Kegelisahan
dan Makna
Keberadaan Kita

Penulis: Muhammad
Alifuddin
Hidup yang tak pernah dipertanyakan adalah hidup yang sia-sia’. Minggu
lalu kita tahu ini pernyataan Socrates. Tapi saya pikir-pikir lagi. Ternyata
mempertanyakan hidup kita sama saja dengan mengotak-atik tempat kita berada di
dunia ini. Pertanyaan yang biasanya muncul tentang hidup misalnya “dari mana
kita berasal dan hendak ke mana kita berada?”, lalu disambung “untuk apa kita
hidup?”, atau “apa sih makna hidup kita?”. Ini bukan pertanyaan sepele.
Sepanjang sejarah, para filsuf berpusing-pusing ria berusaha menjawabnya; atau
paling tidak mencoba menemukan kunci-kunci pembuka gudang jawaban. Bagi
sebagian besar orang, pertanyaan seperti ini remeh-temeh belaka. Ini hanya
pertanyaan tolol orang iseng yang tak punya kerjaan. Buat apa susah payah
menjawab sendiri. Kita bisa copy-paste jawaban itu dari orang-orang bijak,
nabi, ulama, pastor, atau para fasilitator yang pandai bicara. Tetapi
persoalannya sesekali kita pasti menjadi orang yang tak punya kerjaan.
Rutinitas keseharian memang seperti Bulan Ramadhan terhadap Setan yang
membelenggu pertanyaan-pertanyaan eksistensial atau pertanyaan-pertanyaan yang
menggugat arti hidup kita atau bahkan diri kita sendiri. Dalam perjalanan
hidup, kita tidak jarang menemukan diri kita termenung dalam sunyi dan terpaksa
membaca pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang berseliweran. Terutama ketika
suasana hati tergugah oleh peristiwa yang mengguncang. Guncangan hidup yang
kita alami hampir selalu memutus belenggu yang mengikat pertanyaan
eksistensial. Mau tidak mau kita dihadapkan pada pertanyaan tersebut.
Pertanyaan-pertanyaan eksistensial juga biasanya menimbulkan guncangan. Seperti
membuka Kotak Pandora, ketika satu pertanyaan coba di tanggapi, maka akan mengalirlah
beribu pertanyaan turunannya. Manusia tidak akan sanggup hidup bila
terus-menerus menanyakan keberadaannya. Inilah yang oleh psikolog dinamai
sebagai krisis hidup. Dalam krisis inilah bisa terjadi perubahan-perubahan
radikal dalam diri kita. Perubahan itu bisa bermacam bentuknya. Tetapi yang
penting adalah ‘Apa yang harus kita lakukan? Apa yang harus kita jawab?
Bagaimana menjawabnya?‘
Banyak cara menanggapi pertanyaan eksistensial yang muncul. Kita bisa
mengajak teman-teman ke Dago 34 membeli bir pilsener yang “Best served with
friends” lalu curhat dan ngobrol ngalor-ngidul. Bisa juga ke Kubus surfing
Internet atau main game RTS yang butuh waktu lama. Kalau ada waktu dan pakaian
bagus, kita bisa ke Aa Gym tiap Jumat. Atau bagi yang punya duit datang saja ke
psikolog untuk berkonsultasi. Bagi yang tidak punya duit cukup bangun malam dan
tahajud berdoa kepada Allah; ke altar gereja dan doa rosario minta pertolongan
Bunda Maria. Selain ke Kubus dan main game RTS, teman, Aa Gym, psikolog, atau
Kekuatan Ilahiah pasti bisa menjawab; atau paling tidak, membuat kita tentram
kembali. Mereka melerai pertarungan dalam diri antara kita dengan
pertanyaan-pertanyaan di seputar hidup. Bagi mereka yang tidak percaya teman,
Aa Gym, psikolog, atau Kekuatan Ilahiah, ada beberapa pilihan: gila, bunuh
diri, atau menantang pertanyaan tersebut, menjawabnya, dan menjadi diri
sendiri. Oleh karena itu, manusia yang paling patut dikasihani di seluruh dunia
dan akhirat adalah orang yang tidak percaya pada Tuhan. Mereka tidak punya
tempat curhat ketika tidak ada siapa-siapa yang bisa diajak curhat.
Dari mana munculnya pertanyaan-pertanyaan eksistensial? Dari kenyataan
kita sebagai manusia. Cara berada kita di dunia berbeda dengan cara berada
benda. Kutu kucing, kucing di depan warteg, showroom sepeda motor di depan itu,
kampus Unpad, Pulau Jawa, negara Indonesia, Bumi, rangkaian planet-planet,
galaksi, dan alam semseta; semua ini adalah Pengada-pengada. Tulisan ini, saya,
dan anda yang membacanya juga pengada. Tetapi Pengada berbeda dengan Ada. Ada
bukanlah kumpulan atau jumlah pengada-pengada. Tetapi Ada menopang
Pengada-pengada. Tidak semua pengada bisa menanyakan Ada-nya. Jean-Paul Sartre
(1905-1980), filsuf Prancis paling tersohor setelah Renatus Cartesius
(1596-1650), membedakan cara berada manusia dengan cara berada bukan-manusia.
Manusia berada-untuk-dirinya (étre-pour-soi); sedangkan benda
berada-dalam-dirinya (étre-en-soi). Manusia adalah Pengada yang bisa menanyakan
Ada-nya. (Saya mohon maaf kepada peserta Belajar Filsafat karena mulai dari
paragraf ini kita terpaksa memulai pendakian tanjakan curam konsep-konsep
filosofis yang njlimet).
Kucing, motor, buku, atau buah duku tidak pernah mempersoalkan Ada
mereka. Mereka sekadar menjalani hidup. Kucing mondar-mandir di depan warteg,
atau motor terparkir di depan toko. Sudah cukup. Ini berbeda dengan kita,
manusia yang bisa bergumul dengan dirinya sendiri dan bertanya, mengapa ‘ada’.
Kucing kudisan itu ‘ada’ begitu saja dan mungkin tidak pernah mengambil jarak
terhadap ‘ada’-nya, karenanya dia tidak pernah menanyakan ‘ada’-nya. Yang bisa
melakukan itu hanya Pengada yang bernama manusia. Kita adalah pengada yang
ada-dalam-dunia. Keberadaan kita dalam-dunia bersifat ujug-ujug. Dasar
keberadaan biologis kita mungkin adalah dilahirkan ibu di suatu tempat. Tetapi
dasar asali atau dasar keberadaan ontologis kita adalah bahwa kita
‘ada-begitu-saja-di-dunia’, tanpa tahu dari mana dan mau ke mana. Itulah yang
oleh Martin Heidegger (1889-1976) disebut dengan faktisitas atau kenyataan keberadaan
kita sebagai pengada. Kita tidak pernah bisa memilih untuk hidup atau tidak
hidup di dunia ini. Kita juga tidak bisa memperhitungkan akan lahir di rahim
siapa, kapan, dan di mana. Kita juga tidak diberitahu harus bergerak ke mana.
Kita tiba-tiba sadar sudah berada-dalam-dunia. Heidegger menyebutnya sebagai
keterlemparan. Pengada-pengada yang lain juga ‘ada-begitu-saja’, tetapi tidak
mempersoalkannya karena tidak mempunyai jarak dengan ‘ada’nya. Jarak itu ada
karena kesadaran kita yang bersifat, dalam istilah fenomenologi Husserl,
intensional. Maksudnya saya sadar bahwa saya adalah ‘saya’ karena saya sadar
ada yang ‘bukan-saya’. Pantulan-pantulan dari sesuatu ‘yang-lain’ itulah yang
membuat kita sadar bahwa kita ada.
Kesadaran manusia atas faktisitasnya yang ‘ada-begitu-saja’ inilah yang
memunculkan ‘kesunyian purba’ dalam kehidupan manusia. Kesunyian ini menodorng
manusia ‘membunyikan’-nya. Manusia menciptakan ilmu pengetahuan, agama,
kebudayaan, untuk membunyikan kesunyian yang disandang keberadaannya. Søren
Kierkegaard (1813-1855), bapak eksistensialis dari Denmark, menyatakan bahwa
peradaban merupakan hasil kegelisahan manusia membunyikan kesunyian. Dalam
kehidupan pribadi, identitas-identitas pribadi seperti nama, alamat, agama,
kebangsaan, kegemaran, sikap-sikap hidup dan karakter, gaya rambut dan pakaian,
dan segala atribut yang ‘mencirikan’ gue banget, merupakan upaya kita
membunyikan kesunyian yang menggelayuti keberadaan kita dalam-dunia. Semua
atribut itu kita ciptakan. Manusia menciptakan esensinya sendiri. Oleh karena
itu, diktum filsafat Sartre yang paling terkenal adalah “eksistensi mendahului
esensi”. Tidak ada kodrat, tidak ada suratan takdir, tidak ada tangan Tuhan
dalam esensi kita. Manusia dihukum untuk bebas dan dihadapkan pada kemungkinan-kemungkinan.
Kita adalah pengada yang belum selesai atau terus-menerus ‘mengada’. Seiring
waktu kita menambah, membuang, atau mereparasi identitas-identitas yang
membentuk ‘diri’ kita.
Jadi pertanyaan-pertanyaan eksistensial muncul ketika manusia berhubungan
dengan ‘ada’nya. Pertanyaan ini tidak muncul secara rutin seperti UAS. Orang
pun tidak akan sanggup hidup bila mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini setiap
waktu. Tapi untung sekali karena kita lebih sering lupa daripada mengingat
‘ada’ atau bergumul dengan ‘ada’. Kelupaan itu karena dalam keseharian, kita
lebih sering berhubungan dengan pengada-pengada yang lain. Saya kendarai motor
dari Bandung ke Jatinangor dan sebaliknya, bertemu teman, ngobrol dengan tukang
lotek, baca Kobo Chan atau Kariege Kun, nonton Exorcism, ngutang ke saudara,
menulis, main game RTS, dan sebagainya. Hubungan praktis saya dengan
pengada-pengada lain itu membuat saya tenggelam dalam rutinitas keseharian dan
melupakan ‘ada’. Kita menganggap bahwa segala sesuatunya, termasuk diri kita,
sudah seharusnya begitu adanya dan tidak perlu dipertanyakan lagi. Ada nilai
yang melekat dalam segala hal, termasuk hidup yang dijalani. Tetapi, dalam
keseharian adakalanya orang terputus dari rutinitas itu, misalnya ketika harus
mengambil keputusan penting; apalagi untuk masalah yang pilihannya sama-sama
baik atau sama-sama buruk. Atau bisa juga muncul ketika bencana menimpa kita,
entah bencana pribadi seperti ditinggal kawin oleh pacar tercinta atau bencana
kolektif seperti Tsunami. Pada saat itulah kita berhubungan dengan ‘ada’ kita,
yakni mempertanyakan ‘ada’ kita dan ‘ada’ hidup kita. Adakah nilai di balik
(atau di atas, di samping, di belakang, di bawah, terserah anda mau
menempatkannya) segala yang ada; adakah nilai keberadaan kita di dunia ini?
Benarkah hidup itu baik, indah, dan anugrah; ataukah ia buruk, jelek, dan
bencana; atau justru hidup itu tidak baik dan tidak buruk; hidup itu absurd,
tanpa nilai. Suwung. Tidak ada apapun di balik segala ada.
Pertanyaan-pertanyaan itu mungkin muncul sekelebat dalam waktu
sepersekian detik ketika kegundahan menimpa kita. Sebagian dari kita akan
mengabaikannya; melupakannya dengan menyetel lagu Dewa 19 atau Peter Pan yang
easy-listening itu. Ada yang segera mengucap astaghfirullah karena
menganggapnya sebagai bisikan Iblis yang Terkutuk. Adapula yang menanggapinya
sebagai anugrah dari ‘ada’. Hanya segelintir orang saja di dunia ini yang
berani menantang kehadiran ‘ada’. Mereka begitu girang bertemu ‘ada’. Namun,
karena perjumpaan dengan ‘ada’ selalu menggelisahkan karena akan menggugat
segala pemahaman mapan yang selama ini dipercayai, maka orang-orang yang gemar
berjumpa dan mempertanyakan ‘ada’ biasanya adalah orang-orang gelisah. Sejarah
menunjukkan bahwa para nabi, rasul, budha, atau filsuf adalah manusia-manusia
gelisah pendobrak tradisi. Mereka adalah orang-orang yang berani tampil beda
secara radikal. Mereka juga pada awalnya selalu menjadi musuh masyarakat karena
hasil pergulatan dengan ‘ada’nya diajarkan kepada masyarakat. Biasanya, jawaban
hasil perjumpaan dengan ‘ada’ tidak sejalan dengan pemahaman yang mapan berlaku
dalam masyarakatnya tentang hidup, manusia, dan dasar segala sesuatu.
Begitu jarang ‘ada’ hadir di hadapan kita untuk dibaca, direnungkan, dan
digeluti. Seperti hantu, ‘ada’ kita hindari. Kita lebih suka mempercayai ‘ada’
kita dan juga ‘ada’ dari segala pengada yang berhubungan dengan hidup kita
seperti yang diajarkan oleh sumber-sumber jawaban yang sudah mapan. Sumber
jawaban mapan seperti ajaran agama, teori ilmu pengetahuan, otoritas orang tua
dan sesepuh keluarga, pacar yang bijaksana, teman yang arif, menyediakan
jawaban siap saji yang bisa dicopy-paste. Tetapi kita menghidupi hidup kita
sendiri. Apakah psikolog lulusan Harvard mampu menyelam ke dalam pengalaman
eksistensial kita? Mampukah Aa Gym memahami peristiwa yang kita alami karena
kita menghidupi hidup yang unik? Adakah orang yang benar-benar mengalami
peristiwa yang kita alami sehingga bisa memberikan jawaban atas persoalan hidup
kita sendiri? Mungkin mereka mengetahui secara teoritis tentang keadaan lain
yang mirip. Mereka bisa tahu dengan mempelajarinya dari buku teks atau
pengalaman orang lain semirip yang kita alami. Tetapi mereka tidak akan mampu
mengalami yang kita alami; yang benar-benar kita alami. Karena mereka bukanlah
kita. Jika begitu, relakah kita percayakan jawaban atas persoalan hidup kita
pada orang lain yang tidak benar-benar menggeluti hidup kita? Maukah kita
serahkan jawaban atas persoalan hidup pada orang yang tidak mengalami
pengalaman kita yang unik? Bila ya, maka kita akan memperoleh jawaban instan,
lalu ketentraman dan hidup nyaman akan berlanjut. Bila tidak, dan memilih untuk
menjawab sendiri persoalan itu, maka kita akan berjumpa dengan ‘ada’ kita,
mempertanyakannya, dan menjawab tantangannya. Sulit. Sangat sulit. Sekali lagi
kita diingatkan oleh Jean-Paul Sartre bahwa kita “dihukum untuk bebas”.
Sanggupkah kita tanggung hukuman itu; ataukah kita gadaikan kebebasan kita
untuk sekadar memperoleh kenyamanan dalam hidup yang sesingkat ini?
Berjumpa dan ngobrol dengan ‘ada’ sudah merupakan pengalaman yang
menggelisahkan sehingga sebagian besar dari kita melarikan diri darinya. Masih
untung kalau kita, sebagai hasil perjumpaan itu, menemukan bahwa hidup
mempunyai makna, entah itu baik ataupun buruk. Bagaimana kalau perjumpaan itu
akhirnya membawa kita pada penemuan bahwa di balik segala ‘ada’ dalam hidup
kita, termasuk diri kita sendiri, ternyata tidak mempunyai makna apapun alias
absurd bin nihil. Celaka. Ternyata, sesuatu yang selama ini kita anggap punya makna,
ternyata tidak. Celaka dua belas. Benar-benar celaka bila kita menemukan bahwa
dasar kehidupan kita ternyata bukan suratan tangan tuhan, bukan hasil “pengaruh
putih telur terhadap ketajaman gelasan”, dan bukan pula hasil kekuatan alamiah
yang bekerja secara mekanik. Ternyata kehidupan hanyalah permainan; semacam
guyonan tanpa sebab dan tujuan. Saya biasa menyandarkan segala sesuatu pada
Yang Di Atas. Saya bisa bilang bahwa penderitaan yang saya alami adalah suratan
takdir; sebuah cobaan yang pasti ada hikmahnya; atau sebuah teguran atau azab
atas perbuatan jahat saya. Orang yang pede akan amal salehnya bisa bilang soal
cobaan atau teguran. Orang yang tidak pede akan amal ibadahnya, seperti saya
misalnya, bisa bilang bahwa penderitaan itu adalah azab; buah dari perbuatan
yang buruk. Kita masih bisa menerima penderitaan yang kita alami bila ada
jawaban atas penderitaan itu, entah itu cobaan, teguran, atau azab dari Yang
Mahakuasa. Paling-paling kita mengeluh: “mengapa Engkau timpakan penderitaan
seberat ini padaku?” Sekali lagi, ini masih untung karena ada jawaban. Tapi
bila ternyata tidak ada apa-apa di balik penderitaan itu, apa yang akan kita
lakukan?
Pilihannya tidak banyak. Pertama, orang bisa menolak kenyataan tersebut.
Dalam kepanikan, penolakan bisa berujung pada menghentikan hidup: bunuh diri.
Itulah yang kerap terjadi pada kasus-kasus bunuh diri di Indonesia. Penderitaan
hidup sepertinya tanpa ujung. Penderitaan panjang itu sepertinya tidak diikuti
oleh hikmah seperti yang diajarkan tokoh-tokoh agama. Lalu buat apa melanjutkan
hidup yang tak berarti ini? Bunuh diri, menurut Albert Camus (1913-1960),
seorang filsuf eksistensialis dari Prancis, adalah “sebuah pengakuan...
pengakuan si pelaku bahwa ia telah terkalahkan oleh kehidupan atau bahwa ia tak
mengerti hidup... pengakuan bahwa hidup sudah tidak layak dijalani”. Bagi Camus
kehidupan adalah milik manusia satu-satunya yang paling berharga di hadapan
yang tanpa-makna alias absurd bin nihil.
Penolakan juga bisa berujung pada mereka-reka keadaan seolah-olah hidup
kita bermakna. Kita tenggelam dalam khayalan yang berseberangan dengan
kenyataan hidup: gila.
Pilihan terakhir adalah menerima kenyataan secara aktif. Memang kehidupan
tanpa makna. Tapi karena kita dihukum untuk bebas, maka kita bisa memaknainya
sendiri. Karena makna kehidupan itu kita yang menciptakan, maka kita juga harus
menanggung segala resiko dan bebannya di pundak kita sendiri. Bila kita sudah
memilih makna bagi hidup kita di dunia ini, maka tidak ada lagi penyandaran
kekeliruan pilihan kepada ‘yang lain’. Baik-buruknya pilihan makna hidup, harus
kita sendiri yang menanggung. Inilah ujian terberat kita sebagai pengada yang
bisa menanyakan ‘ada’nya. Sanggupkah?
Waktu seusia anak kelas 5 SD, saya, seperti sebagian anak kampung
lainnya, pernah menjadi gembala domba. Sepulang sekolah saya menggiring domba
ke padang rumput sementara bapak mengumpulkan rumput. Betapa nyamannya menjadi
domba. Tidak perlu sekolah dan diteror PR setiap hari. Si domba lahir dan
menyusu pada ibunya, lalu setelah beberapa minggu ia belajar mencari makan. Dia
belajar memilih rumput yang enak supaya sehat dan gemuk. Dia belajar
mengunyahnya sesuai tradisi. Ketika sudah ahli mencari rumput dan mengunyahnya,
domba itu belajar juga mencari pasangan kawin dan ‘menikmati’ seks. Mula-mula
ditolak. Tapi lama-lama dapat juga. Domba pun kawin dengan domba betina
pilihannya. Istrinya hamil dan melahirkan anak. Anaknya beranjak remaja dan
sudah bisa mencari makan sendiri. Kini si domba sudah dewasa dan menjelang
ajal, entah dijagal untuk dimakan dagingnya atau mati karena penyakit. Sejak
dijinakkan 10.000 tahun lalu, mungkin hampir semua domba menjalani hidupnya
seperti domba saya. Mereka menjalani hidup seadanya. Hidupnya mengalir;
benar-benar mengalir seperti air sungai Nil dari hulu ke hilir. Tidak pernah
berhenti dan merenung sejenak. Tidak ada “pengalaman”, tidak pula pertanyaan
akan ‘ada’nya. Begitu tentram hidupnya. Begitulah cara domba saya ‘berada’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar