SPIRITUALITAS PADA MILENIUM III
Penulis:
Muhammad Alifuddin
Apa yang menarik ketika disebutkan istilah ruang
spiritualitas? Sebuah istilah yang sering digunakan untuk menunjuk entitas
non-inderawi, immaterial dan berada pada fakultas mental. Spiritualitas sebagai
tradisi memang semakin ramai dipraktekkan dan sebagai wacana sering dibicarakan
orang. Mulai dari praktek–praktek magi (spiritism)
kelas kampung hingga pada gerakan-gerakan spiritual tingkat dunia semacam New Age, spiritualitas seperti mewabah.
Bahkan arti penting spiritualitas ini juga disebut-sebut dalam sebuah buku
laris yang berjudul Megatrends 2000.
Buku lain yang juga menyebut-nyebut spiritualitas ialah karangan Fritjof Capra
yang berjudul: Science, Society, and Rising
Culture (1997). Bahkan Capra — secara tidak langsung — berani
berspekulasi, bahwa spiritualitas akan menjadi inspirasi penting bagi sebuah
proses "titik balik" dalam peradaban baru yang dibayangkannya. Istilah titik balik itu sangat menarik
ketika Capra juga menyebut-nyebut adanya proses holistik dalam memandang
realitas alam semesta (ekologi). Dunia dan isinya tidak hanya dilihat secara
mekanistik menurut model Cartesian atau Newtonian, tetapi juga melibatkan unsur
mistisisme dan pikiran-pikiran yang berasal dari terma agama-agama. Gagasan
Capra itu tentu saja tidak aneh. Sebab sejak ribuan tahun yang lalu, entitas
spiritual sudah dikenal oleh umat manusia dan menjadi sumber kearifan peradaban
di masa lalu.
* * *
Corak pemahaman spiritual dengan mencuplik unsur-unsur
ilmiah secara logis memang cukup disenangi masyarakat. Karena bahasa (simbol)
peradaban kita memang mengharuskan segala sesuatu harus intelligible atau bisa dipahami dengan
akal sehat. Sehingga terma dalam khasanah spiritual itu bisa dikomunikasikan dan
selanjutnya membuka kemungkinan dilakukan verifikasi. Salah satu usaha untuk
mengilmiahkan spiritualitas ialah seperti yang pernah dilakukan oleh almarhum
Dr. Paryono Suryodipuro (seorang direktur rumah sakit di Semarang-Jateng).
Dalam bukunya Alam Pikiran, ia
membuat sketsa matematis mengenai dimensi ke-4. Hal itu tentunya dimaksudkan
agar spiritualitas bukanlah sebuah "ruang" yang untouchable tetapi justru reasonable. Pemahaman spiritual dengan
penjelasan–penjelasan (ilmiah) seperti itu memang lebih dekat dengan budaya
Barat yang rasional. Coba kita bandingkan dengan cara orang Timur dalam memberi
pelajaran mengenai pengetahuan spiritual kepada publik. Khususnya dalam budaya
Jawa sebagai salah satu bentuk budaya yang dikenal lebih kental sebagai perpaduan
antara mistik Hindu dan mistik Islam. Umumnya pengungkapan pengetahuan
spiritual atau mistik itu dilakukan dengan cara sanepan (perumpamaan). Sedangkan cara lain yang lebih
populis ialah dengan menyusun kisah-kisah mistik. Misalnya seperti dalam
kisah-kisah pewayangan.
Seperti yang dilakukan oleh pujangga Jawa terbesar R.
Ng. Ronggowarsito yang juga dikenal sebagai mistikus Jawa. Dalam beberapa
seratnya, ia mengungkap dimensi mistik dengan jalan membuat
perumpamaan-perumpamaan. Misalnya dalam Serat
Wirid Hidayat Jati. Ketika ia mencoba menjelaskan pengalaman
spiritualnya (mistik) tentang manunggaling
kawula-gusti, agar bisa diterima akal pikiran ia mengungkapkan,
bahwa bersatunya Tuhan dan manusia itu ibarat kodok
kinemulan ing lenge (seperti katak berselimutkan liangnya).
Sementara dalam kisah pewayangan, hakekat spiritual diterangkan seperti dalam
lakon yang berjudul: Kresno Gugah.
Dalam kisah itu diceritakan bahwa antara jiwa dan badan mempunyai
"ruang" yang bisa dijangkau, yaitu dengan laku spiritual yang disebut
Ngrogo Sukmo. Jadi, ada perbedaan yang cukup prinsip antara
tradisi Timur dengan metode Barat dalam upaya menjangkau realitas spiritual.
Dalam budaya Jawa, tampak lebih mementingkan laku sebagai proses untuk mencapai
dimensi spiritual. Sementara dalam metode spiritual yang kini marak sebagai
akibat dari kerinduan masyarakat post industri, pemahaman spiritualitas tidak
bisa lepas dari paradigma positivistik yang dipahaminya selama ini. Yakni
gagasan-gagasan positivistik yang rasional-empirik.
* * *
Apa yang dapat kita tangkap dari fenomena ini, yaitu
ketika wacana spiritualitas mengalami variasi dan bercampur-baur dengan
wacana-wacana ilmiah modern? Pertama, sesuai dengan sifat metode ilmiah modern
yang positivistik. Maka ada kecenderungan, setidaknya spiritualitas akan
dipersepsi secara positivistik pula. Akibatnya, spiritualitas akan cenderung
menjadi entitas yang dianggap memiliki sifat-sifat terukur (quantified). Bahkan kadangkala, realitas
yang selama ini tidak pernah didekati secara obyektif itu, kini seperti dipaksa
mengaktual secara reification (concreetism), sehingga spiritualitas
seolah sebuah entitas yang "obyektif". Kedua, sifat "gaib"
sebuah realitas spiritual akan mengalami reduksi, baik pada tataran pemaknaan (language) maupun pada proses reasoning (logic), ketika pemaknaan itu didasarkan pada structur
logika bahasa (structure of language)
yang telah mengalami internalisasi di alam modern. Upaya kuantifikasi terhadap "ruang"
spiritual itu tampak pada beberapa ahli psikologi, Dr. Palmer misalnya. Ia
mencoba mentransformasikan aktifitas mental seseorang yang melakukan
"perjalanan spiritual" ke dalam bahasa simbol yang telah kita kenal.
Misalnya, berapa besaran energi gelombang-gelombang listrik yang memancar dari
tubuh. Padahal, praktek spiritual dalam khasanah budaya Jawa, yang dipentingkan
bukan soal berapa besaran energi yang terukur, tetapi unsur ritualnya yang
sering dipersoalkan. Dalam Bratakesawa
misalnya. Ajaran ilmu keramat itu harus memenuhi syarat-syarat antara lain,
tempat yang suci, tempat yang sunyi dan diutamakan mengambil tempat yang tinggi
(bukit) untuk memulai mengenal kasunyatan
atau realitas spiritual.
Oleh karena itu, perbedaan tafsir atas spiritualitas
menjadi demikian penting untuk dipersoalkan demi peradaban ke depan seperti
yang pernah diramalkan oleh John Naisbitt dan Patricia Aburdene. Sebab
paradigma yang berbeda akan sangat menentukan bagaimana corak kebudayaan
manusia ke depan. Apakah spiritualitas merupakan sebuah proses batiniah manusia
menuju pembentukan insan kamil. Atau justru spiritualitas dipahami sebagai
sebuah materialitas yang "mengada" dengan cara geist. Sementara, dikhawatirkan hal itu
hanyalah sebuah trend spiritual
sekedar untuk berbeda dengan pandangan mekanistis Newton yang dianggap
kuno. Kalaupun ada upaya sungguh-sungguh
untuk merasionalkan realitas spiritual, maka salah satu hal yang akan sangat
tumpang tindih ialah logika bahasa. Sebab apakah kita bisa menangkap adanya
sistem logic yang sama dengan
logika yang diambil "struktur bahasa" yang didasarkan pada pengalaman
spiritual? Sangat boleh jadi untuk memahami sebuah realitas yang selama ini
belum pernah terungkapkan itu membutuhkan pemahaman logika informal (kebalikan
logika formal Aristoteles). Sebab, bisa jadi ruang spiritual yang pernah kita
bayangkan tidak seperti ruang matematis yang kita kenal. Oleh karena itu,
ketika John Naisbitt dan Patricia Aburdene mewartakan "agama no, spiritual
yes", apakah spiritualitas yang mereka pahami sama dengan spiritualitas
yang telah dilakoni dalam budaya Timur selama ribuan tahun?
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar