Membangun Budaya membaca, menulis Kader IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH BIMA

Jumat, 04 Desember 2015

Islam Indonesia dan Kulturalisme
Oleh: Muhammad Alifuddin


Hubungan politik antara Islam dan negara di Indonesia pada sebagian besar babakan sejarahnya merupakan cerita antagonisme dan kecurigaan antara satu dengan yang lainnya. Hubungan yang tidak harmonis ini terutama, tetapi tidak seluruhnya, disebabkan oleh perbedaan pandangan para pendiri republik ini – yang sebagian besarnya muslim – mengenai negara Indonesia merdeka yang dicita-citakan. Salah satu butir terpenting dalam perbedaan pendapat di atas adalah apakah negara ini bercorak “Islam” dan “nasionalis”. Konstruk kenegaraan pertama mengharuskan agar Islam, karena sifatnya ynag holistik dan kenyataan bahwa agama itu dianut oleh sebagian besar penduduk, diakui dan diterima sebagai dasar idiologi negara. Tetapi atas pertimbangan bahwa Indonesia adalah negara yang secara sosial-keagamaan bersifat majemuk, maka – demi persatuan nasional – konstruk kenegaraan kedua menghendaki agar Indonesia didasarkan atas Pancasila, sebuah idiologi yang sudah didekonfessionalisasi.
Pertautan perpolitikan terjadi bergitu panjang, Polemik yang menyangkut berbagai ide dan tujuan ini mewarnai corak perkembangan politik, yang berkirar pada masalah peranan Islam, hubungan antara agama dan negara, corak nasionalisme, serta ideologi yang diperlukan dalam menata suatu negara kebangsaan. Meski demikian, petimbangan tentang makna sebuah idiologi sangat di perlukan untuk suatu kehidupan yang menjembatanai kekuatan-kekuatan Illahiyah dalam membantu mengatur keharmonisan bumi Indonesia. Sejenak menjadikan islam sebagai suatu idiologi sosial yang menempatkan derajat manusia di atas segala dengan berasaskan pada syari`at islam dalam menyonsong masyarakat Ideal atau masyarakat madani, entah hari ini menjadi di lembagakan dalam konstitusi kenegaraan Indonesia yang berkembang dalam mimpi yang fatamorgana. dengan melihat gejolak sosial yang sampai hari ini telah menyengsarakan posisi islam sebagai agama rahmatan Lil-Alamin, diskriminasi dan isu-isu misionaris yang meracuni sosial kita dengan budaya-budaya asing yang membunuh karakter suatu bangsa.


Konsistensi umat islam akan manhaz (jalan) yang telah di riwayatkan dalam hadist nabi dengan banyaknya kekhawatiran akan umatnya nanti yang seperti munculnya anak-anak sebagai pemimpin dalam tingkatan yang tak seimbang, kemudian meski banyak petugas keamanan tetap berasaskan pada system yang di intervensi oleh asing. Umat islam kembali tidak bersemangat tatkala main suap dalam urusan hukum kerap terjadi serta pemutusan silaturrahim dan meremehkan pembunuhan, akan datang suatu generasi baru yang menjadikan Al-Qur'an sebagai nyanyian yang mengakibatkan stratifikasi pembagian hak tidak sesuai.

Tidak ada komentar: