Membangun Budaya membaca, menulis Kader IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH BIMA

Jumat, 04 Desember 2015

Antara Dongeng Dan Mitos

Antara Dongeng Dan Mitos

Penulis: Muh. Alifuddin


Dalam pembabakan kesusatraan, dongeng terbagi dalam legenda, cerita yang sama sekali tak masuk akal; sage, cerita yang terkait unsur sejarah;mitos, cerita yang mungkin terjadi;fabel, cerita yang berkisah tentang dunia binatang;dan hikayat, cerita yang berkisah tentang kepahlawanan. Jadi dalam hal ini mitos adalah bagian dari dongeng. Sebuah dongeng bisa berbentuk mitos ataupun yang lainnya.
Mitos sendiri berasal dari bahasa Yunani muthos, yang secara harfiah diartikan sebagai cerita atau sesuatu yang dikatakan seseorang; dalam pengertian yang lebih luas bisa berarti pernyataan, sebuah cerita atau alur drama. Mitos dalam bahasa inggris menunjuk pada mythology yang berarti studi tentang isi mitos maupun bagian-bagiannya. Sebuah buku yang berjudul Sex, Culture, and Myth hasil tulisan B. Malinowski, membedakan pengertian antara dongeng, legenda dan mitos. Menurut dia, legenda lebih sebagai cerita yang diyakini seolah-olah merupakan kenyataan sejarah, meskipun sang pencerita menggunakannya untuk mendukung kepercayaan-kepercayaan dari komunitasnya. Berkebalikan dengannya, dongeng mengisahkan peristiwa-peristiwa ajaib tanpa dikaitkan dengan suatu ritus tertentu. Dongeng dianggap sebagai sesuatu yang tak pernah benar-benar terjadi. Ia ada karena diadakan dalam pengertian lebih lanjut, hanyalah hasil khayalan dan imajinasi pelarian dari fakta. Atu bisa juga diartikan sebagai, seperti kata Freud, hanyalah suatu puncak dari ketidaksadaran keinginan manusia yang tak pernah terwujudkan. Ia hanya terkait dengan hiburan. Sedangkan mitos merupakan “pernyataan atas suatu kebenaran lebih tinggi dan lebih penting tentang realitas asali, yang masih dimengerti sebagai pola dan fondasi dari kehidupan primitif”.

Dalam Kamus Filsafat karya Lorens Bagus, mythos adalah mite, mitos, fabel, hikayat, legenda, percakapan, ucapan, dan pembicaraan dari zaman purbakala, dalam arti aslinya. E.B. Taylor menjelaskan mitos sebagai produk kekacauan atau kebingungan manusia yang mencampuradukkan begitu saja pengalaman mimpi dan bangunnya. Kebanyakan dari para filsuf berbeda pendapat tentang mitos. Sebagian terbesar dari mereka mempunyai definisi sendiri-sendiri untuk mitos. Tetapi dua yang paling bertolak belakang yaitu Vico yang menganggap mitos sebagai instrumen yang memungkinkan sejarah manusia, sebagaimana hadir dalam adat-istiadat kelompok-kelompok kemasyarakatannya, dipertahankan; dan Schelling yang menyatakan bahwa sejarah suatu bangsa ditentukan oleh mitologinya. Hal ini terkait erat dengan pendapatnya dengan peran mitos dalam mempertahankan potensi-potensi kreatif murni dari para anggota kelompok kemasyarakatan yang memberinya bentuk. Usaha ini kemudian diteruskan oleh Ernst Cassirer, ia menghidupkan kembali pandangan Schelling tentang autensitas mitos sambil memusatkan perhatian pada makna kritis bahasa. Pada tahap berpikir mitis, kata dan realitas diidentikkan, sehingga daya naratif dan daya alam identik. Sedangkan Levi Strauss membangkitkan lagi pernyataan Giambattista Vico bahwa mitos menggambarkan adat istiadat kelompok-kelompok sosial. Ia melakukan pendekatandnean prespektif antropologi, instrumen yang lebih maju daripada yang digunakan Vico. Dengan analisisnya itu, ia menemukan peranan mitos dalam mempertahankan dan mempersatukan realitas sosial melawan pertentangan-pertentangan sosial yang dapat diperdamaikan dalam cerita mitis. Masyarakat masa lampau memiliki ‘kebijakan puitis’ (sapienza poetica), dimana mereka menyatakan cara pandangnya terhadap dunia lewat berbagai bentuk metafisik, metafora, simbol dan mitos-mitos.
Yang sangat berpengaruh atas kehidupan dan kebudayaan bangsa adalah mitos yang dianggap pandangan hidup atau weltanschauung yang intuitif, imajiner, yang lazim dipersonifikasikan. Mitos dapat juga dikatakan cerita yang asal-usulnya sudah dilupakan. Penafsiran modern yang simpatik tentang mitos-mitos tidak menganggapnya benar atau salah, melainkan sebagai sebuah pemahaman tentang realitas. Ia diakui tidak banyak membantu dalam menjelaskan kenyataan tetapi membantu untuk menguasai kenyataan secara rohani dan untuk membangun hubungan yang hidup dengan kenyataan. Cara-cara yang ditempuhnya tidaklah rasional namun dengan tujuan dan maksud-maksud rasional. Poetics, karaya Aristoteles menggunakan istilah mitos untuk mengacu pada alur, struktur naratif, cerita yangdikontraskandnegna wacana dialektis, eksposisi. Sekarang ini ia menjadi istilah yang penting dalam kritik modern, dan biasa dilawankan dengan filsafat dan ilmu pengetahuan. Mitos memiliki “wilayah makna” yang cukup luas.

Puing-puing dongeng dalam globalisasi
Dari sejumlah lama kita, mantra pantun dan dongeng adalah yang paling sering dihidupi oleh tradisi lisan. Dalam jaman globalisasi ini prosa sudah tidak sperti puisi yang masih bergelut dengan kelisanan. Seperti diungkapkan Sapardi Djoko Damono “berbeda dengan prosa yang tampaknya semakin memperhitungkan bermacam-macam aspek keberaksaraan, puisi hanya sekali-kali saja berpegang teguh paa prinsip-prinsip tradisi cetak, seperti misalnya yang terjadi pada suatu aspek perkembangan puisi konkret”. Sejak dulu dongeng disampaikan dari mulut ke mulut, dari ibu ke anaknya menjelang tidur, dari tukang cerita yang menjual ceritanya untuk mendapatkan sesuatu untuk bisa memperpanjang nafas hidupnya. Kenikmatan sebuah dongeng akan lebih dirasakan manakala dilisankan daripada membacanya dalam cetakan-cetakan di buku atau majalah. Kelemahan kelisanan adalah ia tidak dapat didokumentasikan layaknya buku dan selalu memerlukan bantuan orang lain. Proses mendengar dan menceritakan selalu terjadi antara du pihak, inilah yang merepotkan. Di satu sisi bagi yang punya waktu luang tak ada masalah namun bagi yang diburu waktu, ia memerlukan suatu wahana yang lebih efektif. Semakin memperkecil prosentase salilng membantu dan ketegantungan adalah salah satu ciri individualistik.
Dekade terakhir ini kita telah memasuki millenium ketiga. Pergerakan waktu di jagat raya tidaklah terperhatikan seksama, manusia tidak melihat dan juga tidak merasakannya. Manusia hanya mengetahuinya lewat jejak-jejak yang ditinggalkan perputaran waktu. Peristiwa-peristiwa, perubahan objeklah, tanda-tanda yang dapat dilihat manusia. Perubahan millenium telah mendorong modernisasi dan pembangunan, keduanya memang berkembang secara naterial dan struktural. Akan tetapi modernisasi dan pembangunan itu sebaliknya telah menyebabkan kita kehilangan realitas-realitas masa lalu dan kearifan-kearifan masa lampau yang ada di baliknya, yang justru lebih berharga bagi pembangunan diri kita sebagai manusia, sperti: rasa kedalaman, rasa kebersamaan, rasa keindahan, semangat spiritualitas, semangat moralitas dan semangat komunitas. Apa yang dihasilkan kebudayaan manusia di masa lampau telah berganti dengan budaya baru yang lebih menonjolkan aspek materialitas. Dongeng sebagai produk rasional masyarakat masa lampau untuk menerangkan gejala-gejala alam yang terjadi dirasakan tidaklah sesuai lagi dengan tingkat rasionalitas masyarakat sekarang. Dongeng sebagai karya sastra, imajinasi ataupunpengajaran nilai-nilai keutamaan tampaknya telah dianggap hilang fungsinya. Manusia masuk kedalam dunia halusinasi dan ilusi yang lain seperti cyberspace, virtual reality, konsumerisme dan lain-lain. Padahal “ ketika diri kita tak lebih dari sebuah topeng, sebuah make-up, sebuah halusinasi, sebuah ilusi maka lenyaplah apa yang selama ini dianggap identitas diri”. “Menjadi suatu topeng kolektif yang menyembunyikan kekosonganbatin”, kata Bakker. Dengan polarisasi yag terlalu menekankan pada salah satu bagian unsur---dalam hal ini materi---kepribadian akan tetap tumbuh, nmaun secara ekstrim pula, secara liar (tidak diharmonikan dalam bentuk), pada suatu waktu bangsa itu akan menjadi retak. Sejarah kelompok tersebut akan putus dan kebudayaannya hancur pula.
Namun dongeng senantiasa tidak pernah hilang. Dongeng masih hidup dalam perubahan-perubahan. Dalam term “survival of the fittest” Darwin, dongeng masih bisa bertahan dalam evolusi kebudayaan. Mengapa bisa sampai demikian? Ataukah mengapa sebuah peristiwa, penggalan-penggalan sejarah, dan juga khayalan sebagai sebuah hasil imajinasi pikiran yang melarikan diri dari kenyataan hidup yang tak sanggup mengejar impian-impian, harus didongengkan? Karena sebuah peristiwa adalah milik kesementaraan. “Kekinian” yang dihadapi manusia hanya berlangsung sesaat. Pengenangan atau perencanaan sebuah peristiwa bukan lagi “kini”. Ia sudah berubah menjadimasa lampau yang hanya dapat dikenang atau menjadi masa depan yang harus direncanakan. Yang langgeng, yang akan terus berlangsung, adalah ingatan, kenangan kemudian tanggapan, interpretasi, proses pemaknaan, terhadap peristiwa. Namun karena volume otak manusia terbatas sehingga ingatan manusia bukan saja pendek melainkan juga rapuh. Maka diperlukan dongeng. Dan itu hanya mungkin jika ada tukang cerita yang menciptakan kembali dan mengisahkannya---mengisahkan peristiwa maupun rangkaiannya sebagai bagian dari kebudayaan yang telah dibangun umat manusia. Sebuah dongeng adalah peristiwa yang tidak lagi ditinggal hanya sebatas sebagai fakta, tetapi dihayati dan kemudian diciptakan kembali.
Peranan tukang cerita yang telah melestarikan dongeng kini telah diperkecil dengan ditemukannya alat cetak. Dongeng ditulis dan didokumentasikan dalam buku-buku, majalah singkatnya dongeng dihidupi oleh tradisi cetak. Dengan keberaksaraan, dongeng mengalami perubahan besar. Ia menjadi dari pengetahuan dan teknologi yang memberikan pencerahan bagi kemajuan. Pencerahan selalu ditujukan untuk membebaskan manusia dari rasa takut. Kemampuan rasional memberikan kekuasaan pada manusia untuk membangun alam. Namun kapitalisme telah memberikan ‘pencerahan palsu’, masyarakat dibebaskan dari penjara mitos, legenda, tradisi, kanoan yang telah mengungkung manusia di masa lalu, dan dimasukkan ke dalam penjara sebenarnya yaitu ‘komoditi’ dengan segala karakteristik instrumental-nya. Kapitalisme menguasai komoditi dan mengkomodifikasi seluruh aspek kehidupan---termasuk kebudayaan dan seni. Individu adalah dinilai rendah dalam secara keseluruhan dalam hubungannya dengah kekuatan-kekuatan ekonomi, yang pada waktu yang sama menekankan pengawasan terhadap alam hingga sekarang pada tingkatyang tak diharapkan. Segala bentuk hasil rroduksi dan reproduksi dijadikan komoditi, untuk dipasarkan dengan tujuan untuk mencari keuntungan. Komoditi diproduksi untuk pemakai, akan tetapi pemakai, yang dimaksud adalah pemakai yang telah dirasionalisasikan dalam sistem ekonomi. Produksi bukan untuk memenuhi kebutuhan pemakai, namun kebutuhan diciptakan oleh produksi.
Kapitalisme tidaklah dapat dipisahkan dari globalisai. Keduanya seakan seiring sejalan. Kemajuan sains dan teknologi yang memunculkan globalisasi bagaikan pedang bermata dua. Bersamaan dengan kemajuan ekonomi serta meningkatnya kemakmuran, kita melihat tanda-tanda lenyapnya kedalaman (deepness) didalam kehidupan masyarakat kontemporer. Banjir informasi yang terperinci dan hiburan candy-floss secara sekaligus memerintah dan melemahkan kemanusiaan. Namun semua itu masihkah donegeng merupakan merupakn usaha rasional manusia menjelaskan gejala dan gejolak perubahan zaman?

Tidak ada komentar: