POLITIK KAMPUS MATAHARI BIMA
“Matahari bersinar
dengan cela awan yang dibuat oleh tangan manusia. Ada yang mendapatkan
cahayanya dengan tangan besi dan yang lainnya mendapatkan secerca cahaya atas
dasar belas kasihan dan “usaha” yang mengadu domba bagian-bagian yang
termarjinalkan”
“Matahari fajar pagi
dimanfaatkan untuk pemberi fitamin bagi sang diktator, semuanya dimanfaatkan
untuk kesuburannya, dengan berbagaicara, dengan usaha yang bagaiamanapun untuk
mencapai tujuan, nasib yang malang untuk matahari yang dirintis oleh Kh. Ahmad
Dahlan”
Pertama kali, ingatan kita pasti tertuju pada
konflik “laten” antara PKI dan Agamawan. menyaksikan betapa persinggungan
ekstrim antar ideologi telah menghantarkan suatu pertarungan sengit yang
bermuara pada paham Idiologi. PKI, di saat jayanya itu, menjadi motor utama
penggerak keyakinan bahwa Idiologi haruslah berada di bawah otoritas politik. Idiologi
sekaligus merupakan cerminan dari kekuasaan yang mengungkungi, mensubordinasi,
dan memperalatnya. Karena itu, Idiologi bukanlah barang langka yang harus
tunduk pada keinginan sekelompok elite, karena ia mesti membaur dalam
perjuangan kader-kader idiologi yang kemudian menciptakan suasana kebersamaan.
Namun, lebih dari sekadar pergulatan ideologis,
konflik tersebut lalu seakan menyisakan luka sejarah yang kemudian meretas
jalan panjang dunia Politik ke arah kebuntuan gerakan. Polarisasi antara dua
elemen di atas memicu realitas buram yang berlanjut pada wilayah “kekuasaan” sebuah
entitas yang tak berdiri sendiri, di atas kepentingan politislah segala
keputusan menjadi final, dan seseorang yang terlibat di dalamnya tak pernah
lagi netral.
Di masa itu, bentrok antar-ideologi tak terhindarkan
menjadi kewajaran dan kekhawatiran. Tapi, justru di sinilah, ideologi mengambil
bentuknya yang paling eksesif ditunjukkan oleh dua hal. Pertama, ketika
ideologi mendekati wilayah sentrum kekuasaan, yang terjadi adalah monopoli dan
pengucilan atas mereka yang dianggap tak sependapat.
Dalam percaturan politik kala itu, potret kekuasaan,
dengan dingin ditampilkan sekelompok idiologi, seolah tak memberi ampun,
menggunakan otoritasnya untuk membungkam PKI. Catatan politik penulis, dengan
gentir, mendeskripsikan betapa kelompok idiologi tak lagi menaruh perhatian
besar akan terpecahnya masa depan untuk kebesaran idiologi, di tengah
berkecamuknya tranformasi idiologi. Ia, ironisnya, kemudian memilih menggunakan
kekuasaan untuk sebuah akibat yang tak nyaman, Dan kedua, ketika ideologi
menjauh dari kekuasaan, ujung-ujungnya adalah sikap kontra dan resistensi.
Sejarah menunjukkan, inilah yang harus dialami kita saat ini.
Dari situ, dapat ditangkap dua realitas berbeda,
yang tak sepenuhnya bertemu. Namun, yang menarik, masa-masa revolusi telah
membuat dunia idiologi kita berada dalam titik persaingan yang tak sehat, di
potongan sejarah yang menyakitkan itu, kita temukan sebuah kegamangan, sikap
“apokaliptik” yang tidak lagi berbicara menurut akal sehat dan hati nurani,
tetapi lebih sebagai frustasi politik yang acak, intoleran, dan menang-kalah.
Alternatifnya lalu jelas, seseorang kader harus memilih untuk berkonfrontasi
dan menghindari sejauh mungkin rekonsiliasi.
Kita tak pernah menyadari bahwa intoleransi adalah
sesuatu yang mustahil abadi. Ia utopis, dan karenanya cuma menyisakan harapan
yang tak pernah terwujud selamanya. Intoleransi melahirkan radikalisasi, untuk
selanjutnya dihadapi dengan reaksi. Radikalisme, demikian saya menyebutnya,
mungkin sikap yang tak bijak. Dalam sebuah perbincangan singkat, ditanya
tentang mengapa ia tak memaafkan kadernya? dan menyebut mereka sebagai
“pengkhianat”. Ia lalu menjawab: “karena mereka memecah kesatuan idiologi” sehingga
“merongrong” usaha kersa lawan. Apa yang dituturkan lalu menjadi keniscayaan
bahwa kekuasaan selalu dijustifikasi demi sebuah pembelaan. Padahal, kita mesti
tahu, radikalisme atas nama kekuasaan boleh jadi bakal memicu suatu haluan
sikap yang di masa kini sulit dimengerti.
Karena itu, wajar bila anggapan bahwa Idiologi
disini menyalahi spirit kebudayaan pencetusnya, seperti yang penulis sebutkan
sama membingungkannya dengan anggapan bahwa, seorang kader yang berbeda
pandangan mesti dihabisi secara radikal, entah lewat pertarungan politis atau
semacamnya.
Saya menilai, kebutuhan untuk membicarakan realisme
di masa kini, terletak pada kenyataan bahwa kita belum mempunyai pisau kritik
yang tajam, untuk membedah ketimpangan itu selama ini, kecuali lewat
tawaran-tawaran konsep itu yang dianggap tidak berbobot. Karenanya, menjadi
wajar bila konsep-konsep mereka masih laku di “pasaran” muhammadiyah dewasa
ini. Pada tingkat wacana itu, estetika kiri menyumbang besar bagi terbentuknya
sikap partisipatoris kader dalam relasinya bersama dunia. Ia ikut merasa bahwa muhammadiyah
bukanlah “menara gading” yang sepi dari realitas sosial, karena perubahan dan
transformasi sosial adalah nuansa yang juga melibatkan idiologi ini.
Kalau ini dipahami betul, kita tak akan pernah
khawatir muhammadiyah terjatuh dalam radikalisme. Mengapa? Alasan utamanya
bahwa radikalisme muhammadiyah sebenarnya dipicu oleh praktik dan interpretasi
berlebihan terhadap konsep Ahmad Dahlan. Artinya, selama masih konseptual, Muhammadiyah
tak berpretensi pada sikap radikal, alih-alih mendorong kita untuk selalu
kritis menghadapi kekuasaan dan dominasi. Lebih-lebih, di Bima saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar