Manusia Tidak
Hidup Dari Politik Saja
Penulis:
Muh. Alifuddin
Gagasan
sederhana ini “Manusia Tidak Hidup Dari
Politik Saja” harus sepenuhnya dipahami dan dipikirkan oleh semua kalangan
intelektual muslim untuk tujuan propaganda peradaban yang penuh dengan caruk
maruk. Waktu yang berubah membawa nada yang berubah. Sejarah kehidupan kita
sebelum revolusi dan keberadaan kita pada era kontemporer sekarang merupakan sejarah
politik revolusioner. Literatur sejarah kehidupan kita, organisasi islam yang
hadir dalam kehidupan kita semuanya dikuasai oleh kepentingan politik dalam
pengertian yang paling langsung dan sempit dari kata tersebut.
Krisis
revolusioner telah membuat kepentingan-kepentingan dan masalah-masalah politik
bahkan lebih intensif. Parpol Islam harus merekrut elemen-elemen masyarakat yang
paling aktif secara politik. Saat ini masyarakat sangatlah sadar akan
pencapaian-pencapaian fundamental dari revolusi ini. Kita tidak perlu
mengulang-ulang lagi dan lagi cerita mengenai hasil-hasil tersebut. Ini sudah
tidak lagi menggugah pikiran masyarakat kita, dan justru lebih mungkin
menghapus dari pikiran masyarakat pelajaran-pelajaran dari masa lalu. Dengan
penaklukan kekuasaan dan konsolidasinya sebagai hasil dari perang saudara,
masalah-masalah utama kita telah bergeser ke kebutuhan-kebutuhan kebudayaan dan
rekonstruksi ekonomi. Mereka telah menjadi lebih rumit, lebih detil, dan lebih
langsung. Namun, untuk membenarkan semua perjuangan sebelumnya dan semua
pengorbanan kita, kita harus belajar memahami masalah-masalah kebudayaan yang
beragam ini, dan menyelesaikan mereka satu-per-satu.
Sekarang,
apa yang sebenarnya telah dicapai dan diamankan oleh masyarakat kita dari
revolusi ini?
1) Kediktatoran
elit Politik (yang diwakili oleh pemerintahan Parpol Islam dan cendekiawan akademik
di bawah kepemimpinan absurd)
2) Masyarakat
high clas basis dukungan terhadap kediktatoran elit politik.
3) Nasionalisasi
instrumen-instrumen produksi paling penting, yang tanpanya kediktatoran elit
politik akan punah.
4) Monopoli
perdagangan asing, yang merupakan kondisi penting untuk pembangunan struktur
negara sosialis di tengah-tengah kapitalisme
Keempat
faktor ini, yang jelas telah dimenangkan, membentuk kerangka besi bagi semua
kerja kita; dan setiap keberhasilan ekonomi atau kebudayaan yang kita capai,
bila ini adalah keberhasilan yang sesungguhnya dan bukan hanya di permukaan, niscaya
menjadi bagian penting dari struktur sosial dewasa ini.
Lalu
apa masalah kita sekarang? Apa yang harus kita ketahui pertama-tama? Apa yang
harus menjadi tujuan kita? Kita harus belajar untuk bekerja dengan efisien,
akurat, tepat waktu, ekonomis. Kita perlu kebudayaan di dalam tempat kerja,
kebudayaan di dalam kehidupan, kebudayaan di dalam kebiasaan-kebiasaan kita.
Setelah sebuah periode perjuangan yang panjang, kiat telah berhasil
menumbangkan kekuasaan kaum penindas dengan pemberontakan bersenjata. Akan
tetapi cara ini tidak eksis untuk membentuk kebudayaan secara langsung. Masyarakat
harus melalui sebuah proses pendidikan yang panjang.
Saya
anggap cukup menarik untuk mengutip di sini beberapa paragraf mengenai epos
perjuangan kebudayaan dari artikel saya Pemikiran-Pemikiran Mengenai Parpol
Islam:
“Dalam
realiasi praktisnya, revolusi dapat “dipecah” menjadi sejumlah tugas-tugas
parsial: kita harus memperbaiki jembatan-jembatan, belajar baca-tulis,
menurunkan ongkos produksi dimana-mana, memerangi kejahatan, menangkap para
penipu, memperluas kabel listrik ke pedesaan, dan seterusnya. Beberapa kaum
intelektual yang vulgar, yang mengenakan otak mereka dengan miring (dan untuk
alasan ini mereka menganggap diri mereka pujangga atau filsuf), telah mulai
berbicara mengenai revolusi ini dengan nada yang sangat mengejek: belajar
berdagang, ha, ha! dan belajar menjahit kancing, heh, heh! Tetapi, biarkan para
pembual ini menggonggong ...”
“Kerja
praktis murni sehari-hari di bidang kebudayaan dan pembangunan ekonomi (bahkan
di perdagangan eceran) sama sekali bukan ‘kerja remeh-temeh’, dan tidak selalu
melibatkan mentalitas yang amat terlampau teliti. Di dalam hidup manusia ada
banyak kerja remeh-temeh yang tidak ada hubungannya dengan kerja-kerja besar.
Tetapi sejarah tidak mengenal kerja-kerja besar tanpa kerja-kerja remeh-temeh.
Atau lebih tepatnya kita katakan bahwa kerja-kerja remeh-temeh di dalam sebuah
epos besar, yakni sebagai bagian komponen dari sebuah tugas besar, berhenti
menjadi ‘kerja remeh-temeh.’”
“ ...
Sangat jelas kalau tuntutan-tuntutan hari-ini dan tugas-tugas parsial yang
perlu kita perhatikan hari ini sangatlah berbeda. Perhatian kita adalah pada
pembangunan Masyarakat yang untuk pertama kalinya sedang membangun dirinya
sendiri dan menurut rencananya sendiri. Rencana historis ini, walaupun masih
sangat tidak sempurna dan kurang konsisten, harus merangkul semua bagian dari
kerja ini, semua detil-detilnya, di dalam kesatuan dari sebuah konsepsi kreatif
yang besar ...”
“Konstruksi
intelektual adalah sebuah konstruksi terencana, dalam skala terbesar. Dan
melalui semua pasang naik dan surut, kesalahan-kesalahan dan tikungan-tikungan,
melalui semua pelintiran-pelintiran, Parpol Islam mengejar rencana besarnya,
mendidik kaum muda semangat dari rencana ini, mengajar semua orang untuk
menghubungkan fungsi-fungsi partikularnya dengan tugas umum, yang hari ini
menuntut masyarakat, dan esok hari menuntut kesiapan untuk mati tanpa rasa
takut di bawah kekuasaan Elit Politik”
“Kita
harus, dan akan, menuntut pelatihan serius dan menyeluruh untuk generasi muda
kita, dan dengan begitu, emansipasi mereka dari dosa dasar generasi kita, yakni
yang tahu semuanya dan ahli semua bidang. Kita menuntut pelatihan spesialisasi
untuk melayani rencana umum yang dipahami dan dipikirkan oleh setiap individu.
Oleh
karena, tidak ada satu halpun, selain masalah posisi kekuasaan politik kita,
yang akan menahan kita dari perjuangan kebudayaan. Sekarang masalah-masalah
ini, seperti yang akan kita lihat sekarang, sama sekali tidak berada di dalam
ranah yang benar-benar berbeda. Posisi kekuasaan politik kita terutama
tergantung pada kekuatan pertahanan-diri kita yakni, keefisienan Kaum High
Class dan di dalam aspek penting eksistensi negara kita ini, masalah kita
terutama adalah kerja kebudayaan. Kita harus meningkatkan level masayarakat
kita dan mendidik setiap serdadu bagaimana membaca buku, menggunakan
manual-manual dan map-map. Mereka harus dididik kebiasaan rapi, tepat waktu,
dan hemat. Ini tidak bisa dilakukan langsung dengan cara-cara mujizat.
Setelah
perang saudara dan selama periode transisional kerja kita, sejumlah usaha
dilakukan untuk menyelamatkan situasi dengan “doktrin kekuasaan absurd” yang
diciptakan secara khusus, tetapi doktrin ini tidak disertai dengan pemahaman
sesungguhnya akan masalah-masalah kita. Hal yang sama terjadi dalam rencana
ambisius untuk menciptakan “kebudayaan elit politik” yang artifisial. Semua
petualangan mencari batu filsuf seperti itu menggabungkan keputus-asaan
terhadap kekurangan kebudayaan kita dengan kepercayaan akan mujizat. Namun kita
tidak punya alasan untuk putus asa, dan mengenai mujizat-mujizat dan
bualan-bualan kekanak-kanakan seperti “kebudayaan elit politik” atau “doktrin kekuasaan
absurd”, sekarang adalah saatnya untuk meninggalkan hal-hal seperti itu. Kita
harus melaksanakan perkembangan budaya di dalam kerangka kediktatoran elit
politik, dan hanya ini yang dapat memastikan isi cendekiawan akademik dari
pencapaian-pencapaian revolusi kita. Siapapun yang gagal melihat ini akan
memainkan peran reaksioner di dalam perkembangan pemikiran Parpol Islam dan
kerja Parpol Islam.
Saat
sekarang kita lebih fokus pada kebudayaan dari pada politik, kita harus
benar-benar jelas mengenai istilah yang dia gunakan, supaya kita tidak salah
tafsir maksudnya. Dalam pengertian tertentu, politik selalu menempati urutan
pertama. Bahkan untuk menggeser prioritas kita dari politik ke kebudayaan
adalah sebuah anjuran politik. Ketika Parpol Islam memutuskan pada satu waktu
bahwa masalah ekonomi dan bukan masalah politik harus menjadi prioritas
pertama, keputusan itu sendiri adalah keputusan politik. Jelas kalau kata
“politik” di sini ada dua pengertian: pertama, dalam pengertian materialis dan
dialektis yang luas, sebagai totalitas dari semua prinsip pemandu, metode,
sistem, yang menentukan aktivitas-aktivitas kolektif di dalam semua ranah
kehidupan; dan kedua, dalam artian yang sempit, yang berhubungan dengan
perjuangan perebutan kekuasaan dan bertolakbelakang dengan kerja ekonomi, kerja
budaya, dsbnya.
Ketika
berbicara mengenai politik sebagai ekonomi yang terkonsentrasikan, saya berbicara
mengenai politik dalam artian filsafat yang luas. Namun ketika dia
menganjurkan: “Mari kita kurangi politik dan lebih fokus pada ekonomi” dia
merujuk pada politik dalam pengertian yang terbatas. Kedua cara menggunakan
kata ini dibenarkan oleh tradisi.
Parpol
Islam adalah politis dalam pengertian historis yang luas, atau dapat juga kita
katakan, dalam pengertian filsafat yang luas. Parpol Islam-Parpol Islam yang
lain hanyalah politis dalam pengertian yang sempit. Pergeseran kepentingan Parpol
Islam kita ke perjuangan budaya oleh karenanya tidak melemahkan
signifikansi politik Parpol Islam kita. Parpol Islam ini akan
mengkonsentrasikan akvititasnya dalam kerja budaya, dan mengambil peran
kepemimpinan dalam kerja ini, ini akan berarti memimpin secara historis, dalam
kata lain, peran politik. Kita masih membutuhkan bertahun-tahun kerja intelektual,
yang berhasil di dalam dan terlindungi dari luar, sebelum Parpol Islam ini
dapat menanggalkan cangkerang struktur Parpol Islamnya dan melebur ke dalam kedoktatoran
elit politik. Ini masih sangatlah jauh, dan oleh karenanya tidak ada gunanya
kita melihat begitu jauh ke depan. Dalam masa depan yang dekat, Parpol Islam
kita harus mempertahankan sepenuhnya karakter-karakter fundamentalnya: kesatuan
dalam tujuan, sentralisasi, disiplin, dan sebagai hasil dari ini, kekuatan
untuk berjuang.
Tetapi
di bawah kondisi-kondisi sekarang ini, Parpol Islam kita membutuhkan basis
ekonomi yang sangat kuat untuk mempertahankan dan mengembangkan aset-aset
semangat rakyat yang tidak ternilai ini. Oleh karena itu masalah-masalah
ekonomi menempati urutan pertama di dalam politik kita, dan hanya dalam
kesesuaian dengan masalah-masalah ekonomi ini Parpol Islam mengkonsentrasikan
dan mendistribusikan kekuatan-kekuatannya dan mendidik generasi muda. Dalam
kata lain, politik dalam arti yang lebih luas, memerlukan bahwa semua kerja
propaganda, distribusi kekuatan, pendidikan dan edukasi pada saat ini harus
berdasarkan pada masalah-masalah ekonomi dan kebudayaan, dan bukan pada
masalah-masalah politik dalam pengertian sempit.
Kaum elit
politik adalah sebuah kesatuan sosial yang kuat yang memanifestasikan kekuatannya
sepenuhnya selama periode-periode perjuangan revolusioner yang tajam untuk
memenuhi tujuan-tujuan seluruh kepentingan Parpol. Tetapi di dalam kesatuan
tersebut ada keberagaman. Antara seorang pengembala desa buta huruf yang bodoh
dengan seorang mekanik yang terampil terdapat berbagai macam tingkatan
kebudayaan dan kebiasaan kehidupan. Setiap kelas, terlebih lagi, setiap
okupasi, setiap kelompok, terdiri dari orang-orang dengan umur-umur yang
berbeda, temperamen yang berbeda, dan dengan masa lalu yang beragam. Tetapi
karena keberagaman ini, kerja Parpol Islam mungkin akan lebih mudah.
Seorang
mungkin berkata bahwa semakin kaya sejarah sebuah bangsa, dan walhasil semakin
kaya sejarah kelas sosialnya, maka semakin besar di dalamnya akumulasi
memori-memori, tradisi-tradisi, kebiasaan-kebiasaan, dan semakin besar jumlah
kelompok-kelompok, oleh karenanya semakin sulit untuk mencapai persatuan
revolusioner parpol islam. Sejarah tidak memberikan apapun dengan gratis.
Setelah membuat pengurangan di satu bidang yakni politik, sejarah membuat kita
membayarnya di bidang yang lain yakni kebudayaan. Semakin mudah (tentu saja
secara relatif) kelas elit politik melewati krisis revolusioner, semakin sulit
kerja pembangunan tata sosial kita. Tetapi, di pihak lain, kerangka struktur
sosial kita yang baru, yang ditandai oleh empat karakteristik yang disebut di
atas, memberikan sebuah isi yang secara objektif gerakan cendekiawan kita ke
semua usaha-usaha yang diarahkan secara rasional dan menyeluruh di bidang
ekonomi dan budaya.
Di
bawah rejim elit Politik, seorang pekerja, tanpa kehendak atau maksud dari
dirinya, terus menerus memperkaya sang elit politik; semakin bagus kerjanya
semakin dia memperkaya elit politik. Di negara ini, seorang pekerja yang rajin
dan baik, dia peduli atau tidak (bilamana dia bukan anggota Parpol Islam dan
menjauhi politik), akan memperoleh hasil-hasil proyek cendekiawan dan
meningkatkan kekayaan msayarakat.
Masyarakat
yang bukan anggota Parpol Islam, yang sangat berbakti pada produksi, pada
teknik pekerjaannya, banyak sekali jumlahnya. Tetapi mereka tidak sama sekali
“apolitis”, tidak peduli politik. Di momen-momen revolusi yang berbahaya dan
penuh kesulitan, mereka ada bersama kita. Mayoritas besar dari mereka tidak
takut pada sang elit politik, tidak meninggalkannya, mereka bukan pengkhianat.
Selama perang saudara, banyak dari mereka yang berjuang di garis depan; yang
lain bekerja untuk angkatan bersenjata dengan menyuplai amunisi. Mereka mungkin
“non-politis”, tetapi hanya dalam artian bahwa di masa-masa damai mereka lebih
peduli pada pekerjaan mereka atau keluarga mereka dibandingkan pada politik.
Mereka
semua ingin menjadi msayarakat yang baik, untuk menjadi semakin efisien di
tiap-tiap pekerjaan mereka, untuk naik ke posisi yang lebih tinggi, sebagian
untuk taraf hidup keluarga mereka, tetapi juga untuk penghargaan ambisi
profesional mereka yang sah-sah saja. Secara implisit, mereka semua, seperti
yang saya katakan sebelumnya, melakukan kerja proyek cendekiawan bahkan tanpa
menyadari. Tetapi sebagai Parpol Islam, kita ingin agar masyrakat kita ini
dengan sadar menghubungkan kerja produksi mereka dengan pembangunan calsa
sosial secara keseluruhan. Kepentingan cendekiawan akan lebih terjamin oleh
aktivitas-aktivitas yang tersatukan seperti itu, dan tiap-tiap pembangun msayarakat
ini akan mendapatkan kepuasan moral yang lebih tinggi dari kerja mereka.
Tetapi
bagaimaca cara kita mencapai tujuan ini? Sangatlah sulit untuk mendekati msayarakat
macam ini yang dengan pahaman materialis dengan garis politik absurd. Dia telah
mendengar semua pidato-pidato dan tidak ingin mendengar lebih banyak lagi. Dia
tidak tertarik untuk bergabung dengan Parpol Islam. Pikirannya terpusat pada
pekerjaannya, dan dia tidak puas dengan kondisi status sosialnya, masyarakat
semacam ini biasanya akan mencoba menyelesaikan masalah ini dengan sendirian.
Mereka tidak komunikatif, dan mereka adalah kelas yang menghasilkan
penemu-penemu otodidak. Mereka tidak responsif pada politik, setidaknya tidak
dengan sepenuhnya tetapi mereka mungkin dan harus didekati untuk
masalah-masalah yang berhubungan dengan kebersamaan dengan proyek cendekiawan.
Bima,
08 November 2015
Kos Tercinta bersama istri
tercinta
Muh.
Alifuddin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar