Membangun Budaya membaca, menulis Kader IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH BIMA

Rabu, 25 November 2015

POLITIK KAMPUS MATAHARI BIMA



POLITIK KAMPUS MATAHARI BIMA
“Matahari bersinar dengan cela awan yang dibuat oleh tangan manusia. Ada yang mendapatkan cahayanya dengan tangan besi dan yang lainnya mendapatkan secerca cahaya atas dasar belas kasihan dan “usaha” yang mengadu domba bagian-bagian yang termarjinalkan”
“Matahari fajar pagi dimanfaatkan untuk pemberi fitamin bagi sang diktator, semuanya dimanfaatkan untuk kesuburannya, dengan berbagaicara, dengan usaha yang bagaiamanapun untuk mencapai tujuan, nasib yang malang untuk matahari yang dirintis oleh Kh. Ahmad Dahlan”

Pertama kali, ingatan kita pasti tertuju pada konflik “laten” antara PKI dan Agamawan. menyaksikan betapa persinggungan ekstrim antar ideologi telah menghantarkan suatu pertarungan sengit yang bermuara pada paham Idiologi. PKI, di saat jayanya itu, menjadi motor utama penggerak keyakinan bahwa Idiologi haruslah berada di bawah otoritas politik. Idiologi sekaligus merupakan cerminan dari kekuasaan yang mengungkungi, mensubordinasi, dan memperalatnya. Karena itu, Idiologi bukanlah barang langka yang harus tunduk pada keinginan sekelompok elite, karena ia mesti membaur dalam perjuangan kader-kader idiologi yang kemudian menciptakan suasana kebersamaan.

Namun, lebih dari sekadar pergulatan ideologis, konflik tersebut lalu seakan menyisakan luka sejarah yang kemudian meretas jalan panjang dunia Politik ke arah kebuntuan gerakan. Polarisasi antara dua elemen di atas memicu realitas buram yang berlanjut pada wilayah “kekuasaan” sebuah entitas yang tak berdiri sendiri, di atas kepentingan politislah segala keputusan menjadi final, dan seseorang yang terlibat di dalamnya tak pernah lagi netral.
Di masa itu, bentrok antar-ideologi tak terhindarkan menjadi kewajaran dan kekhawatiran. Tapi, justru di sinilah, ideologi mengambil bentuknya yang paling eksesif ditunjukkan oleh dua hal. Pertama, ketika ideologi mendekati wilayah sentrum kekuasaan, yang terjadi adalah monopoli dan pengucilan atas mereka yang dianggap tak sependapat.
Dalam percaturan politik kala itu, potret kekuasaan, dengan dingin ditampilkan sekelompok idiologi, seolah tak memberi ampun, menggunakan otoritasnya untuk membungkam PKI. Catatan politik penulis, dengan gentir, mendeskripsikan betapa kelompok idiologi tak lagi menaruh perhatian besar akan terpecahnya masa depan untuk kebesaran idiologi, di tengah berkecamuknya tranformasi idiologi. Ia, ironisnya, kemudian memilih menggunakan kekuasaan untuk sebuah akibat yang tak nyaman, Dan kedua, ketika ideologi menjauh dari kekuasaan, ujung-ujungnya adalah sikap kontra dan resistensi. Sejarah menunjukkan, inilah yang harus dialami kita saat ini.
Dari situ, dapat ditangkap dua realitas berbeda, yang tak sepenuhnya bertemu. Namun, yang menarik, masa-masa revolusi telah membuat dunia idiologi kita berada dalam titik persaingan yang tak sehat, di potongan sejarah yang menyakitkan itu, kita temukan sebuah kegamangan, sikap “apokaliptik” yang tidak lagi berbicara menurut akal sehat dan hati nurani, tetapi lebih sebagai frustasi politik yang acak, intoleran, dan menang-kalah. Alternatifnya lalu jelas, seseorang kader harus memilih untuk berkonfrontasi dan menghindari sejauh mungkin rekonsiliasi.      
Kita tak pernah menyadari bahwa intoleransi adalah sesuatu yang mustahil abadi. Ia utopis, dan karenanya cuma menyisakan harapan yang tak pernah terwujud selamanya. Intoleransi melahirkan radikalisasi, untuk selanjutnya dihadapi dengan reaksi. Radikalisme, demikian saya menyebutnya, mungkin sikap yang tak bijak. Dalam sebuah perbincangan singkat, ditanya tentang mengapa ia tak memaafkan kadernya? dan menyebut mereka sebagai “pengkhianat”. Ia lalu menjawab: “karena mereka memecah kesatuan idiologi” sehingga “merongrong” usaha kersa lawan. Apa yang dituturkan lalu menjadi keniscayaan bahwa kekuasaan selalu dijustifikasi demi sebuah pembelaan. Padahal, kita mesti tahu, radikalisme atas nama kekuasaan boleh jadi bakal memicu suatu haluan sikap yang di masa kini sulit dimengerti.
Karena itu, wajar bila anggapan bahwa Idiologi disini menyalahi spirit kebudayaan pencetusnya, seperti yang penulis sebutkan sama membingungkannya dengan anggapan bahwa, seorang kader yang berbeda pandangan mesti dihabisi secara radikal, entah lewat pertarungan politis atau semacamnya.
Saya menilai, kebutuhan untuk membicarakan realisme di masa kini, terletak pada kenyataan bahwa kita belum mempunyai pisau kritik yang tajam, untuk membedah ketimpangan itu selama ini, kecuali lewat tawaran-tawaran konsep itu yang dianggap tidak berbobot. Karenanya, menjadi wajar bila konsep-konsep mereka masih laku di “pasaran” muhammadiyah dewasa ini. Pada tingkat wacana itu, estetika kiri menyumbang besar bagi terbentuknya sikap partisipatoris kader dalam relasinya bersama dunia. Ia ikut merasa bahwa muhammadiyah bukanlah “menara gading” yang sepi dari realitas sosial, karena perubahan dan transformasi sosial adalah nuansa yang juga melibatkan idiologi ini.
Kalau ini dipahami betul, kita tak akan pernah khawatir muhammadiyah terjatuh dalam radikalisme. Mengapa? Alasan utamanya bahwa radikalisme muhammadiyah sebenarnya dipicu oleh praktik dan interpretasi berlebihan terhadap konsep Ahmad Dahlan. Artinya, selama masih konseptual, Muhammadiyah tak berpretensi pada sikap radikal, alih-alih mendorong kita untuk selalu kritis menghadapi kekuasaan dan dominasi. Lebih-lebih, di Bima saat ini.

Tidak ada komentar: