Antara
Dongeng Dan Mitos
Penulis: Muh. Alifuddin
Dalam
pembabakan kesusatraan, dongeng terbagi dalam legenda, cerita yang sama
sekali tak masuk akal; sage, cerita yang terkait unsur sejarah;mitos,
cerita yang mungkin terjadi;fabel, cerita yang berkisah tentang dunia
binatang;dan hikayat, cerita yang berkisah tentang kepahlawanan. Jadi
dalam hal ini mitos adalah bagian dari dongeng. Sebuah dongeng bisa berbentuk
mitos ataupun yang lainnya.
Mitos
sendiri berasal dari bahasa Yunani muthos, yang secara harfiah diartikan
sebagai cerita atau sesuatu yang dikatakan seseorang; dalam pengertian yang
lebih luas bisa berarti pernyataan, sebuah cerita atau alur drama. Mitos dalam
bahasa inggris menunjuk pada mythology yang berarti studi tentang isi
mitos maupun bagian-bagiannya. Sebuah buku yang berjudul Sex, Culture, and
Myth hasil tulisan B. Malinowski, membedakan pengertian antara dongeng,
legenda dan mitos. Menurut dia, legenda lebih sebagai cerita yang diyakini
seolah-olah merupakan kenyataan sejarah, meskipun sang pencerita menggunakannya
untuk mendukung kepercayaan-kepercayaan dari komunitasnya. Berkebalikan
dengannya, dongeng mengisahkan peristiwa-peristiwa ajaib tanpa dikaitkan dengan
suatu ritus tertentu. Dongeng dianggap sebagai sesuatu yang tak pernah
benar-benar terjadi. Ia ada karena diadakan dalam pengertian lebih lanjut,
hanyalah hasil khayalan dan imajinasi pelarian dari fakta. Atu bisa juga
diartikan sebagai, seperti kata Freud, hanyalah suatu puncak dari
ketidaksadaran keinginan manusia yang tak pernah terwujudkan. Ia hanya terkait
dengan hiburan. Sedangkan mitos merupakan “pernyataan atas suatu kebenaran
lebih tinggi dan lebih penting tentang realitas asali, yang masih dimengerti
sebagai pola dan fondasi dari kehidupan primitif”.
Dalam Kamus
Filsafat karya Lorens Bagus, mythos adalah mite, mitos, fabel,
hikayat, legenda, percakapan, ucapan, dan pembicaraan dari zaman purbakala,
dalam arti aslinya. E.B. Taylor menjelaskan mitos sebagai produk kekacauan atau
kebingungan manusia yang mencampuradukkan begitu saja pengalaman mimpi dan
bangunnya. Kebanyakan dari para filsuf berbeda pendapat tentang mitos. Sebagian
terbesar dari mereka mempunyai definisi sendiri-sendiri untuk mitos. Tetapi dua
yang paling bertolak belakang yaitu Vico yang menganggap mitos sebagai
instrumen yang memungkinkan sejarah manusia, sebagaimana hadir dalam
adat-istiadat kelompok-kelompok kemasyarakatannya, dipertahankan; dan Schelling
yang menyatakan bahwa sejarah suatu bangsa ditentukan oleh mitologinya. Hal ini
terkait erat dengan pendapatnya dengan peran mitos dalam mempertahankan
potensi-potensi kreatif murni dari para anggota kelompok kemasyarakatan yang
memberinya bentuk. Usaha ini kemudian diteruskan oleh Ernst Cassirer, ia
menghidupkan kembali pandangan Schelling tentang autensitas mitos sambil
memusatkan perhatian pada makna kritis bahasa. Pada tahap berpikir mitis, kata
dan realitas diidentikkan, sehingga daya naratif dan daya alam identik.
Sedangkan Levi Strauss membangkitkan lagi pernyataan Giambattista Vico bahwa
mitos menggambarkan adat istiadat kelompok-kelompok sosial. Ia melakukan
pendekatandnean prespektif antropologi, instrumen yang lebih maju daripada yang
digunakan Vico. Dengan analisisnya itu, ia menemukan peranan mitos dalam
mempertahankan dan mempersatukan realitas sosial melawan
pertentangan-pertentangan sosial yang dapat diperdamaikan dalam cerita mitis.
Masyarakat masa lampau memiliki ‘kebijakan puitis’ (sapienza poetica),
dimana mereka menyatakan cara pandangnya terhadap dunia lewat berbagai bentuk
metafisik, metafora, simbol dan mitos-mitos.
Yang
sangat berpengaruh atas kehidupan dan kebudayaan bangsa adalah mitos yang
dianggap pandangan hidup atau weltanschauung yang intuitif, imajiner,
yang lazim dipersonifikasikan. Mitos dapat juga dikatakan cerita yang
asal-usulnya sudah dilupakan. Penafsiran modern yang simpatik tentang
mitos-mitos tidak menganggapnya benar atau salah, melainkan sebagai sebuah
pemahaman tentang realitas. Ia diakui tidak banyak membantu dalam menjelaskan
kenyataan tetapi membantu untuk menguasai kenyataan secara rohani dan untuk
membangun hubungan yang hidup dengan kenyataan. Cara-cara yang ditempuhnya
tidaklah rasional namun dengan tujuan dan maksud-maksud rasional. Poetics,
karaya Aristoteles menggunakan istilah mitos untuk mengacu pada alur, struktur
naratif, cerita yangdikontraskandnegna wacana dialektis, eksposisi. Sekarang
ini ia menjadi istilah yang penting dalam kritik modern, dan biasa dilawankan
dengan filsafat dan ilmu pengetahuan. Mitos memiliki “wilayah makna” yang cukup
luas.
Puing-puing
dongeng dalam globalisasi
Dari
sejumlah lama kita, mantra pantun dan dongeng adalah yang paling sering
dihidupi oleh tradisi lisan. Dalam jaman globalisasi ini prosa sudah tidak
sperti puisi yang masih bergelut dengan kelisanan. Seperti diungkapkan Sapardi
Djoko Damono “berbeda dengan prosa yang tampaknya semakin memperhitungkan
bermacam-macam aspek keberaksaraan, puisi hanya sekali-kali saja berpegang
teguh paa prinsip-prinsip tradisi cetak, seperti misalnya yang terjadi pada
suatu aspek perkembangan puisi konkret”. Sejak dulu dongeng disampaikan dari
mulut ke mulut, dari ibu ke anaknya menjelang tidur, dari tukang cerita yang
menjual ceritanya untuk mendapatkan sesuatu untuk bisa memperpanjang nafas
hidupnya. Kenikmatan sebuah dongeng akan lebih dirasakan manakala dilisankan
daripada membacanya dalam cetakan-cetakan di buku atau majalah. Kelemahan
kelisanan adalah ia tidak dapat didokumentasikan layaknya buku dan selalu
memerlukan bantuan orang lain. Proses mendengar dan menceritakan selalu terjadi
antara du pihak, inilah yang merepotkan. Di satu sisi bagi yang punya waktu
luang tak ada masalah namun bagi yang diburu waktu, ia memerlukan suatu wahana
yang lebih efektif. Semakin memperkecil prosentase salilng membantu dan
ketegantungan adalah salah satu ciri individualistik.
Dekade
terakhir ini kita telah memasuki millenium ketiga. Pergerakan waktu di jagat
raya tidaklah terperhatikan seksama, manusia tidak melihat dan juga tidak
merasakannya. Manusia hanya mengetahuinya lewat jejak-jejak yang ditinggalkan
perputaran waktu. Peristiwa-peristiwa, perubahan objeklah, tanda-tanda yang
dapat dilihat manusia. Perubahan millenium telah mendorong modernisasi dan
pembangunan, keduanya memang berkembang secara naterial dan struktural. Akan
tetapi modernisasi dan pembangunan itu sebaliknya telah menyebabkan kita
kehilangan realitas-realitas masa lalu dan kearifan-kearifan masa lampau yang
ada di baliknya, yang justru lebih berharga bagi pembangunan diri kita sebagai
manusia, sperti: rasa kedalaman, rasa kebersamaan, rasa keindahan, semangat
spiritualitas, semangat moralitas dan semangat komunitas. Apa yang dihasilkan
kebudayaan manusia di masa lampau telah berganti dengan budaya baru yang lebih
menonjolkan aspek materialitas. Dongeng sebagai produk rasional masyarakat masa
lampau untuk menerangkan gejala-gejala alam yang terjadi dirasakan tidaklah
sesuai lagi dengan tingkat rasionalitas masyarakat sekarang. Dongeng sebagai
karya sastra, imajinasi ataupunpengajaran nilai-nilai keutamaan tampaknya telah
dianggap hilang fungsinya. Manusia masuk kedalam dunia halusinasi dan ilusi
yang lain seperti cyberspace, virtual reality, konsumerisme dan
lain-lain. Padahal “ ketika diri kita tak lebih dari sebuah topeng, sebuah make-up,
sebuah halusinasi, sebuah ilusi maka lenyaplah apa yang selama ini dianggap
identitas diri”. “Menjadi suatu topeng kolektif yang menyembunyikan
kekosonganbatin”, kata Bakker. Dengan polarisasi yag terlalu menekankan pada
salah satu bagian unsur---dalam hal ini materi---kepribadian akan tetap tumbuh,
nmaun secara ekstrim pula, secara liar (tidak diharmonikan dalam bentuk), pada
suatu waktu bangsa itu akan menjadi retak. Sejarah kelompok tersebut akan putus
dan kebudayaannya hancur pula.
Namun
dongeng senantiasa tidak pernah hilang. Dongeng masih hidup dalam
perubahan-perubahan. Dalam term “survival of the fittest” Darwin,
dongeng masih bisa bertahan dalam evolusi kebudayaan. Mengapa bisa sampai
demikian? Ataukah mengapa sebuah peristiwa, penggalan-penggalan sejarah, dan
juga khayalan sebagai sebuah hasil imajinasi pikiran yang melarikan diri dari
kenyataan hidup yang tak sanggup mengejar impian-impian, harus didongengkan?
Karena sebuah peristiwa adalah milik kesementaraan. “Kekinian” yang dihadapi
manusia hanya berlangsung sesaat. Pengenangan atau perencanaan sebuah peristiwa
bukan lagi “kini”. Ia sudah berubah menjadimasa lampau yang hanya dapat
dikenang atau menjadi masa depan yang harus direncanakan. Yang langgeng, yang
akan terus berlangsung, adalah ingatan, kenangan kemudian tanggapan,
interpretasi, proses pemaknaan, terhadap peristiwa. Namun karena volume otak
manusia terbatas sehingga ingatan manusia bukan saja pendek melainkan juga
rapuh. Maka diperlukan dongeng. Dan itu hanya mungkin jika ada tukang cerita
yang menciptakan kembali dan mengisahkannya---mengisahkan peristiwa maupun
rangkaiannya sebagai bagian dari kebudayaan yang telah dibangun umat manusia.
Sebuah dongeng adalah peristiwa yang tidak lagi ditinggal hanya sebatas sebagai
fakta, tetapi dihayati dan kemudian diciptakan kembali.
Peranan
tukang cerita yang telah melestarikan dongeng kini telah diperkecil dengan
ditemukannya alat cetak. Dongeng ditulis dan didokumentasikan dalam buku-buku,
majalah singkatnya dongeng dihidupi oleh tradisi cetak. Dengan keberaksaraan,
dongeng mengalami perubahan besar. Ia menjadi dari pengetahuan dan teknologi
yang memberikan pencerahan bagi kemajuan. Pencerahan selalu ditujukan untuk
membebaskan manusia dari rasa takut. Kemampuan rasional memberikan kekuasaan
pada manusia untuk membangun alam. Namun kapitalisme telah memberikan
‘pencerahan palsu’, masyarakat dibebaskan dari penjara mitos, legenda, tradisi,
kanoan yang telah mengungkung manusia di masa lalu, dan dimasukkan ke dalam
penjara sebenarnya yaitu ‘komoditi’ dengan segala karakteristik
instrumental-nya. Kapitalisme menguasai komoditi dan mengkomodifikasi seluruh
aspek kehidupan---termasuk kebudayaan dan seni. Individu adalah dinilai rendah
dalam secara keseluruhan dalam hubungannya dengah kekuatan-kekuatan ekonomi,
yang pada waktu yang sama menekankan pengawasan terhadap alam hingga sekarang
pada tingkatyang tak diharapkan. Segala bentuk hasil rroduksi dan reproduksi
dijadikan komoditi, untuk dipasarkan dengan tujuan untuk mencari keuntungan.
Komoditi diproduksi untuk pemakai, akan tetapi pemakai, yang dimaksud adalah
pemakai yang telah dirasionalisasikan dalam sistem ekonomi. Produksi bukan
untuk memenuhi kebutuhan pemakai, namun kebutuhan diciptakan oleh produksi.
Kapitalisme tidaklah dapat dipisahkan dari
globalisai. Keduanya seakan seiring sejalan. Kemajuan sains dan teknologi yang
memunculkan globalisasi bagaikan pedang bermata dua. Bersamaan dengan kemajuan
ekonomi serta meningkatnya kemakmuran, kita melihat tanda-tanda lenyapnya
kedalaman (deepness) didalam kehidupan masyarakat kontemporer. Banjir
informasi yang terperinci dan hiburan candy-floss secara sekaligus
memerintah dan melemahkan kemanusiaan. Namun semua itu masihkah donegeng
merupakan merupakn usaha rasional manusia menjelaskan gejala dan gejolak
perubahan zaman?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar