya, kalau ternyata parpol tersebut
tidak lagi memperjuangkan nilai-nilai dengan standar moralitas yang dimaksud,
maka sebuah gerakan moral akan menarik dukungannya, bahkan melawannya.
Jadi, ringkasnya sebuah gerakan moral adalah gerakan yang mendukung untuk
memperjuangkan nilai-nilai dengan ukuran moralitas tertentu. Disinilah independensi
gerakan mahasiswa akan terlihat. Mahasiswa bukan subordinat kekuatan politik
tertentu.
Sementara gerakan politik merupakan gerakan untuk melakukan perubahan politik
dengan berpihak pada kekuatan politik tertentu, atau menjadikan dirinya sebagai
lokomotif politik mahasiswa. Mereka tidak alergi untuk melakukan sharing dan lobi-
lobi politik dengan kekuatan politik yang ada. Bagi mereka hal ini perlu dilakukan
sebagai strategi untuk mencapai perubahan. Mereka mengkritik gerakan moral
sebagai ketakutan untuk bersentuhan dengan kepentingan politik, dan hanya mampu
melakukan himbauan moral. Keberpihakan pada kekuatan politik tertentu secara riel
tidak apa-apa, sepanjang ide-ide perubahan yang diperjuangkan mahasiswa sejalan
dengan mereka. Dalam kondisi tertentu dan dibutuhkan, organisasi mahasiswa
bahkan berubah menjadi organisasi politik seperti yang pernah dilakukan mahasiswa
Indonesia di Belanda pada 1908 dengan mendirikan Perhimpunan Indonesia.
Sosiolog Arief Budiman bahkan mengkritik gerakan moral dengan mengistilahkannya
sebagai “koboi”. Ia datang ketika ada kerusuhan dan kekacauan yang dilakukan oleh
para penjahat di suatu daerah. Setelah para penjahat dibasmi dan keadaan kembali
tenang, maka sang koboi pun pergi lagi mengembara kemana-mana. Demikian
seterusnya setiap ada kekacauan, sang koboi datang dan pergi lagi.
Dari kedua konteks di atas, maka seyogiayanya gerakan mahasiswa membutuhkan
pola-pola gerakan yang bervariasi. Kecenderungan pada kutup ekstrim tertentu antara
gerakan moral dan gerakan politik justru akan mereduksi peran gerakan itu sendiri.
Karena itu, apapun penjelasannya, kedua pola tersebut tetap dibutuhkan. Yang penting
tetap mampu memberikan nuansa dalam proses perubahan yang visioner dan esoterik.
Dengan kata lain, mengutamakan salah satu pola (gerakan politik maupun gerakan
moral) akan berujung pada kegagalan analitik untuk merumuskan strategi gerakan
dalam mencapai orientasi perubahan.
Pasang Surut Gerakan Mahasiswa Indonesia
Lahirnya Perhimpunan Indonesia yang diprakarsai oleh mahasiswa Indonesia
yang sedang belajar di Belanda pada tahun 1925 merupakan momentum awal dari
semua gagasan dan ide tentang sebuah gerakan perubahan kaum muda yang plural
dan terorganisir secara modern, yang bertujuan untuk membebaskan Indonesia
dari cengkeraman kolonialisme Belanda. Perhimpunan Indonesia ini merupakan
perubahan nama dan terjemahan dari nama Belandanya, yakni Indische Vereniging
(Perhimpunan Hindia), organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda yang telah ada
sejak 1908. Penggunaan kata “Indonesia” menunjukkan adanya keinginan besar
mahasiswa Indonesia waktu itu untuk melepaskan bangsa ini dari kolonialisme
Belanda.
Akira Nagazumi (1977) mencatat bahwa dalam suatu karangan
mengenai “Perhimpunan Indonesia”, Soenario, pemimpin organisasi ini pada
pertengahan tahun 1920-an, membagi sejarah organisasi tersebut dalam lima kurun
waktu, yakni:
1.1908-1913; masa berkelompok demi cita-cita dan cara untuk mencapainya,
walaupun tanda-tanda patriotisme telah dapat dilihat.
2.1913-1919; orientasi politis ke arah Indonesia merdeka lantaran pengaruh tiga orang
pemimpin Indische Partij yang diasingkan dari tanah airnya.
3.1919-1923; meningkatnya semangat nasionalisme, yang mengarah ke perubahan
nama.
4.1923-1930; perubahan dari organisasi mahasiswa menjadi organisasi politik.
5.1930 dan sesudahnya; kemunduran organisasi dan pergeseran dari politik
antikolonial ke anti fasis.
Pada tahun 1900 hanya ada lima mahasiswa Indoensia yang belajar pada pendidikan
tinggi di negeri Belanda, tetapi pada tahun 1908 jumlah mahasiswa Indonesia sudah
23 orang, dan pada tahun inilah Indische Vereniging dibentuk (John S. Furnivall,
1939). Walaupun dimulai dengan sederhana, organisasi ini memiliki arti dalam dua
hal. Pertama, ia membuka pintu keanggotaan untuk semua mahasiswa dari Hindia
Belanda, tidak seperti Budi Utomo yang sekalipun didirikan pada tahun yang sama,
lambat laun menjadi suatu organisasi yang beranggotakan orang Jawa saja. Pilihan ke
arah ini oleh Indische Vereniging tidaklah kebetulan, karena pada mulanya beberapa
para pendirinya mengusulkan untuk membuat perkumpulan tersebut menjadi cabang
Budi Utomo di negeri Belanda. Tetapi, walaupun mayoritas mahasiswa Hindia
Belanda di Nederland itu orang Jawa, namun usul itu tidak diterima oleh mereka yang
berasal dari Sumatera, Minahasa, Maluku, dan yang lainnya. Akibatnya, Indische
Vereniging mampu mengatasi hambatan etnosentrisme. Namun demikian, ternyata
masih diperlukan dua dasawarsa bagi para pemimpin nasionalis di Hindia Belanda
untuk menjadi sadar akan persatuan nasional Indonesia.
Kedua, Indische Vereniging bukan hanya sekedar organisasi persahabatan seperti
disebut oleh beberapa penulis mengenai sejarah Indonesia modern. Pasal dua dari
anggaran Dasarnya menetapkan sebagai berikut: “memperbaiki atau meningkatkan
kepentingan bersama orang Hindia di Negeri Belanda dan memelihara hubungan
dengan Hindia Belanda”. Pada bulan Januari 1909 pengadilan lokal di kota Leiden
mempersoalkan istilah “orang Hindia” (Indier) dan Soemitro, sekretaris organisasi
pada waktu itu, harus menghadap untuk memberi penjelasan mengapa perkataan
tersebut digunakan dan bukan kata yang lazim dipakai, yaitu “Inlander” (pribumi),
walaupun dengan konotasi yang diskriminatif (Nagazumi, 1977).
Dalam sejarah perjalanannya, Perhimpunan Indonesia terbukti mampu
mengakomodasikan semua orang Hindia secara egaliter dan tanpa diskriminatif—
berbeda dengan Budi Utomo—menjadi awal bangkitnya semangat perlawanan
mahasiswa Indonesia. Bahkan dari tahun 1923 hingga tahun 1930 organisasi ini
merubah dirinya dari organisasi mahasiswa menjadi organisasi politik, sebuah
metamorfosis yang sangat berani waktu itu. Semangat mahasiswa Indonesia yang
tergabung dalam Perhimpunan Indonesia kemudian semakin mengkristal dalam
berbagai gerakan perubahan di tanah air dengan lahirnya Sumpah Pemuda tahun
1928, dan kemerdekaan Indonesia tahun 1945.
Setelah Indonesia merdeka, peranan mahasiswa mulai menonjol kembali terutama
pada jaman Demokrasi Terpimpin. Pada masa itu tiga kekuatan, yakni mahasiswa,
Presiden Sukarno dan Angkatan Darat merupakan aktor-aktor yang menentukan.
Angkatan Darat sejak mengumumkan SOB pada bulan Maret 1957, berhasil
menciptakan transformasi dan konsolidasi politik internal. Sehingga secara politik
menjadi kekuatan yang diperhitungkan. Hal ini kemudian diperkuat oleh konsepsi
Jenderal Nasution tentang middle way (jalan tengah) yang kelak menjadi konsep dwi
fungsi ABRI (sekarang TNI). Sedangkan Soekarno, sejak mengumumkan dekrit 5 Juli
1959, posisinya semakin sentral. Partai politik yang di masa Demokrasi Parlementer
menjadi aktor dominan, pada era demokrasi terpimpin ini semakin tergeser perannya.
Soekarno kemudian berhasil menjadi faktor penyeimbang (balance of power) antara
Angkatan Darat dan kekuatan politik lain, terutama PKI yang jelas berseberangan
dengan Angkatan Darat dan mahasiswa (Sudjana, 1995).
Peran mahasiswa pada era ini tumbuh bersamaan dengan terbentuknya Badan
Kerjasama Pemuda-Militer. Badan inilah yang menjadi cikal bakal dan merupakan
forum pertama bagi gerakan mahasiswa untuk menjadi partisipan politik atas
namanya sendiri. Dibandingkan masa Demokrasi Parlementer peran seperti ini
hampir-hampir mustahil, karena pada saat itu posisi mahasiswa selalu berada dalam
subordinat partai politik dengan ideologi dan alirannya masing-masing. Kemelut
ekonomi dan politik pada tahun 1966 dan dibarengi dengan usaha kudeta PKI pada
tanggal 30 September 1966 (G 30 S) menyebabkan terjadinya situasi yang chaos.
Para pemimpin mahasiswa yang tergabung dalam KAMI dan KAPPI terus menjalin
kerjasama erat dengan militer, terutama pimpinan Angkatan Darat, yang kemudian
menaikkan Jenderal Suharto dan lahirlah Orde Baru.
Semasa Orde baru berkuasa, tercatat banyak momentum politik yang melibatkan
mahasiswa. Misalnya tuntutan mahasiswa tahun 1974 dengan peristiwa “Malari”
dan tahun 1978 yang meminta Presiden Suharto mundur. Kedua peristiwa tersebut
berbuntut pada ditangkap dan diadilinya banyak aktivis mahasiswa. Sejak itu,
pemerintahan Suharto menerapkan langkah jitu untuk membungkam setiap gerakan
mahasiswa dengan melakukan depolitisasi mahasiswa dan mengintegrasikan kanpus
menjadi bagiand dari birokrasi negara. Kebijakan ini tentu saja berakibat pada
penghancuran infrastruktur politik mahasiswa. Kegiatan mahasiswa kemudian
menjadi bagian dan dikontrol oleh birokrasi kampus (Rektorat) yang merupakan
kepanjangan tangan birokrasi negara. Sejak saat itu, mahasiswa kita tidak terlibat lagi
dalam politik kampus dan nasional, bahkan cenderung merasa dirinya tidak bermakna
dalam politik. Dalam banyak hal berkembang sinisme, apatisme dan bahkan “inertia”.
Kondisi ini jelas sangat memprihatinkan.
Lebih parah lagi, kebijakan deideologisasi partai politik, ormas dan lembaga
kemahasiswaan dengan diterapkannya azas tunggal Pancasila pada tahun 1985
membuat dinamika gerakan mahasiswa menjadi lesu. Hal ini tidak saja dialami oleh
lembaga-lembaga mahasiswa intra kampus bentukan Orde Baru, juga dialami oleh
organisasi-organisasi ekstra kampus seperti HMI, PMII, GMNI, PMKRI, GMKI,
dan lain-lain. Dalam keadaan seperti ini, model-model gerakan berubah total dari
pola jalanan (demonstrasi) ke pola-pola yang lebih “aman” melalui kajian-kajian
intelektual. Maka muncullah banyak kelompok-kelompok studi di kampus-kampus
sebagai ajang aktualisasi akan fenomena yang terjadi. Keadaan ini berlangsung hingga
akhir tahun 1997-an.
Sekitar awal tahun 1990-an, gerakan mahasiswa menemukan bentuknya kembali di
bawah represifitas negara yang belum surut. Mungkin banyak orang mengira bahwa
gerakan mahasiswa telah mandeg, tetapi ternyata tidak. Pola-pola “aman” yang
diterapkannya dengan sekali-kali melakukan model jalanan, terutama di beberapa kota
besar, ternyata cukup menjadi investasi menghadapi perubahan politik nasional pada
akhir 1997 saat Indonesia dilanda krisis moneter. Tidak banyak lembaga mahasiswa
cukup berani dan eksis dalam gerakan tersebut. Di Yogyakarta ada LMMY (Liga
Mahasiswa Muslim Yogyakarta) dan SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk
Demokrasi). Sementara di Jakarta ada FKMIJ (Forum Komunikasi Mahasiswa Islam
Jakarta.
SMID yang kemudian menjadi lembaga tingkat nasional menggambarkan rejim
Orde Baru sebagai bersifat fasis dan totaliter, dan pada 1994 menuntut sebuah sistem
multipartai demokratis. Setelah terjadinya pembantaian dan kerusuhan di kantor pusat
PDI pada Juli 1996, banyak aktivis SMID ditahan. Sementara itu, aktivis mahasiswa
muslim, termasuk yang ada di FKMIJ, mengorganisir demonstrasi besar-besaran
menentang judi milik negara, SDSB, pada 1993. Protes-protes keras terutama yang
didasarkan pada nilai-nilai agama dan moral, memaksa pemerintah membubarkan
usaha itu. Demonstrasi anti SDSB merupakan arak-arakan protes pertama yang
mencapai istana kepresidenan di Jakarta. Aktivis-aktivis mahasiswa muslim juga
ikut ambil bagian untuk menyatakan solidaritas terhadap Bosnia dan menentang
pemberantasan korupsi (Uhlin, 1998). Hal senada juga dilakukan mahasiswa muslim
Yogyakarta dibawah payung LMMY. LMMY dan FKMIJ merupakan institusi
kantong Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI-MPO)
yang menjadi lembaga bawah tanah selama Orde Baru berkuasa.
Menjelang akhir tahun 1997 saat Indonesia dilanda krisis moneter dan diikuti dengan
berbagai krisis lainnya, para aktivis mahasiswa semakin memantapkan posisinya
untuk melakukan gerakan menuntut Soeharto mundur. Pada saat itu, muncul banyak
sekali elemen-elemen aksi mahasiswa yang bersifat instan dengan mengusung
warna ideologi masing-masing. Namun, satu hal yang mempersatukan mereka
adalah keinginan bersama untuk menjatuhkan rejim totaliter Soeharto. Didukung
oleh berbagai demonstrasi besar-besaran di berbagai kota di tanah air, gerakan ini
kemudian mengkristal menjadi gerakan massa. Sayangnya, gerakan massa rakyat
tersebut diwarnai dengan berbagai kerusuhan, terutama di Jakarta dan beberapa kota
besar lainnya, yang justru mencoreng citra gerakan mahasiswa itu sendiri. Walaupun
demikian, tekanan perubahan yang dahsyat pada waktu itu memaksa Soeharto
mengundurkan diri dari jabatan presiden pada 21 Mei 1998. Di sinilah mahasiswa
bersama elemen masyarakat lainnya—kecuali militer—berperan sangat sentral dalam
menggulingkan rejim Orde Baru.
Kalau pada tahun 1966 mahasiswa bekerjasama dengan militer dalam menggulingkan
Orde Lama, maka pada tahun 1998 mahasiswa justru menjadikan militer sebagai
musuh bersama (common enemy) yang dianggap anti reformasi. Demikianlah,
momentum perubahan politik nasional pada 1998 yang terkenal dengan
istilah “gerakan reformasi” tidak serta merta membawa perubahan yang menyeluruh
dalam kehidupan masyarakat. Kekuatan anti reformasi Orde baru masih banyak
bercokol di Partai Golkar dan TNI. Dus, setelah empat tahun rejim Soeharto
dijatuhkan, kemudian berturut-turut penguasa berganti dari Habibie, Abdurrahman
Wahid, dan kini Megawati Soekarnoputri, perubahan yang sejak awal dicita-citakan
mahasiswa belum banyak memenuhi harapan. Di sinilah peran gerakan mahasiswa
era selanjutnya harus dimainkan, yakni menuntaskan berbagai agenda reformasi yang
belum berjalan.
Penutup
Sejak Perhimpunan Indonesia berdiri pada 1908 hingga tahun perubahan politik
nasional tahun 1998, gerakan mahasiswa Indonesia mengalami fluktuasi dan pasang
surut mengikuti situasi perubahan yang terjadi. Dalam masa-masa itu pula peran
sentral mereka dalam perubahan terlihat jelas. Walaupun demikian, ada juga masa-
masa di mana mereka tidak mampu menampilkan perannya secara maksimal, seperti
pada saat kurun waktu 1978 hingga awal 1990-an. Disamping itu, kondisi subyektif
seperti yang dijelaskan Sarlito menunjukkan bahwa para aktivis mahasiswa adalah
kelompok minoritas kreatif yang kerap tampil sebagai penggerak utama dalam setiap
momentum gerakan.
Lantas, bagaimana gerakan mahasiswa Indonesia ke depan? Apakah mereka akan
menemukan bentuknya yang relevan, atau justru kembali pada pengulangan sejarah
dalam ketidakberdayaannya? Kalau kita melihat kondisi ril sejak reformasi 1998,
gerakan mahasiswa cenderung tidak jelas. Keberhasilan gerakan tahun 1998 tidak
serta merta memberikan dinamika positif pada gerakan mahasiswa selanjutnya
secara keseluruhan. Ternyata, depolitisasi Orde baru masih tersimpan dalam alam
bawah sadar mahasiswa dan masyarakat kita hingga kini. Sehingga pembinaan
mahasiswa di lembaga intra kampus pun belum berubah dan beranjak maju. Dengan
kata lain, masih seperti dulu pada jaman NKK/BKK. Lemahnya proses ideologisasi
dan hanya ditopang oleh semangat euforia sesaat, menyebabkan gerakan tahun
1998 hanya menemukan momentumnya yang sementara, dan kemudian redup.
Walaupun demikian, dengan melihat analisis di atas, maka tentu saja gerakan
mahasiswa tidak boleh berhenti, sebelum perubahan masyarakat seperti yang dicita-
citakan terwujud. Generasi boleh berganti, tapi semangat, cita-cita dan idealisme
gerakan tidak boleh redup. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar