Membangun Budaya membaca, menulis Kader IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH BIMA

Rabu, 25 November 2015

Manusia Tidak Hidup Dari Politik Saja

Manusia Tidak Hidup Dari Politik Saja

Penulis: Muh. Alifuddin

Gagasan sederhana ini “Manusia Tidak Hidup Dari Politik Saja” harus sepenuhnya dipahami dan dipikirkan oleh semua kalangan intelektual muslim untuk tujuan propaganda peradaban yang penuh dengan caruk maruk. Waktu yang berubah membawa nada yang berubah. Sejarah kehidupan kita sebelum revolusi dan keberadaan kita pada era kontemporer sekarang merupakan sejarah politik revolusioner. Literatur sejarah kehidupan kita, organisasi islam yang hadir dalam kehidupan kita semuanya dikuasai oleh kepentingan politik dalam pengertian yang paling langsung dan sempit dari kata tersebut.
Krisis revolusioner telah membuat kepentingan-kepentingan dan masalah-masalah politik bahkan lebih intensif. Parpol Islam harus merekrut elemen-elemen masyarakat yang paling aktif secara politik. Saat ini masyarakat sangatlah sadar akan pencapaian-pencapaian fundamental dari revolusi ini. Kita tidak perlu mengulang-ulang lagi dan lagi cerita mengenai hasil-hasil tersebut. Ini sudah tidak lagi menggugah pikiran masyarakat kita, dan justru lebih mungkin menghapus dari pikiran masyarakat pelajaran-pelajaran dari masa lalu. Dengan penaklukan kekuasaan dan konsolidasinya sebagai hasil dari perang saudara, masalah-masalah utama kita telah bergeser ke kebutuhan-kebutuhan kebudayaan dan rekonstruksi ekonomi. Mereka telah menjadi lebih rumit, lebih detil, dan lebih langsung. Namun, untuk membenarkan semua perjuangan sebelumnya dan semua pengorbanan kita, kita harus belajar memahami masalah-masalah kebudayaan yang beragam ini, dan menyelesaikan mereka satu-per-satu.

Sekarang, apa yang sebenarnya telah dicapai dan diamankan oleh masyarakat kita dari revolusi ini?
1)       Kediktatoran elit Politik (yang diwakili oleh pemerintahan Parpol Islam dan cendekiawan akademik di bawah kepemimpinan absurd)
2)       Masyarakat high clas basis dukungan terhadap kediktatoran elit politik.
3)       Nasionalisasi instrumen-instrumen produksi paling penting, yang tanpanya kediktatoran elit politik akan punah.
4)       Monopoli perdagangan asing, yang merupakan kondisi penting untuk pembangunan struktur negara sosialis di tengah-tengah kapitalisme
Keempat faktor ini, yang jelas telah dimenangkan, membentuk kerangka besi bagi semua kerja kita; dan setiap keberhasilan ekonomi atau kebudayaan yang kita capai, bila ini adalah keberhasilan yang sesungguhnya dan bukan hanya di permukaan, niscaya menjadi bagian penting dari struktur sosial dewasa ini.
Lalu apa masalah kita sekarang? Apa yang harus kita ketahui pertama-tama? Apa yang harus menjadi tujuan kita? Kita harus belajar untuk bekerja dengan efisien, akurat, tepat waktu, ekonomis. Kita perlu kebudayaan di dalam tempat kerja, kebudayaan di dalam kehidupan, kebudayaan di dalam kebiasaan-kebiasaan kita. Setelah sebuah periode perjuangan yang panjang, kiat telah berhasil menumbangkan kekuasaan kaum penindas dengan pemberontakan bersenjata. Akan tetapi cara ini tidak eksis untuk membentuk kebudayaan secara langsung. Masyarakat harus melalui sebuah proses pendidikan yang panjang.
Saya anggap cukup menarik untuk mengutip di sini beberapa paragraf mengenai epos perjuangan kebudayaan dari artikel saya Pemikiran-Pemikiran Mengenai Parpol Islam:
“Dalam realiasi praktisnya, revolusi dapat “dipecah” menjadi sejumlah tugas-tugas parsial: kita harus memperbaiki jembatan-jembatan, belajar baca-tulis, menurunkan ongkos produksi dimana-mana, memerangi kejahatan, menangkap para penipu, memperluas kabel listrik ke pedesaan, dan seterusnya. Beberapa kaum intelektual yang vulgar, yang mengenakan otak mereka dengan miring (dan untuk alasan ini mereka menganggap diri mereka pujangga atau filsuf), telah mulai berbicara mengenai revolusi ini dengan nada yang sangat mengejek: belajar berdagang, ha, ha! dan belajar menjahit kancing, heh, heh! Tetapi, biarkan para pembual ini menggonggong ...”
“Kerja praktis murni sehari-hari di bidang kebudayaan dan pembangunan ekonomi (bahkan di perdagangan eceran) sama sekali bukan ‘kerja remeh-temeh’, dan tidak selalu melibatkan mentalitas yang amat terlampau teliti. Di dalam hidup manusia ada banyak kerja remeh-temeh yang tidak ada hubungannya dengan kerja-kerja besar. Tetapi sejarah tidak mengenal kerja-kerja besar tanpa kerja-kerja remeh-temeh. Atau lebih tepatnya kita katakan bahwa kerja-kerja remeh-temeh di dalam sebuah epos besar, yakni sebagai bagian komponen dari sebuah tugas besar, berhenti menjadi ‘kerja remeh-temeh.’”
“ ... Sangat jelas kalau tuntutan-tuntutan hari-ini dan tugas-tugas parsial yang perlu kita perhatikan hari ini sangatlah berbeda. Perhatian kita adalah pada pembangunan Masyarakat yang untuk pertama kalinya sedang membangun dirinya sendiri dan menurut rencananya sendiri. Rencana historis ini, walaupun masih sangat tidak sempurna dan kurang konsisten, harus merangkul semua bagian dari kerja ini, semua detil-detilnya, di dalam kesatuan dari sebuah konsepsi kreatif yang besar ...”
“Konstruksi intelektual adalah sebuah konstruksi terencana, dalam skala terbesar. Dan melalui semua pasang naik dan surut, kesalahan-kesalahan dan tikungan-tikungan, melalui semua pelintiran-pelintiran, Parpol Islam mengejar rencana besarnya, mendidik kaum muda semangat dari rencana ini, mengajar semua orang untuk menghubungkan fungsi-fungsi partikularnya dengan tugas umum, yang hari ini menuntut masyarakat, dan esok hari menuntut kesiapan untuk mati tanpa rasa takut di bawah kekuasaan Elit Politik”
“Kita harus, dan akan, menuntut pelatihan serius dan menyeluruh untuk generasi muda kita, dan dengan begitu, emansipasi mereka dari dosa dasar generasi kita, yakni yang tahu semuanya dan ahli semua bidang. Kita menuntut pelatihan spesialisasi untuk melayani rencana umum yang dipahami dan dipikirkan oleh setiap individu.
Oleh karena, tidak ada satu halpun, selain masalah posisi kekuasaan politik kita, yang akan menahan kita dari perjuangan kebudayaan. Sekarang masalah-masalah ini, seperti yang akan kita lihat sekarang, sama sekali tidak berada di dalam ranah yang benar-benar berbeda. Posisi kekuasaan politik kita terutama tergantung pada kekuatan pertahanan-diri kita yakni, keefisienan Kaum High Class dan di dalam aspek penting eksistensi negara kita ini, masalah kita terutama adalah kerja kebudayaan. Kita harus meningkatkan level masayarakat kita dan mendidik setiap serdadu bagaimana membaca buku, menggunakan manual-manual dan map-map. Mereka harus dididik kebiasaan rapi, tepat waktu, dan hemat. Ini tidak bisa dilakukan langsung dengan cara-cara mujizat.
Setelah perang saudara dan selama periode transisional kerja kita, sejumlah usaha dilakukan untuk menyelamatkan situasi dengan “doktrin kekuasaan absurd” yang diciptakan secara khusus, tetapi doktrin ini tidak disertai dengan pemahaman sesungguhnya akan masalah-masalah kita. Hal yang sama terjadi dalam rencana ambisius untuk menciptakan “kebudayaan elit politik” yang artifisial. Semua petualangan mencari batu filsuf seperti itu menggabungkan keputus-asaan terhadap kekurangan kebudayaan kita dengan kepercayaan akan mujizat. Namun kita tidak punya alasan untuk putus asa, dan mengenai mujizat-mujizat dan bualan-bualan kekanak-kanakan seperti “kebudayaan elit politik” atau “doktrin kekuasaan absurd”, sekarang adalah saatnya untuk meninggalkan hal-hal seperti itu. Kita harus melaksanakan perkembangan budaya di dalam kerangka kediktatoran elit politik, dan hanya ini yang dapat memastikan isi cendekiawan akademik dari pencapaian-pencapaian revolusi kita. Siapapun yang gagal melihat ini akan memainkan peran reaksioner di dalam perkembangan pemikiran Parpol Islam dan kerja Parpol Islam.
Saat sekarang kita lebih fokus pada kebudayaan dari pada politik, kita harus benar-benar jelas mengenai istilah yang dia gunakan, supaya kita tidak salah tafsir maksudnya. Dalam pengertian tertentu, politik selalu menempati urutan pertama. Bahkan untuk menggeser prioritas kita dari politik ke kebudayaan adalah sebuah anjuran politik. Ketika Parpol Islam memutuskan pada satu waktu bahwa masalah ekonomi dan bukan masalah politik harus menjadi prioritas pertama, keputusan itu sendiri adalah keputusan politik. Jelas kalau kata “politik” di sini ada dua pengertian: pertama, dalam pengertian materialis dan dialektis yang luas, sebagai totalitas dari semua prinsip pemandu, metode, sistem, yang menentukan aktivitas-aktivitas kolektif di dalam semua ranah kehidupan; dan kedua, dalam artian yang sempit, yang berhubungan dengan perjuangan perebutan kekuasaan dan bertolakbelakang dengan kerja ekonomi, kerja budaya, dsbnya.
Ketika berbicara mengenai politik sebagai ekonomi yang terkonsentrasikan, saya berbicara mengenai politik dalam artian filsafat yang luas. Namun ketika dia menganjurkan: “Mari kita kurangi politik dan lebih fokus pada ekonomi” dia merujuk pada politik dalam pengertian yang terbatas. Kedua cara menggunakan kata ini dibenarkan oleh tradisi.
Parpol Islam adalah politis dalam pengertian historis yang luas, atau dapat juga kita katakan, dalam pengertian filsafat yang luas. Parpol Islam-Parpol Islam yang lain hanyalah politis dalam pengertian yang sempit. Pergeseran kepentingan Parpol Islam kita ke perjuangan budaya oleh karenanya tidak melemahkan signifikansi politik Parpol Islam kita. Parpol Islam ini akan mengkonsentrasikan akvititasnya dalam kerja budaya, dan mengambil peran kepemimpinan dalam kerja ini, ini akan berarti memimpin secara historis, dalam kata lain, peran politik. Kita masih membutuhkan bertahun-tahun kerja intelektual, yang berhasil di dalam dan terlindungi dari luar, sebelum Parpol Islam ini dapat menanggalkan cangkerang struktur Parpol Islamnya dan melebur ke dalam kedoktatoran elit politik. Ini masih sangatlah jauh, dan oleh karenanya tidak ada gunanya kita melihat begitu jauh ke depan. Dalam masa depan yang dekat, Parpol Islam kita harus mempertahankan sepenuhnya karakter-karakter fundamentalnya: kesatuan dalam tujuan, sentralisasi, disiplin, dan sebagai hasil dari ini, kekuatan untuk berjuang.
Tetapi di bawah kondisi-kondisi sekarang ini, Parpol Islam kita membutuhkan basis ekonomi yang sangat kuat untuk mempertahankan dan mengembangkan aset-aset semangat rakyat yang tidak ternilai ini. Oleh karena itu masalah-masalah ekonomi menempati urutan pertama di dalam politik kita, dan hanya dalam kesesuaian dengan masalah-masalah ekonomi ini Parpol Islam mengkonsentrasikan dan mendistribusikan kekuatan-kekuatannya dan mendidik generasi muda. Dalam kata lain, politik dalam arti yang lebih luas, memerlukan bahwa semua kerja propaganda, distribusi kekuatan, pendidikan dan edukasi pada saat ini harus berdasarkan pada masalah-masalah ekonomi dan kebudayaan, dan bukan  pada masalah-masalah politik dalam pengertian sempit.
Kaum elit politik adalah sebuah kesatuan sosial yang kuat yang memanifestasikan kekuatannya sepenuhnya selama periode-periode perjuangan revolusioner yang tajam untuk memenuhi tujuan-tujuan seluruh kepentingan Parpol. Tetapi di dalam kesatuan tersebut ada keberagaman. Antara seorang pengembala desa buta huruf yang bodoh dengan seorang mekanik yang terampil terdapat berbagai macam tingkatan kebudayaan dan kebiasaan kehidupan. Setiap kelas, terlebih lagi, setiap okupasi, setiap kelompok, terdiri dari orang-orang dengan umur-umur yang berbeda, temperamen yang berbeda, dan dengan masa lalu yang beragam. Tetapi karena keberagaman ini, kerja Parpol Islam mungkin akan lebih mudah.
Seorang mungkin berkata bahwa semakin kaya sejarah sebuah bangsa, dan walhasil semakin kaya sejarah kelas sosialnya, maka semakin besar di dalamnya akumulasi memori-memori, tradisi-tradisi, kebiasaan-kebiasaan, dan semakin besar jumlah kelompok-kelompok, oleh karenanya semakin sulit untuk mencapai persatuan revolusioner parpol islam. Sejarah tidak memberikan apapun dengan gratis. Setelah membuat pengurangan di satu bidang yakni politik, sejarah membuat kita membayarnya di bidang yang lain yakni kebudayaan. Semakin mudah (tentu saja secara relatif) kelas elit politik melewati krisis revolusioner, semakin sulit kerja pembangunan tata sosial kita. Tetapi, di pihak lain, kerangka struktur sosial kita yang baru, yang ditandai oleh empat karakteristik yang disebut di atas, memberikan sebuah isi yang secara objektif gerakan cendekiawan kita ke semua usaha-usaha yang diarahkan secara rasional dan menyeluruh di bidang ekonomi dan budaya.
Di bawah rejim elit Politik, seorang pekerja, tanpa kehendak atau maksud dari dirinya, terus menerus memperkaya sang elit politik; semakin bagus kerjanya semakin dia memperkaya elit politik. Di negara ini, seorang pekerja yang rajin dan baik, dia peduli atau tidak (bilamana dia bukan anggota Parpol Islam dan menjauhi politik), akan memperoleh hasil-hasil proyek cendekiawan dan meningkatkan kekayaan msayarakat.
Masyarakat yang bukan anggota Parpol Islam, yang sangat berbakti pada produksi, pada teknik pekerjaannya, banyak sekali jumlahnya. Tetapi mereka tidak sama sekali “apolitis”, tidak peduli politik. Di momen-momen revolusi yang berbahaya dan penuh kesulitan, mereka ada bersama kita. Mayoritas besar dari mereka tidak takut pada sang elit politik, tidak meninggalkannya, mereka bukan pengkhianat. Selama perang saudara, banyak dari mereka yang berjuang di garis depan; yang lain bekerja untuk angkatan bersenjata dengan menyuplai amunisi. Mereka mungkin “non-politis”, tetapi hanya dalam artian bahwa di masa-masa damai mereka lebih peduli pada pekerjaan mereka atau keluarga mereka dibandingkan pada politik.
Mereka semua ingin menjadi msayarakat yang baik, untuk menjadi semakin efisien di tiap-tiap pekerjaan mereka, untuk naik ke posisi yang lebih tinggi, sebagian untuk taraf hidup keluarga mereka, tetapi juga untuk penghargaan ambisi profesional mereka yang sah-sah saja. Secara implisit, mereka semua, seperti yang saya katakan sebelumnya, melakukan kerja proyek cendekiawan bahkan tanpa menyadari. Tetapi sebagai Parpol Islam, kita ingin agar masyrakat kita ini dengan sadar menghubungkan kerja produksi mereka dengan pembangunan calsa sosial secara keseluruhan. Kepentingan cendekiawan akan lebih terjamin oleh aktivitas-aktivitas yang tersatukan seperti itu, dan tiap-tiap pembangun msayarakat ini akan mendapatkan kepuasan moral yang lebih tinggi dari kerja mereka.
Tetapi bagaimaca cara kita mencapai tujuan ini? Sangatlah sulit untuk mendekati msayarakat macam ini yang dengan pahaman materialis dengan garis politik absurd. Dia telah mendengar semua pidato-pidato dan tidak ingin mendengar lebih banyak lagi. Dia tidak tertarik untuk bergabung dengan Parpol Islam. Pikirannya terpusat pada pekerjaannya, dan dia tidak puas dengan kondisi status sosialnya, masyarakat semacam ini biasanya akan mencoba menyelesaikan masalah ini dengan sendirian. Mereka tidak komunikatif, dan mereka adalah kelas yang menghasilkan penemu-penemu otodidak. Mereka tidak responsif pada politik, setidaknya tidak dengan sepenuhnya tetapi mereka mungkin dan harus didekati untuk masalah-masalah yang berhubungan dengan kebersamaan dengan proyek cendekiawan.

Bima, 08 November 2015
Kos Tercinta bersama istri tercinta

Muh. Alifuddin

Tidak ada komentar: